Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Tiga hari berlalu sejak pertemuan dengan Radit di kafe. Sejak hari itu, Kala semakin jarang ada di rumah. Pekerjaan di kantornya semakin menumpuk, dan ia hampir selalu pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali.
Anggun tidak mengeluh. Seharusnya ia tidak peduli. Bukankah selama ini Kala memang selalu menjaga jarak?
Namun, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Sejak Kala membela dirinya di depan Radit, hubungan mereka berubah. Kala tidak lagi sekadar pria dingin yang hidup dalam dunia bisnisnya sendiri. Ia mulai menunjukkan perhatian, meski dalam bentuk yang tidak biasa. Tapi sekarang…
Anggun menatap layar ponselnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon.
Ia menghela napas, meletakkan ponsel di meja. Mungkin ia memang terlalu berharap.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, rumah terasa sunyi. Sejak pagi, ia hanya menghabiskan waktu dengan membaca buku di ruang tamu, menunggu suara langkah Kala yang mungkin akan terdengar dari pintu. Tapi sampai sore, tidak ada siapa pun yang datang.
Hingga akhirnya bel berbunyi.
Anggun segera bangkit dan membuka pintu. Yang berdiri di depannya bukan Kala, melainkan seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan ekspresi tajam di wajahnya.
“Bu Ratri…,” suara Anggun hampir berbisik.
Ibu Kala berdiri di sana dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Boleh aku masuk?” tanyanya, meski nadanya lebih seperti perintah.
Anggun menyingkir, membiarkan wanita itu melangkah masuk. Bu Ratri berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu sekeliling rumah seolah menilai setiap sudutnya.
“Jadi begini cara menantuku mengurus rumah?” katanya, nada suaranya tidak menyembunyikan ketidaksenangan.
Anggun menelan ludah. Ia sudah lama tahu bahwa ibu Kala tidak pernah benar-benar menyetujui pernikahan mereka. Sejak awal, Bu Ratri selalu menganggapnya tidak cukup pantas untuk anaknya.
Dan hari ini, Anggun bisa merasakan penolakan itu lebih kuat dari sebelumnya.
“Ada yang bisa saya buatkan?” tanya Anggun, mencoba bersikap ramah.
Bu Ratri tersenyum kecil, tapi senyum itu dingin. “Aku tidak datang untuk minum teh, Anggun. Aku datang untuk bicara.”
Anggun mengangguk pelan, menunggu.
“Aku tidak akan bertele-tele,” lanjut Bu Ratri. “Kau tahu, Kala semakin sibuk akhir-akhir ini. Dia bahkan jarang pulang.”
Anggun mengeratkan jemarinya di sisi gaun yang ia kenakan.
“Kau pikir kenapa?”
Anggun mengangkat wajahnya, menatap wanita itu.
“Karena pernikahan ini,” lanjut Bu Ratri tanpa memberi waktu bagi Anggun untuk menjawab. “Karena dia terjebak dalam sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.”
Anggun merasakan tenggorokannya mengering.
“Kala selalu punya jalan yang sudah ia rencanakan sendiri, dan menikahi perempuan sepertimu bukan salah satunya,” kata Bu Ratri tajam. “Kau membuatnya terjebak dalam sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Kau pikir Kala benar-benar menginginkan ini?”
Anggun mencoba bernapas dengan normal, tapi kata-kata itu menyesakkan.
“Kalian sudah menikah selama beberapa bulan, tapi apa yang sudah kau buktikan? Apa kau berhasil menjadi istri yang baik untuknya?”
Anggun menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia tidak pernah memaksa Kala untuk menikahinya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa pernikahan ini jauh dari kata sempurna.
“Jadi, apa yang Ibu ingin saya lakukan?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan.
Bu Ratri tersenyum kecil, tapi ada ketajaman di baliknya.
“Lepaskan dia.”
Dada Anggun terasa seperti dihantam sesuatu yang keras.
“Jika kau benar-benar peduli padanya, jika kau benar-benar ingin dia bahagia, maka lepaskan dia,” ulang Bu Ratri.
Anggun menatapnya, jantungnya berdetak tidak karuan.
“Kala berhak mendapatkan seseorang yang setara dengannya, seseorang yang bisa mendukungnya, bukan seseorang yang hanya akan menjadi beban,” lanjut Bu Ratri dengan nada meyakinkan.
Beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Hanya ada keheningan yang menyesakkan di antara mereka.
Anggun menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak di hatinya.
Ia tidak ingin menangis.
Tidak di depan wanita ini.
• • •
Kala pulang hampir tengah malam.
Ia memasuki rumah dalam diam, merasakan atmosfer yang lebih dingin dari biasanya. Saat melangkah ke ruang tamu, ia menemukan Anggun duduk di sofa, menatap kosong ke depan.
Kala mengerutkan kening. “Kau belum tidur?”
Anggun menoleh perlahan, menatapnya dengan mata yang sulit dibaca.
“Aku menunggumu,” jawabnya pelan.
Kala menghela napas dan melepaskan jasnya. “Aku sibuk di kantor.”
Anggun menunduk, memainkan jari-jarinya. “Aku tahu.”
Kala menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini malam ini. Sesuatu yang membuat dadanya terasa sedikit tidak nyaman.
“Ada apa?” tanyanya akhirnya.
Anggun diam sejenak sebelum akhirnya menatapnya.
“Kenapa kau menikahiku, Kala?” tanyanya tiba-tiba.
Kala mengerutkan kening. “Kenapa kau menanyakan itu sekarang?”
Anggun menelan ludah. Ia tahu, ia tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa ibunya telah datang hari ini. Tapi kata-kata Bu Ratri masih terngiang di kepalanya, membuat pikirannya semakin kacau.
“Apa kau pernah menyesali pernikahan ini?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan.
Kala terdiam.
Ia tidak langsung menjawab, dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun yang bisa diberikan pria itu.
Anggun tersenyum kecil, meski ada rasa perih yang menggigit di dadanya.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya.
Kala mengerutkan kening lebih dalam. “Apa maksudmu?”
Anggun berdiri, menghindari tatapannya.
“Aku lelah, Kala,” katanya sambil melangkah ke arah kamarnya. “Aku ingin tidur.”
Kala ingin menghentikannya, ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Anggun sudah menghilang di balik pintu kamarnya.
Ia hanya bisa berdiri di sana, menatap pintu yang tertutup, dengan perasaan yang semakin kacau.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang bisa saja berubah selamanya.