NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: IDENTITAS DI BALIK BAYANG

Langit Jawa Tengah tertutup oleh selimut mendung yang menggantung rendah, seolah-olah alam pun ikut berduka atas kekacauan yang menimpa dua jiwa yang sedang melarikan diri ini. Jip tua itu menderu pelan, menyusuri jalanan desa yang sempit di kaki Gunung Lawu, menjauh dari jalan tol utama yang kini dipenuhi oleh pos pemeriksaan polisi.

Di dalam kabin yang sempit, aroma debu dan bensin bercampur dengan bau antiseptik yang masih menempel di pakaian mereka. Firman duduk di kursi penumpang depan, matanya tidak pernah benar-benar terpejam meski tubuhnya menuntut istirahat total. Tangannya yang tidak diperban meremas sebuah peta usang, namun pikirannya tertuju pada satu halaman yang ia selipkan di balik saku jaketnya: Halaman 16.

Halaman yang berisi klaim mengerikan Dr. Syarifuddin.

Ia menoleh ke belakang. Yasmin tertidur dengan kepala bersandar pada bahu Sarah. Wajah Yasmin tampak begitu damai dalam tidurnya, seolah-olah prosedur di sanatorium itu benar-benar telah menghapus semua ketegangan. Namun, bagi Firman, kedamaian itu adalah bom waktu.

"Dia baru saja terbangun sebentar tadi," bisik Sarah, suaranya parau karena kelelahan. "Dia bertanya kita ada di mana. Tapi dia tidak ingat soal diari itu, Firman. Dia tidak ingat soal percakapan Syarifuddin tentang... hubungan darah kalian."

Firman mengembuskan napas panjang, menciptakan uap tipis di udara dingin. "Mungkin itu lebih baik untuk sekarang. Biarkan dia tidak tahu bahwa pria yang ia cintai adalah alasan kenapa hidupnya menjadi eksperimen."

"Tapi sampai kapan?" Sarah menatap Firman dengan tajam. "Kamu sekarang adalah buronan nasional. Foto wajahmu ada di setiap berita sebagai 'penculik'. Jika Yasmin tidak tahu kebenarannya, dia akan terus melihatmu sebagai pahlawan, padahal kenyataannya... kita semua hanyalah korban dari satu orang yang sama."

Firman tidak menjawab. Ia memalingkan wajah ke arah jendela, menatap deretan pohon jati yang tampak seperti barisan prajurit dalam kegelapan. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis di atas jurang. Di satu sisi, ia ingin berteriak pada dunia tentang kebusukan Syarifuddin. Di sisi lain, ia ingin mengunci Yasmin dalam sebuah kotak kaca agar perempuan itu tidak pernah merasakan perihnya kenyataan.

Sebuah Rumah Singgah di Desa Tawangmangu, Pukul 09.00 WIB.

Mereka sampai di sebuah rumah kayu kecil yang tersembunyi di balik kebun teh. Ini adalah rumah milik salah satu informan lama Firman, seorang mantan aktivis yang kini memilih hidup sebagai petani. Di sini, mereka bisa bernapas sejenak sebelum melanjutkan perjalanan panjang menuju Jakarta untuk menemukan akses ke Singapura.

Rendy segera menyalakan televisi tua di pojok ruangan. Gambar Firman muncul di layar, bersanding dengan narasi yang mengerikan.

"...Firmansah, seorang jurnalis yang diduga memiliki gangguan kejiwaan, telah menculik dr. Yasmin Paramitha dari fasilitas perawatan medis di Bromo. Kepolisian meminta masyarakat untuk waspada karena tersangka dianggap berbahaya dan membawa senjata tajam..."

"Gangguan kejiwaan? Berbahaya?" Rendy membanting remote ke meja. "Syarifuddin benar-benar menggunakan kekuasaannya untuk membunuh karakter lo, Man! Kalau kita sampai tertangkap, nggak akan ada yang percaya pada cerita kita."

"Itulah gunanya 'The Smiling Killer', Ren," sahut Firman dengan nada dingin yang kembali muncul. Ia sedang membersihkan luka di tangannya dengan alkohol. "Semakin mereka memojokkan saya, semakin banyak kesalahan yang akan mereka buat karena merasa di atas angin."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Yasmin melangkah keluar dengan langkah yang masih agak limbung. Ia menatap ke arah televisi, melihat wajah Firman di sana, lalu menatap Firman yang asli.

