"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sora yang malang.
Kayla dan Sora saling bertukar pandang ketika si anak introvert itu tiba-tiba bersuara dan menawarkan tumpangan untuk mereka berdua.
“Be—beneran, Jul?” Sora memastikan. Yang ditanya hanya mengangguk dengan gaya cool-nya. Axel dan Jo melihat hal itu dengan takjub.
“Wahh, gue juga deh, Bro? Belum pernah nih nebeng di mobil lo.” Si Axel tiba-tiba berubah haluan, tidak jadi ikut mobil Tama. Itupun kalau Julian setuju.
“Boleh aja.”
“Gue juga?!” Jo seakan tidak ingin ditinggal saudara kembar tidak se ibunya, Axel.
“Loh, kok jadi kita yang desak-desakan? Kalian ‘kan udah di mobil si bos.” Kayla sengaja berkonfrontasi. Sungkan kepada Julian yang tadinya hanya menawarkan tebengan kepada dia dan Sora.
“Nggak apa-apa. Muat kok.” Julian ternyata tetap tidak keberatan.
“Ya udah. Titip anak-anak, Jul.” Tama mengeluarkan suaranya untuk menyudahi urusan tebeng menebeng.
Dua jam berlalu tanpa terasa. Seluruh data yang Tama minta sudah masuk ke dalam emailnya. Jam lima teng anak-anak bersiap untuk berangkat menuju restoran tempat gathering diadakan. Julian yang sudah beres duluan, berjalan menghampiri meja Sora dan mengetuk sandaran kursi wanita itu.
“Ayo,” ajaknya. Walau suaranya pelan, semua orang di dalam ruangan bisa mendengarnya. Tama yang hendak memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja saja sampai berhenti sejenak karena tidak sengaja melihat kejadian langka itu.
Dia juga tidak melewatkan bagaimana Sora memutar badan hanya untuk mengangguk kepada Julian. What the hell. Tanpa sadar salah satu alis Tama terangkat.
Axel dan Jo rupanya menyadari perubahan ekspresi si bos. Keduanya langsung tau apa yang ada di dalam pikiran pria itu.
“Ayo ayo. Kita duluan ya, Bos.” Axel keluar dari mejanya dan merangkul Jo. Menarik pria itu keluar dari ruangan, mengikuti Kayla dan Sora yang sudah keluar lebih dulu. Tinggallah Tama dan Giselle yang melihat semua orang pergi tanpa mempedulikan mereka.
“Kenapa, Mas?” Giselle menyadari air muka Tama yang berbeda.
“Hah? Nggak kenapa-kenapa. Ayo? Kamu udah selesai?”
“Udah. Yok.” Giselle tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada sang kekasih. Ya, begitulah mereka yang tidak sungkan menunjukkan kemesraan saat di kantor. Jadi, sangat wajar kan jika Axel dan Jo mulai gerah?
Bukan hanya mereka, anak-anak dari divisi lainpun sama. Bahkan, ada yang menilai Tama sedikit berubah setelah bersama Giselle. Dinilai terlalu lebay dan kehilangan kharismanya sebagai seorang supervisor.
Memang sih, saat dekat dengan Sora keduanya seperti anak kecil yang tidak bisa diam. Tapi tetap ada porsinya. Mereka selalu tau kapan harus kembali bersikap normal dan profesional. Ya namanya juga sama-sama umur dua puluh tujuh.
Sekarang, Dirga seperti terlalu dalam masuk ke dunia Giselle yang masih labil, sampai kehilangan akal sehatnya. Bahkan dia mulai jarang main dengan Axel dan Jo. Giselle sudah berhasil menguasai seluruh dunianya.
Loby dipenuhi oleh semua karyawan yang bersiap-siap untuk berangkat. Banyak yang saling tebeng untuk menghemat waktu dan supaya lebih efisien. Dan sekarang, yang ada di loby ini adalah mereka-mereka yang sedang menunggu si empunya mobil mengambil kendaraannya dari parkiran.
“Eh, Soraaaaaaaa!” Friska si admin stok menyapa Sora yang baru sampai di bawah.
