Aku hidup seperti mengikuti sebuah alur dunia fiksi sebagai figuran tak terlihat. Semuanya membuatku muak. Seandainya kita hidup dalam sebuah simulasi komputer yang dapat mengalami hal yang namanya glitch in the matrix, namun semua itu hanya ilusi semata. Banyaknya keinginan yang kuinginkan hanya bisa kutulis dalam sebuah fiksi.
Hingga aku mulai menjalani hidupku tanpa ketergantungan dari sebuah fiksi. Melepas semua belenggu yang kutakuti dan mulai terbang seperti burung samurai. Disini, aku mulai menulis kisahku mengubah dialogku dari peran figuran menjadi peran utama.
Bukan tentang transmigrasi maupun reinkarnasi seperti kebanyakan novel, aku berubah karena kata-kata seseorang. Aku tidak ingin menjadi orang idiot yang menganggap kata motivasinya sebagai kata yang tidak mungkin terjadi. Dengan kata katanya yang kadang setajam silet, aku mampu mengubah diriku menjadi seekor burung samurai yang bangga.
Dan yang terpenting ini nyata bukan fiksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zero 0, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Semuanya bukan tentang kata motivasi. Motivasi bisa...
“Semuanya bukan tentang kata motivasi. Motivasi bisa menjadi sebuah bulshit untuk orang yang pernah tersakiti. Aku tahu itu, maka aku tidak mau menjadi salah satu idiot diantara mereka.”
Apa yang kalian tahu tentang motivasi, apa kalian pernah mengalaminya? Kata motivasi hanyalah untuk orang yang berpikiran terbuka. Untuk orang yang keras kepala dan perpikiran negatif pergilah menjauh karena kata ini tidak cocok untuk kalian.
Kata motivasi juga bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Jangan terlalu menganggap serius untuk orang yang tidak mau berjuang karena nantinya jika tidak mencapai ekspetasi kalian akan semakin mengalami kemunduran. Tentu saja itu hanya untuk orang idiot. Berbeda dengan orang yang memiliki pikiran kepala terbuka, semakin terbentrok maka semakin kuat dia.
Kekuatan jati diri biasanya akan berada pada saat titik terendah dalam diri seseorang. Hanya untuk orang kuat, dia akan menunjukkan jati dirinya dan yang lemah mungkin mereka akan berakhir bagaikan orang yang kalah dalam bermain mobile legent.
Dan aku? Aku tentu saja tidak mau menjadi seorang idiot yang akan kalah dalam permainan ini. Aku, entah protagonis atau antagonis yang terpenting aku akan menang.
“Bukannya itu Sekar ya?”
Perkataan Cila mengagetkanku. Cila sedikit menunjuk sudut restoran yang saat ini kami tempati membuatku ikut menatap arah yang ditunjuknya. Ya, sepulang sekolah kami memutuskan untuk berjalan jalan terlebih dulu dan akhirlah kami berada di restoran y.
Aku menyipitkan mata dengan sedikit tidak percaya. Apa yang aku lihat saat ini. Entah aku tidak ingin berspekulasi yang tidak mungkin, ini bukan area zonasi ku.
Aku hanya sedikit heran, apa dia tidak risih dengan seperti itu? Ini menjadi sedikit tanda tanya di hatiku.
“Omo.. Sekar, ya ampun. Jadi gini ya dia!” desis Cila tertahan. Tanpa sepatah kata lagi Cila meraih ponsel dan mengabadikan hal tersebut.
“Gila, gue masih nggak nyangka dia kayak gini. Padahal dia kelihatan polos banget.” Cila terus saja heboh.
“Udah biarin aja sih. Ini hidup dia, nggak ada sangkut pautnya sama kita.”
“Ini tuh moment langka tau, kali aja gue bisa dapet cuan dari sini.”
Aku hanya menggeleng pasrah, untungnya sahabat kalau bukan sudah ku tendang sampai tepar.