"Mas..." panggil Yasmin pelan.

Firman segera berdiri, mencoba menutupi layar televisi dengan tubuhnya, namun terlambat. Yasmin sudah melihatnya.

"Kenapa mereka bilang kamu menculikku?" tanya Yasmin, matanya dipenuhi kebingungan. "Aku ingat... aku ingat kita di Bromo. Aku ingat kamu menyelamatkanku dari dokter-dokter itu. Tapi kenapa beritanya seperti ini?"

Firman mendekati Yasmin, memegang kedua bahunya dengan lembut. "Dunia sedang tidak memihak kita sekarang, Yas. Syarifuddin mencoba menutupi kesalahannya dengan membuat saya terlihat seperti penjahat. Kamu percaya saya, kan?"

Yasmin menatap mata Firman. Selama beberapa detik, keheningan menyelimuti ruangan itu. Yasmin mencoba mencari sesuatu di dalam ingatan yang terasa seperti potongan puzzle yang hilang. Ia ingat rasa hangat saat dipeluk di sanatorium, ia ingat suara Firman yang memanggilnya "Yas", tapi ada bagian besar yang terasa hampa bagian tentang diari merah dan pengakuan Syarifuddin.

"Aku percaya kamu," bisik Yasmin akhirnya. "Tapi... ada yang aneh. Kenapa setiap kali aku menatapmu, aku merasa ada sesuatu yang sangat sedih yang belum kamu katakan padaku? Kenapa kamu menatapku seolah-olah aku akan pergi selamanya?"

Firman tertegun. Insting seorang dokter dalam diri Yasmin ternyata tidak bisa dihapus oleh obat-obatan. Yasmin bisa merasakan beban emosional yang sedang Firman pikul.

"Kita hanya sedang lelah, Yas. Begitu kita sampai di Jakarta dan menemui Ibu Diana, semuanya akan jelas," Firman mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sekarang, kamu harus makan dan istirahat. Kita akan berangkat lagi saat malam tiba."

Di Teras Rumah, Sore Hari.

Firman duduk sendirian di bangku bambu, membuka kembali berkas Proyek Lentera. Ia menemukan sebuah catatan kecil di halaman 14 yang sebelumnya ia lewatkan. Sebuah catatan kaki yang ditulis dengan pensil oleh ayahnya, Baskara.

"Jika eksperimen ini berhasil, subjek 01 dan 02 akan memiliki kompatibilitas biologis yang sempurna untuk transplantasi organ, namun secara genetik mereka tetaplah entitas yang berdiri sendiri di bawah manipulasi DNA X-22."

Firman mengernyit. Manipulasi DNA X-22? Sebagai jurnalis, ia tahu istilah ini merujuk pada prosedur rekayasa genetik yang ekstrem. Jika Syarifuddin benar-benar memanipulasi DNA mereka, apakah itu artinya mereka benar-benar saudara kembar, ataukah mereka adalah produk laboratorium yang "dirancang" untuk terlihat seperti saudara demi kepentingan eksperimen organ?

"Apa yang kamu cari, Firman?" Sarah muncul dan duduk di sampingnya. Ia membawa sebuah tablet yang menampilkan komunikasi tersembunyi dengan jaringannya di Jakarta.

"Saya sedang mencari celah, Sarah. Jika Syarifuddin mengklaim kami adalah anaknya, pasti ada bukti medis yang ia pegang. Tapi jika klaim itu palsu dan hanya untuk menghancurkan mental kami, saya harus membuktikannya," Firman menunjukkan catatan kaki tersebut.

Sarah membacanya dengan saksama. "Ayahku pernah menyebut soal X-22. Itu adalah kode untuk proyek 'Suku Cadang Manusia'. Dia ingin menciptakan subjek yang organ tubuhnya bisa digunakan oleh siapa pun tanpa penolakan imun. Jika kamu dan Yasmin adalah produk itu... maka kalian bukan hanya saudara. Kalian adalah asuransi nyawa bagi orang-orang seperti Syarifuddin."

Firman merasakan mual yang luar biasa. Kekejaman ini jauh melampaui imajinasinya. Ia menoleh ke arah jendela, melihat Yasmin yang sedang membantu istri pemilik rumah memetik sayuran di kebun belakang. Yasmin tertawa kecil sebuah suara yang sangat kontras dengan kegelapan yang sedang mereka bahas.