“Woii. Nebeng sama siapa lo?” Sora merangkul Friska dengan akrab.
“Sama siapa lagi kalau bukan dengan ayang beb, Hehe. Lo, sama siapa? Tama? Hai, Kayla.” Friska juga menyapa Kayla yang ada dalam gandengan Sora.
“Lo pasti nggak percaya! Sama Julian!"
“Hah? Serius? Si introvert itu? Kok bisa??”
Sora mengangguk-angguk. “Entah. Kita satu ruangan juga heran. Iya ‘kan, Kay?”
Kayla mengiyakan dengan anggukan juga.
“Wahh. Kirain lo sama abang Tama. Hehe.”
“Please deh, Friska yang cantik. Stop talking like that. Gue malas banget ya dihubung-hubungkan sama Tama terus.” Sora berkata tegas, namun tetap ada nada bercandanya. Sedikitpun tidak ada niat marah kepada Friska.
Beberapa menit kemudian ponsel Sora berbunyi. Ketiganya refleks melihat ke arah benda tersebut.
“Julian, ciyeeeee.” Friska dan Kayla refleks bersorak.
“Ya ampun!? Berisik tau nggak?! Ini dia pasti cuma mau kasi tau kalau dia udah di depan. Jangan aneh-aneh pikiran lo berdua."
“Ya kenapa nelpon lo? Bukan Axel atau Jo?” Kayla menyenggol lengannya genit.
“Please lah, Kay. Lo nggak usah jadi detektif dadakan gitu ya! Bentar gue angkat dulu. Iya, Jul? Oh, oke oke, siap. Sip. Bye.”
Klik.
"Kan? Udah di depan dia. Ayo, Kay! Mana si Axel dan si Jo?” Sora memutar kepalanya, berniat mencari dua batang hidung pria yang seharusnya satu mobil dengan mereka. Namun saat melihat ke belakang, tatapannya justru bertemu dengan Tama yang sedang berdiri bersama Giselle. Tidak jauh dari mereka. Mungkin hanya tiga meter. Kedua orang itu seperti sedang menunggu kerumunan sedikit berkurang supaya bisa lewat.
Lagi-lagi itu terjadi hanya sekian detik. Sora sudah terbiasa menghindari adu tatap dengan Tama. Kepalanya kembali menghadap depan dan segera mengajak Kayla keluar.
“Eh, Ra, Kay, nanti duduknya barengan ya!” Friska tak lupa berpesan dan langsung dijawab ‘oke’ oleh keduanya.
Di luar sudah banyak mobil yang antri menaikkan penumpang. Termasuk mobil Julian. Rupanya dua ekor anak ayam yang sejak tadi dicari-cari sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Huh! Capek-capek Sora mencari sampai harus melihat dua sejoli yang sedang berpegangan tangan. Nasib, nasib.
“Sora, lo di depan!” Axel dengan ributnya berteriak dari luar. Kursi di sebelah Julian memang masih kosong. Kedua orang itu sudah mengambil tempat di tengah dan di belakang.
“Loh, gue ama Kayla di tengah dong woy. Lo berdua di belakang aja. Kalau enggak, lo aja Xel, yang di depan!” Sora protes. Apa-apaan mereka? Apa mereka punya niat tersembunyi sekarang?
Dan suara Axel semakin kencang saat melihat Tama keluar dari pintu utama. Seperti mencoba menarik perhatian si bos yang sudah pasti berniat mengambil mobil juga.
“Ya elah. Tadi ‘kan Julian maunya nebengin lo doang. Kita cuma ngikut. Jadi lo di depan aja,” ujarnya.
“Mana adaa. Ish, Axel! Lo ke belakang aja sih!”
“Ayo eh, yang di belakang udah antri.” Tiba-tiba Julian memanjangkan tangan, membuka pintu untuk Sora. Dan seketika perempuan itu tidak ada pilihan karena teman-teman yang di mobil belakang pun sudah menyoraki mereka. Dan jadilah dia duduk di depan. Kayla sendiri duduk bersama Axel di tengah.
