kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2: Suara dari Dalam Dinding
Malam di Desa Tirnawati tidak pernah benar-benar gelap. Bintang-bintang biasanya bertebaran di langit, seolah menggantungkan cahaya harapan bagi penduduknya yang bersahaja. Tapi malam ini terasa berbeda. Langit berawan, angin berembus dingin dari arah kebun, dan suara jangkrik pun terdengar seperti berbisik, bukannya bernyanyi.
Di pos ronda dekat balai dusun, dua pemuda sedang duduk berdua sambil menyeruput kopi. Yang satu kurus kecil, mengenakan jaket kebesaran dengan wajah penuh ekspresi lucu. Yang satu lagi, tubuhnya lebih kekar, dada dibusungkan, rambut disisir ke belakang pakai minyak kelapa.
Mereka adalah Udin dan Pedot.
“Dot… lu percaya nggak sih, kalau si Ratna itu nginep di rumah Bu Sarti cuma modus doang biar bisa masuk rumah si Nenek Sanem?” Udin membuka percakapan dengan mata berkedip-kedip curiga.
Pedot melirik sejenak, lalu nyengir sok tahu. “Itu mah jelas. Cewek kota begitu, pura-pura riset, padahal pengin jadi dukun. Mungkin dia turunan Nenek Sanem, Din!”
Udin langsung memeluk tubuh sendiri, wajahnya meringis. “Aduh, Dot. Jangan gitu dong ngomongnya. Gue tidur sendiri di gubuk belakang, tahu nggak? Tadi malam gue denger suara orang garuk-garuk tembok, sumpah!”
Pedot menyemburkan kopi. “Seriusan lu? Halah, paling tikus.”
“Lu pikir tikus suaranya kayak orang nyakar? Terus tiba-tiba gue denger suara bisik-bisik gitu... ‘Udin... Udin...’, sumpah merinding gue!” Udin melebarkan mata. “Lu kan tahu, gue orangnya peka.”
“Peka atau penakut?” ejek Pedot sambil cekikikan.
“Eh jangan salah. Kalau bukan karena gue peka, kita dulu nggak bakal tahu siapa yang ngumpet di kolong jembatan pas maling ayam!” sanggah Udin dengan bangga.
“Tapi lu juga yang kabur duluan waktu liat bayangan putih jalan di tengah jalan. Ternyata cuma kain jemuran!” balas Pedot sambil menepuk paha, tertawa keras.
Meski kerap bertengkar, keduanya tak terpisahkan. Namun, malam itu keduanya sepakat untuk mengikuti Ratna secara diam-diam, yang mereka curigai akan kembali ke rumah Nenek Sanem. Bukan karena keberanian, tentu saja—lebih karena rasa penasaran yang dibalut ketakutan bercampur keberanian pura-pura.
Sekitar pukul sembilan malam, bayangan Ratna terlihat keluar dari rumah Bu Sarti. Ia membawa tas kecil dan senter, melangkah cepat ke arah rumah tua di pinggir kebun. Udin dan Pedot membuntuti dari balik semak-semak.
“Eh Din, lu yakin ini aman?” bisik Pedot.
“Nggak yakin, makanya gue ngajak lu. Kalau yakin mah gue jalan sendiri!” sahut Udin, lalu menambahkan, “Tapi ingat, kalau ada apa-apa, kita kabur bareng ya!”
“Kabur bareng? Lu mah pasti tinggalin gue. Dulu aja pas gue jatuh di sawah, lu tinggalin gue dikejar itik!”
“Lah itu itik-nya galak, bro! Ngejar sampe ke jalan raya!”
Keduanya nyaris tertawa kalau saja suasana tak mencekam. Rumah Nenek Sanem kini tepat di hadapan mereka, gelap dan diam. Ratna sudah masuk ke dalam.
Pedot menelan ludah. “Kita masuk juga nggak?”
Udin menatap rumah itu dengan penuh rasa tak rela. “M-masuk sih masuk, tapi jangan sampe jauh ke dalam ya. Cuma di teras doang. Cek situasi. Kalau berisik, langsung kita kabur.”
Keduanya membuka pintu yang tak dikunci. Deritannya membuat bulu kuduk berdiri. Senter kecil mereka menyorot debu yang menari di udara.
Di ruang utama, tidak ada siapa-siapa.
Namun terdengar suara dari dalam—suara langkah kaki Ratna. Dan… sesuatu lain. Seperti gemerisik kain. Atau… suara tarik napas panjang… yang dalam.
Pedot menepuk pundak Udin. “Din… itu suara apaan?”