"Kita harus menemukan Ibu Diana," kata Firman tegas. "Dia adalah istri Dokter Hendrawan. Dia yang merawat Yasmin sejak bayi. Dia pasti tahu apakah Yasmin benar-benar lahir dari rahim Eliza, atau dia dibawa oleh Hendrawan dari laboratorium."

"Ibu Diana sedang dalam perlindungan ketat di Singapura," sahut Sarah. "Dia memegang rekaman asli proses kelahiran kalian. Tapi Syarifuddin sudah memblokir semua akses keluar masuk pelabuhan dan bandara untuk orang-orang dengan ciri-ciri seperti kita."

"Kita tidak akan lewat jalur resmi," Firman menutup foldernya. "Kita akan lewat jalur tikus di Pantai Utara. Saya punya kontak nelayan di Rembang yang bisa membawa kita ke perairan internasional."

Malam Hari, Pukul 22.00 WIB.

Mereka kembali bergerak. Jip tua itu meluncur menembus kabut Tawangmangu menuju utara. Yasmin duduk di samping Firman di kursi belakang. Ia tampak lebih segar setelah istirahat, namun ia terus menggenggam tangan Firman dengan sangat erat.

"Mas..." Yasmin berbisik, kepalanya bersandar di bahu Firman. "Kalau nanti semuanya sudah selesai... kalau namamu sudah bersih... apa kita akan kembali ke Samarinda?"

Firman terdiam. Pertanyaan itu adalah belati bagi hatinya. Bagaimana ia bisa kembali ke Samarinda dan hidup normal dengan Yasmin jika ternyata mereka adalah saudara kandung? Bagaimana ia bisa menatap wajah Yasmin tanpa merasa berdosa karena pernah mencintainya sebagai seorang pria?

"Kita akan pergi ke tempat yang tenang, Yas. Tempat di mana tidak ada yang mengenal kita sebagai jurnalis atau dokter. Tempat di mana kita bisa memulai level yang benar-benar baru," jawab Firman, memberikan janji yang ia sendiri tidak tahu bisa ia tepati atau tidak.

Yasmin tersenyum, lalu ia mencium pipi Firman dengan lembut. "Aku mencintaimu, Firman. Terima kasih sudah tidak menyerah padaku."

Firman memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Ciuman itu terasa seperti racun sekaligus obat. Ia merasa seperti pengkhianat karena tidak mengatakan yang sebenarnya, namun ia juga merasa seperti pahlawan karena menjaga senyum Yasmin sedikit lebih lama.

Tiba-tiba, Rendy menginjak rem dengan tajam.

"Sial! Pos pemeriksaan polisi di depan!" teriak Rendy.

Di depan mereka, sekitar dua ratus meter, lampu-lampu rotator berwarna biru dan merah menyala terang, membelah kegelapan hutan jati. Puluhan petugas kepolisian dengan senjata laras panjang sedang memeriksa setiap kendaraan yang lewat.

"Putar balik, Ren! Cepat!" perintah Firman.

Namun, dari arah belakang, dua mobil SUV hitam besar muncul dengan lampu sorot yang sangat kuat, mengunci posisi jip mereka.

"Kita terjepit," bisik Sarah, tangannya sudah memegang pistol kecil yang ia simpan.

Firman melihat Yasmin yang mulai panik. Ia segera menarik Yasmin ke dalam pelukannya. "Dengar, Yas. Apapun yang terjadi, jangan lepaskan tanganku. Kamu harus percaya padaku, oke?"

Pintu SUV hitam terbuka. Seorang pria dengan setelan rapi turun. Bukan polisi, tapi orang-orang Syarifuddin. Pria itu membawa sebuah megaphone.

"Firmansah! Serahkan dr. Yasmin sekarang, dan kami akan membiarkan teman-temanmu pergi! Kamu tidak punya pilihan! Seluruh area ini sudah dikepung!"

Firman menatap ke sekeliling. Di sebelah kanan mereka adalah jurang yang cukup dalam, tertutup oleh pepohonan rimbun. Di sebelah kiri adalah hutan jati yang rapat.

"Ren, tabrak pagar pembatas jalan di sebelah kanan," ucap Firman dengan nada yang sangat tenang, nada "The Smiling Killer" yang sedang bertaruh dengan maut.