Kejadian itu tentu saja tak luput dari pengelihatan Tama. Dia bahkan sempat beradu tatap dengan Sora ketika berjalan ke arah yang berlawanan dengan gerbang keluar. Sial! Kenapa laki-laki itu merasa ada yang janggal di dalam hati? Sejenis perasaan tersingkir dari teman-temannya. Sejenis perasaan tidak rela karena Sora duduk di depan bersama Julian.
Mobil Julian akhirnya berjalan. Axel, Jo, Sora dan Kayla membuat keributan sepanjang perjalanan. Semenjak akrab dengan Sora, perlahan-lahan Kayla juga mulai membuka diri. Meninggalkan karakter introvertnya dan mulai terkontaminasi kegilaan Sora. Beruntung Sora adalah teman dengan pengaruh positif. Jadi dia tidak perlu khawatir akan terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat.
“Akhirnya kita bisa mendengar suara lo, Jul. Suara lo benar-benar mahal banget ya?” Sora berseloroh sambil tertawa.
“Bener banget, Bro. Gue kira kita harus bayar dulu kalau pengen dengar suara lo,” sambung Axel.
“Lo semua terlalu berlebihan. Gue cuma lagi dalam fase hemat energi.”
“Ha-ha-ha-ha!” Seisi mobil tertawa. Ternyata Julian bisa bercanda juga.
“Kita kira lo mahluk goa yang terbiasa hidup sendiri. Jadi nggak butuh teman.” Jo juga menyuarakan isi kepalanya.
Julian kembali tertawa, tapi masih diirit-irit.
***
Saat mereka sampai, restoran sudah cukup ramai. Friska yang tadinya ditinggal di belakang malah sudah sampai duluan. Entah bagaimana bisa demikian. Gadis itu melambai kepada Sora dan rombongannya.
“Ra, Kay! Sini!” teriaknya.
Sora, Kayla, Julian, Axel dan Jo pun bergabung di sebuah sofa yang sangat panjang, yang berhadap-hadapan mengapit satu meja yang sama panjangnya. Selain Friska, sudah ada sepuluh orang lain yang duduk di sana. Tapi yang jelas tidak ada Tama dan Giselle.
“Asik banget ya bisa kumpul semua divisi begini," celetuk salah seorang. Kalau tak salah namanya Fabian, marketing khusus frozen food.
“Bener. Apalagi bisa duduk bareng sama ibu Sora yang jarang banget ngumpul sama kita-kita.” Friska terdengar setuju.
“Ya iyalah, ikatannya udah dilepas. Soalnya yang selama ini ngikat dia, udah diikat sama cewek lain.” Axel memancing di air keruh.
“Ha-ha-ha-ha!!” Tawa riuh itu membahana sampai ke langit-langit restoran. Siapapun pasti tau maksud dari kalimat Axel.
“Jaga mulut lo, Xel! Gue sumpalin tisu juga lo lama-lama.” Sora beneran melempar tisu yang ada di tangannya ke arah Axel dan mengenai pundak laki-laki itu.
Tama dan Giselle pun sampai tak lama kemudian. Netra pria itu langsung mencari seseorang yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Dan dia menemukannya. Wanita yang sudah duduk bersama orang-orang yang sangat jauh dari jangkauan Tama. Maksudnya, yang jarang berinteraksi dengan dia. Bahkan Axel dan Jo pun sudah jarang bermain dengannya.
“Pak Tama.” Rahmat memanggil Tama dan Giselle agar duduk di meja mereka. Para manajer dan SPV dari semua divisi berkumpul di sana. Mungkin disengaja karena akan ada meeting ringan seperti yang kata Rahmat tadi.
Tama memberi salam kepada Direktur dan jajaran lain yang duduk di hadapan mereka. Kemudian duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Rahmat. Berhubung Giselle adalah keponakan pria itu, tidak ada yang keberatan kalau dia duduk di sana, sekalipun dia bukan level SPV. Lagian, memangnya dia punya teman? Tidak ada. Dia hanya tau Tama, Tama dan Tama.
