Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Persiapan pernikahan
Setelah kepulangan Reza, Sumi menarik Aluna masuk ke dalam kamar dan mendorongnya ke tempat tidur.
"Aluna, Ibu tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang pembunuh. Bisa-bisanya kamu tega membunuh darah dagingmu sendiri sebanyak tiga kali? Kamu sudah berbuat dosa dengan berzina, merebut suami orang, dan sekarang Ibu baru tahu… kamu juga telah membunuh calon anakmu sendiri!"
Aluna hanya bisa tertunduk, tubuhnya bergetar menahan tangis.
"Maaf, Bu..."
Sumi duduk di tepi ranjang. Kepalanya terasa pening, apalagi sejak pagi ia hanya makan sedikit.
"Besok malam, kamu harus menikah dengan Reza. Setelah itu, pergi sejauh mungkin. Ibu tidak mau semua orang tahu bahwa kamu hamil di luar nikah," ujar Sumi tegas.
Saat hendak keluar dari kamar, Sumi berhenti. Isak tangis Aluna terdengar begitu menyayat hati. Namun, Sumi tidak berbalik.
"Dan apa pun yang terjadi dalam rumah tanggamu nanti, tanggung sendiri akibatnya," lanjutnya sebelum menutup pintu kamar.
Di dalam kamarnya, Sumi duduk bersandar di kasur. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Tanpa ia sadari, darah mengalir dari hidungnya. Ia segera mengambil tisu, menyeka darah itu sebelum menodai pakaian yang sedang ia kenakan.
---
Di kamar sebelah, Airilia terbangun mendengar suara tangisan Aluna. Ia melirik jam dinding. Sudah jam empat sore. Dengan cepat, ia turun dari tempat tidur dan menuju dapur untuk memasak. Saat tiba di sana, ia heran melihat belum ada nasi yang dimasak.
"Tumben, Ibu belum masak?" gumamnya. Ia melirik pintu kamar Sumi yang masih tertutup rapat.
Hampir satu jam berlalu, akhirnya masakannya siap. Hari ini, ia sengaja memasak makanan kesukaan Aluna—ayam goreng, sambal, dan sayur bening.
Airilia mengetuk pintu kamar Sumi.
"Bu… Ibu?"
Sumi membuka pintu dan melihat putrinya berdiri di depan.
"Ada apa, Lia?" tanyanya, suaranya terdengar lelah.
"Bu, aku sudah masak. Yuk, kita makan bersama. Aku juga mau ajak Kak Aluna," kata Airilia sambil berjalan menuju kamar Aluna. Namun, Sumi segera menahan langkahnya.
"Lia, biar Ibu saja yang membawakan makanan ke dalam kamarnya. Kak Aluna sedang sakit," ujar Sumi pelan.
Airilia mengangguk dan mengambilkan sepiring nasi untuk Sumi. Namun, saat melihat ibunya hanya menatap makanan tanpa menyentuhnya, ia merasa khawatir.
"Bu, kenapa tidak makan? Apa makanannya tidak enak?" tanyanya.
Sumi menggeleng. Tatapannya kosong, dan air mata perlahan turun membasahi pipinya.
"Bu, kenapa menangis? Ibu sakit? Kalau ada masalah, cerita sama aku," pinta Airilia, menggenggam tangan ibunya dengan lembut.
Sumi menghela napas berat.
"Lia, Ibu gagal mendidik Aluna."
Airilia mengernyit, bingung. Apa maksud Ibu?
"Aluna… dia hamil. Dan yang menghamilinya adalah Reza, suaminya Dinda," lanjut Sumi dengan suara bergetar.
Airilia terdiam, terkejut mendengar kenyataan pahit itu.
"Ibu mana yang sanggup melihat anaknya menjadi istri kedua, apalagi hanya dengan pernikahan siri?"
Airilia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya mendengarkan keluhan ibunya dengan hati yang ikut terasa sesak.
Sumi menggenggam tangan Airilia erat.