“Lu tanya gue? Gue aja udah mau pipis ini!” bisik Udin lirih.
Tiba-tiba, terdengar suara dari balik dinding:
“...aaarrgggghh…”
Suaranya serak. Bukan suara manusia biasa. Seperti… ada yang mencoba berteriak dengan tenggorokan robek.
Udin langsung merosot ke lantai. “Dot, kita pulang aja yuk. Ini bukan tempat buat kita!”
Namun sebelum keduanya bisa kabur, Ratna muncul dari lorong belakang. Wajahnya pucat. Matanya membelalak. Ia menatap mereka berdua seperti tak percaya.
“Kalian ngapain di sini?!”
Pedot cepat berdiri, memasang gaya cool. “Kita… patroli! Ya… patroli ronda. Jaga keamanan kampung!”
“Patroli ke rumah kosong tengah malam?” Ratna mengangkat alis.
Udin hanya bisa senyum kecut. “Kita khawatir sama mbaknya…”
Ratna menarik napas dalam. “Kalian harus lihat ini. Kalian datang pas banget.”
Pedot dan Udin saling pandang. Wajah mereka berkata ‘ini ide buruk’, tapi mereka tetap mengikuti Ratna ke dalam.
Di kamar belakang, Ratna menunjukkan cermin besar retak yang sebelumnya ia lihat di mimpinya. Cermin itu menghadap tembok, padahal tak ada furnitur lain di ruangan itu.
“Cermin ini muncul setelah malam aku mimpi Nenek Sanem,” jelas Ratna. “Tapi yang aneh, aku rekam tadi waktu lihat cermin ini... dan hasil rekaman suara itu…”
Ia membuka rekaman di ponselnya.
Dari speaker terdengar napas berat… lalu… suara perempuan:
“…Dia belum selesai… dia akan pakai lidahmu… untuk bicara…”
Pedot mundur pelan. Udin sudah nyaris pingsan berdiri.
“Gue pulang! Ini bukan buat anak ronda!” Udin berteriak kecil.
Namun sebelum mereka bisa melangkah keluar, suara ketukan dari dalam dinding terdengar. Pelan. Tapi pasti. Tok... tok... tok...
Ratna menatap tembok di samping cermin.
“Aku pikir… suara itu dari balik sini. Seperti… sesuatu yang dikunci di dalam.”
Udin menutupi telinganya. “Mbak, plis deh, plis. Jangan dibuka! Biarin aja! Kita hidup bahagia tanpa tahu rahasia itu!”
Tapi Ratna, dengan keberanian yang tak bisa dijelaskan, mengambil pahat kecil dari tasnya. Ia mulai mencungkil bagian tembok yang lapuk. Pedot menahan napas. Udin memegang dada.
Setelah beberapa menit—mereka menemukan sebuah rongga. Dan di dalamnya…
Terdapat sebuah kotak kayu tua.
Ratna menariknya keluar. Kotaknya kotor, penuh debu dan ukiran aneh. Ia membuka perlahan.
Isi di dalamnya membuat semua mundur satu langkah.
Lidah.
Lidah manusia. Sudah menghitam. Diawetkan. Disimpan dalam garam dan bunga kering.
Di bawahnya, ada secarik kertas kuno bertuliskan tangan:
“Jangan biarkan dia berbicara. Lidah ini satu-satunya segel.”
Suara tawa pelan terdengar dari dalam cermin.
Pedot langsung panik. “Buang! Bakar! Kubur! Apa aja lah! Jangan dipegang!”
Udin sudah jongkok di sudut ruangan, memeluk lutut. “Gue nggak ikut-ikut... gue anak baik… gue cuma bantu ronda…”
Namun belum sempat mereka bertindak lebih jauh, cermin itu retak seluruhnya. Retakan menjalar cepat, dan dari dalam pantulan, tampak sosok Sanem… menangis, lalu berteriak… tapi tak bersuara.
Cahaya dari cermin menyilaukan. Lalu…
Gelap.
Senter mereka mati. Ponsel Ratna mati. Semua gelap.
Dari kegelapan, terdengar bisikan:
“Satu lidah telah hilang. Tapi yang lainnya… akan bicara menggantikan.”
Ketika cahaya kembali—cermin itu hilang. Kotak kayu kosong. Dan di dinding, tertulis dengan darah:
“Jangan bangunkan yang sudah dibungkam.”
Pedot pingsan. Udin kabur lewat jendela.
Ratna hanya berdiri kaku, menatap tulisan itu dengan tubuh gemetar.
Ia tahu, ini belum selesai.
Dan lebih buruknya, segelnya sudah rusak.