..."Berbuat baik pada yang pantas dan berbuat jahat jika mereka pantas mendapatkannya."...
“Rea Andana. Lo kayaknya berubah ya baru baru ini.” Edo bertanya mengalihkanku dari lapangan basket.
Edo. Dia ketua kelas di kelasku, seperti penampilan ketua kelas pada umumnya. Dia pintar, sopan, tegas dan pemimpin yang baik. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba dia mengajakku menonton basket di pinggir lapangan. Sedikit bingung karena Edo dan aku tidak pernah memiliki kontak sebelumnya, bertegur pun hanya sekedar mengabspen.
Aku memandangnya dengan memicing. Ada apa gerangan tiba-tiba berbicara seperti itu. Dia berbicara dengan sok kenal membuatku risih, anggap saja aku khilaf karena mau di ajak olehnya kesini.
“Gue biasa... lo aja yang nggak kenal gue makanya ngomong gitu,” sinisku padanya. Entah kenapa aku sangat sensitif saat dekat dengannya seolah dia berhutang padaku ratusan juta.
Edo terkekeh kecil melihat tingkahku, menoleh adan menatap tengah lapangan yang kini kosong seakan membiarkan kami berdua memiliki waktu berdua.
“Ngapain ngajak gue kesini?” tanyaku padanya.
“Nggak ada. Gue cuma mau berdua sama lo.”
Aku memicing bingung. Aneh mendengar kata itu darinya, memang apa bagusnya berdua denganku. Tidak ada manfaat sekalipun dia berdua atau berbanyak denganku. Idiot.
Ke sekian kalinya aku telah bertemu orang konyol sepertinya. Tidak ada menariknya sama sekali untuk berdua denganku dan mungkin orang yang hanya berdua bersamaku hanya akan menjadi nyamuk karena aku hanya berfokus pada diri sendiri. Duniaku, dunia fiksi yang tengah kukerjakan. Dunia yang aku jalani saat ini dunia yang akan kutulis. Semua kisahku dari awal.
Semua rasa yang aku dapatkan akan ku tulis karena aku sedang mencari kisahku. Aku tertawa dengan sendirinya masa bodoh dengan orang disampingku yang akan menganggapku gila. Menertawakan kisahku yang selanjutnya, begitu banyak yang kulewatkan hingga aku tidak dapat menuliskanya secara detail.
Setitik air mata jatuh begitu saja dari mataku yang langsung kuhapus kasar. Perasaan ini membuatku menggebu, bukan sedih tapi kelegaan yang luar biasa. Tidak ada yang tahu perasaanku selain diriku jadi aku hanya menyimpannya untuk diriku.
“Lo kenapa?” tanya Edo yang kini menatapku.
“Kenapa? Emang gue kenapa?” tanyaku balik. “Lo heran ya sama gue. Sama gue juga,” lanjutku.
“Bukan gitu,” Edo menggaruk rambutnya yang tidak gatal menatapku rumit.
“Udahlah, lo nggak ngomong apa apakan. Gue duluan.” Aku bangkit dari dudukku dan berjalan meninggalkannya tanpa menatap ke belakang menghiraukannya yang berteriak memanggilku. Kini akhirnya aku bebas dari seekor hama yang tidak penting, jahat memang aku mengatainya hama.
Jangan menuntut untuk berbuat baik, nyatanya aku manusia yang jahat. Baik perlu dan jahat itu juga diperlukan, baik belum tentu menjadi tokoh utama yang akan menang namun sebaliknya, dunia nyata lebih banyak tokoh antagonis yang akan menang.
Bukan berarti aku menginginkan untuk menjadi jahat, tidak sama sekali. Aku hanya ingin menjadi baik untuk orang yang pantas mendapat kebaikanku dan berbuat jahat kepada mereka yang pantas mendapat kejahatanku. Klise, hidupku seperti itu.