"Lia, sekarang hanya kamu harapan Ibu. Kamu harus janji tidak akan mengecewakan Ibu," katanya penuh harap.
Airilia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku janji, Bu. Aku tidak akan mengecewakan Ibu."
Sumi tersenyum tipis, lalu menarik Airilia ke dalam pelukannya.
---
Keesokan paginya, Sumi dan Airilia pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan keperluan pernikahan Aluna malam ini.
"Bu, beli apa lagi?" tanya Airilia setelah mereka selesai membeli ikan dan telur.
"Kita beli sayuran dulu," jawab Sumi.
Mereka mendekati seorang pedagang sayur.
"Mau beli apa, Bu?" tanya pedagang itu ramah.
"Tomat lima ribu, cabai setengah kilo, kacang panjang tujuh ribu, sawi empat ribu. Itu saja," ujar Sumi.
"Semua totalnya tiga puluh enam ribu," kata pedagang sambil menghitung belanjaan mereka.
Sumi menyerahkan dua lembar uang lima puluh ribuan.
"Ini kembaliannya, Bu. Terima kasih."
Setelah berbelanja, Sumi dan Airilia berjalan ke rumah seseorang yang tidak jauh dari pasar, hanya sekitar satu jam perjalanan dari rumah mereka.
"Assalamualaikum," Sumi memberi salam setelah mengetuk pintu rumah tersebut.
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Sumi! Silakan masuk," sambut pemilik rumah.
Sumi berbalik ke arah Airilia.
"Lia, tunggu di sini, ya. Ibu masuk sebentar," katanya.
Airilia mengangguk, sementara Sumi masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa, memperhatikan ruangan yang masih terlihat sama seperti dulu, hanya saja cat dindingnya mulai pudar.
"Ada perlu apa, Mbak Sumi?" tanya pemilik rumah.
"Saya ingin bertemu Pak Hasan. Apa beliau ada?"
"Sebentar, saya panggilkan dulu."
Tak lama kemudian, seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun datang menghampiri Sumi.
"Bagaimana kabarmu, Sumi?" tanyanya.
"Alhamdulillah, baik," jawab Sumi.
"Kamu datang sendiri?"
"Tidak, saya bersama Airilia. Dia menunggu di luar."
Pria itu mengangguk. Airilia… anaknya Dira, gumamnya dalam hati.
"Ada keperluan apa kamu datang ke sini?"
"Malam ini anak saya, Aluna, akan menikah. Saya ingin meminta Bapak menjadi walinya."
Pak Hasan mengangguk.
"Jam berapa akadnya?"
"Setelah sholat Isya," jawab Sumi.
"Baiklah, saya akan datang nanti malam," kata Pak Hasan.
Sumi menghembuskan napas lega.
"Terima kasih. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
---
Sementara itu, di tempat lain, Aluna sedang berjalan-jalan keliling kampung. Ia singgah sebentar di warung Pak Kumis untuk membeli minuman dingin.
"Pak, saya beli ini. Berapa?" tanyanya sambil mengambil sebotol minuman dari kulkas.
"Lima ribu."
Aluna menyerahkan uang pas. Saat ia baru saja meneguk minumannya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Dor!"
Aluna tersedak.
"Renata! Kalau aku mati tersedak, gimana?!" gerutunya.
Renata hanya terkekeh.
"Katanya gak mau pulang. Eh, tiba-tiba udah di sini," sindirnya.
"Terpaksa," jawab Aluna singkat.
"Terpaksa karena takut ngekost sendirian?"
"Bukan. Aku pulang karena mau nikah."
Renata terbelalak.
"Nikah? Jangan bilang… sama Reza?"
Aluna tersenyum tipis.
"Iya. Sama dia," jawabnya santai.
Renata hanya bisa menghela napas panjang.
"Aluna… apa kamu yakin dengan keputusan ini?"
Aluna meneguk minumannya lagi, lalu berkata pelan,
"Aku gak punya pilihan lain."
Bersambung…