"Man! Itu jurang!" teriak Rendy.

"Lakukan saja! Pepohonan di bawah cukup rapat untuk menahan jatuhnya mobil! Kita harus menghilang dari radar mereka sekarang juga!" Firman memeluk Yasmin lebih erat. "Tahan napas, Yas!"

Rendy berteriak kencang sambil menginjak pedal gas dalam-dalam. Jip itu melesat, menabrak pagar besi pembatas jalan, dan meluncur bebas ke dalam kegelapan jurang.

Suara dentuman logam, pecahan kaca, dan teriakan tertelan oleh pekatnya malam. Syarifuddin dan anak buahnya berlari ke tepi jurang, namun yang mereka lihat hanyalah kegelapan dan suara dahan-dahan pohon yang patah.

Di Dasar Jurang, Pukul 23.30 WIB.

Hening.

Hanya suara tetesan air dari radiator yang pecah dan bunyi mesin yang mendingin. Jip itu tersangkut di antara dua pohon besar dalam posisi miring. Kaca depannya hancur total.

Firman perlahan membuka matanya. Kepalanya berdarah, namun ia segera memeriksa Yasmin yang berada di pelukannya. Yasmin tidak sadarkan diri, tapi ia masih bernapas. Sarah dan Rendy tampak pingsan di kursi depan, terhimpit oleh airbag yang mengembang.

Firman merangkak keluar dari mobil yang ringsek itu, menarik Yasmin dengan sisa tenaganya. Ia meletakkan Yasmin di atas tanah yang basah. Di bawah cahaya bulan yang tipis, Firman melihat sebuah gua kecil di balik semak-semak tak jauh dari sana.

Ia menggendong Yasmin menuju gua tersebut. Begitu sampai di dalam, ia menyandarkan Yasmin di dinding batu. Ia gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Ia meraih tasnya yang masih menempel di punggung. Di dalamnya, ia menemukan ponsel satelit milik Sarah. Ia mencoba menyalakannya. Sinyal muncul satu bar.

Ia segera mengirimkan pesan koordinat GPS ke Pak Haris di Malang dan satu nomor rahasia di Singapura.

Pesan: Burung jatuh di koordinat ini. Butuh evakuasi medis segera. Status: Darurat Nasional. Bawa Ibu Diana.

Setelah mengirim pesan itu, Firman jatuh terduduk di samping Yasmin. Ia menggenggam tangan Yasmin, menempelkannya ke pipinya yang berdarah.

"Bertahanlah, Yas... sedikit lagi kita akan tahu siapa kita sebenarnya," bisik Firman sebelum pandangannya perlahan menggelap.

Di saku jaketnya, Halaman 16 yang basah oleh darah Firman menunjukkan sebuah kalimat terakhir yang belum sempat ia baca:

"...namun kebenaran sejati tentang Subjek 02 (Yasmin) hanya diketahui oleh Eliza. Karena Yasmin adalah satu-satunya yang tidak pernah menerima suntikan X-22. Dia lahir secara alami, sebagai bentuk penebusan Eliza dari dosa Proyek Lentera."

Kalimat itu tertutup oleh noda darah, menyisakan sebuah tanda tanya besar: Jika Yasmin lahir alami dan Firman lahir melalui manipulasi, apakah mereka benar-benar saudara, ataukah Firman hanyalah "produk" yang diciptakan untuk menjaga Yasmin?

Firman dan Yasmin diselamatkan oleh tim medis rahasia yang dikirim oleh Ibu Diana. Mereka dibawa ke sebuah kapal nelayan menuju perairan internasional. Di tengah perjalanan, Yasmin akhirnya sadar dan ingatan tentang pengakuan Syarifuddin di Bromo mendadak kembali sepenuhnya. Ia menatap Firman dengan tatapan yang dipenuhi kebencian dan rasa jijik. Sementara itu, Ibu Diana muncul di kapal tersebut membawa sebuah kaset video asli kelahiran mereka. Fakta mengerikan apa yang ada di video itu yang membuat Ibu Diana harus bersembunyi selama dua puluh tahun? Dan benarkah Firman adalah orang yang secara genetik 'didesain' untuk mencintai Yasmin agar eksperimen Lentera tetap terkendali?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!