“Gimana, Pak Tama? Aman ya, Pak, piutangnya?” Entah ada angin apa direktur berbicara langsung dengannya.
“Sejauh ini aman, Pak. Masih on track,” jawab Tama dengan sopan dan percaya diri.
“Bagus. Tingkatkan, Pak. Tapi saya dengar-dengar kabar selentingan kalau ada sedikit kendala di customer. Semoga bisa ditangani dengan baik ya, Pak?"
Rahmat dan Tama mengangguk bersamaan.
“Sudah dicarikan solusinya, Pak. Nanti PIC dari tim kita akan ikut, setiap kali ada pengiriman barang ke customer yang sering bermasalah.” Rahmat memilih untuk menjawab. Kalau sampai Tama yang menjawab, bisa-bisa rusak reputasinya sebagai manajer.
“Itu yang ingin saya dengar.” Direktur tersenyum sambil mengacungkan jempol.
Setelah itu semua sibuk dengan obrolannya masing-masing. Acara belum dimulai, entah karena apa. Mungkin makanannya belum ready, jadi belum bisa dihidangkan.
Diam-diam Tama melihat ke meja panjang yang ada di depannya. Meja dimana Sora berada dan perempuan itu sedang duduk membelakangi dirinya. Sora tampak sangat bahagia berada di sana. Dia selalu tertawa lebar bersama Julian, Kayla, Axel dan Jo.
Ah… Axel dan Jo. Tama bukan tidak menyadari kalau kedua orang itu mulai menjaga jarak darinya. Entah mereka yang menjaga jarak, atau Tama yang tanpa sadar semakin menjauh. Dunianya sudah berubah hanya seputar Giselle seorang. Sejujurnya….
“Mas?” Giselle menyenggol siku tangannya dan membuat laki-laki itu terkesiap.
“Y—ya?”
“Mas ngelamunin apa?” tanya Giselle pelan. Seperti menyadari hati Tama sedang tidak berada di sana.
“Nggak ngelamunin apa-apa, Sayang.” Secepat itu wajahnya tersenyum menutupi kebenaran. Semoga saja Giselle tidak menyadari, kalau sejak tadi dia sedang menatap punggung seseorang.
“Ciyeeee-ciyeeeeeeee”
Tiba-tiba perhatian di meja para petinggi dan meja lain, teralihkan ke meja Sora dan kawan-kawan. Orang-orang itu sedang menyoraki Julian yang baru saja berdiri sambil melepaskan jaketnya, yang kemudian dia berikan kepada Sora yang duduk dipisahkan oleh Kayla.
“So sweeetttt.” Friska berteriak keganjenan, seolah-olah dialah yang dipakaikan jaket.
“Ih nggak usah, Jul. Ini kok pada aneh-aneh banget ya ampun. Malu banget gue.” Sora menundukkan kepala dengan kedua tangan yang dibuat menutupi wajah. Dia sadar suara di meja mereka sudah terlalu kencang. Sudah pasti mereka akan menjadi pusat perhatian.
“Udah, pake aja. Kata lo tadi kedinginan.” Julian berseloroh, meletakkan jaketnya di pundak Sora yang kecil.
Mampuslah! Ada yang merasa terbakar!
“Kay, pulang yok.” Sora berucap pelan lantaran malu. Namun seisi meja itu ternyata mendengarnya dan membuat tawa mereka semakin kencang.
“Ha-ha-ha-ha. Duh, Ra, perut gue sakit banget ketawa terus.” Yang diajak pulang bukannya mengerti kode, malah semakin mengompor-ngompori.
“Ini kenapa kenapa kenapa. Sepertinya asyik sekali.” Tau-tau Rahmat menghampiri meja itu dan berencana bergabung dalam keseruan para karyawannya. Sora semakin tidak berani mengangkat wajah. Kulitnya yang putih, kini berubah merah padam dan sangat panas. Seluruh darahnya naik ke kepala.
“Ada yang lagi pedekate, Pak!” Si cablak Axel berbicara tanpa berpikir. Iya, memang tujuannya ingin memanas-manasi si ono noh!
“Siapa? Pak Julian sama Ibu Sora ya?” Bak anak muda, bisa-bisanya Rahmat ikut menjodoh-jodohkan.
“Benar, Paaaakk,” sahut seisi meja.
“Bohong, Pak. Jangan ngarang guys!” Sora berusaha membela diri dengan suaranya yang nyaris ditelan bumi.
“Cocok juga. Kalau married anak-anaknya pasti cantik dan tampan.”
“Paaaakk, ya Tuhannn. Saya boleh pulang aja nggak, Pak?” Sora meringis sampai ingin menangis. Tidak sanggup menahan malu yang sudah sampai ke ubun-ubun. Seriusan, dia ingin pulang saja.
Sialnya, jawaban lucu itu malah semakin menggelitik perut semua orang. Sampai-sampai yang di meja lainpun ikut tertawa.
Rahmat kembali ke mejanya setelah puas menggoda Sora dan Julian. Hal-hal seperti ini memang kadang diperlukan untuk menambah keakraban di antara para karyawan. Bukan berarti tadi dia serius. Tapi yang pasti bisa membuat semuanya tertawa dan semakin kompak. Mendekatkan atasan dan juga anak buah.
Sejumlah pelayan mulai bermunculan dari dapur. Menghampiri meja-meja dengan membawa troli berisi makanan. Akhirnya Sora terselamatkan. Semua orang mulai sibuk dengan makanan yang dihidangkan di depan masing-masing.
Ting ting ting!
Suara sendok beradu dengan gelas membuat semuanya hening.
“Attention, please.” Direktur berdiri dan meminta semua perhatian para karyawannya. Semua yang membelakangi meja direktur otomatis memutar badan. Termasuk Sora dan kawan-kawan. Dan saat itu pula, gadis itu langsung menyadari kalau sejak tadi Tama ada di belakangnya.
Ya Tuhan, apakah dia melihat serangkaian kejadian memalukan tadi? Apakah dia melihat Julian memberinya jaket? Semoga ti—hah! Memangnya kenapa kalau dia lihat? Apa urusannya? Tidak ada! Kenapa Sora merasa ada yang harus dijaga? Bukankah Tama sudah punya pacar? ‘Jangan bodoh ya, Sora!’, perintahnya pada diri sendiri.
“Selamat malam semuanya." Beliau menyapa.
"Malam, Pakkkkkk."
"Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang sudah bekerja keras di bulan kemarin. Terima kasih, karena semua divisi telah mengerahkan seluruh tenaga, hati dan pikiran untuk memberikan performa yang terbaik. Malam ini, seperti yang sudah-sudah, kita mengadakan gathering untuk merayakan pencapaian yang baik di bulan lalu, sekaligus menjalin tali persaudaraan, kebersamaan agar kita tetap solid di bulan-bulan berikutnya."
...
"Seperti yang terjadi tadi di meja depan." Direktur menunjuk ke arah meja panjang dengan senyum di wajah. "Tadi saya ikut tertawa melihat semua orang tertawa. Padahal saya tidak muda lagi. Namun Ibu Sora dan Bapak Julian sudah berhasil membuat saya kembali mengingat masa-masa muda saya yang dulu."
Sora shock berat mendengar direktur juga ikut-ikutan me-roasting mereka berdua. Matanya membulat sempurna, melihat ke arah si pembicara. Seriously??
"WAHAHAHAHAHAHAHAHA!!" Semua orang tertawa terbahak. Sangat puas melihat wajah Sora yang memerah bagai kepiting rebus.
"Bu Sora sudah ada pacar?"
"Heh?" Sora semakin tidak percaya ditanya demikian.
"Belum, Pakkkk. Makanya ini lagi dideketin sama si Julian!!" Friska berteriak sampai nyaris kehabisan suara. Ya Tuhan! Sora spontan menutup mulut Friska dengan tangannya sambil mengancam 'diam nggak lo?'.
"Nggak apa-apa loh. Anak saya itu udah kelamaan menjomblo soalnya."
Heehhhhhhhhhhhh???????
***