"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Di Pandang Rendah
Aisyah menatap putranya—mata itu berkaca-kaca, tapi bukan karena amarah. Melainkan karena rasa yang tak bisa disangkal lagi: sayang, kecewa, dan harapan yang nyaris padam.
Lalu, Aisyah menoleh ke arah Kanya. Jemarinya yang sejak tadi menggenggam gamis, kini mulai mengendur.
“Kanya,” ucap Aisyah lembut. “Kau tidak salah karena ingin tahu apakah kau berarti. Itu adalah hakmu sebagai istri. Dan sebagai manusia.”
Keynan mengangguk kecil. Wajahnya masih datar, tapi sorot matanya melunak.
“Kamu pernah datang ke sini. Kami tak pernah tahu semua ini,” ucap Keynan perlahan. “Tapi kami akan mendengarkan sekarang.”
Kanya menatap mereka berdua—sepasang orang tua yang kini tak lagi menjadi tembok yang harus ditembus, melainkan tempat untuk berpulang.
“Apa... kau masih ingin bersama Kian?” tanya Aisyah lirih.
Pertanyaan itu menggema lebih dalam daripada yang tampak.
Kanya menoleh, menatap pria di sampingnya. Pria yang dulu mengucapkan akad di rumah sakit dengan suara lirih, nyaris tanpa getar. Pria yang malam ini mengulang kalimat yang sama—di hadapan ratusan orang—dengan suara bulat dan mantap… tanpa keraguan.
Dan kini, pria itu duduk di sampingnya—wajahnya lelah, matanya jujur.
Tapi ada kegelisahan samar di sana.
Dalam hati Kian:
“Seharusnya Kanya pergi…
Agar aku tak harus terus berpura-pura dalam pernikahan ini.
Agar aku bisa melangkah ke masa depan—bersama Friska, wanita yang kupilih.”
Tapi harapan itu tak setegas yang ia bayangkan.
Terutama setelah melihat Kanya duduk di sana, setelah melihat bagaimana orang tuanya menerimanya…
Dan rumah ini, simbol dari status dan kemapanan keluarganya, kini justru membuat Kian merasa… terperangkap.
Dalam hatinya: “Mungkin setelah melihat semua ini, Kanya akan berpikir dua kali untuk pergi. Bukan karena aku. Tapi karena semua yang kupunya.”
Kanya menarik napas panjang.
“Aku percaya… pernikahan adalah janji suci,” ucapnya pelan. “Meskipun aku merasa Kian tidak mencintaiku, aku punya kewajiban menjaga kehormatan sebagai istri. Apalagi… Ayahku meninggal beberapa menit setelah menikahkan kami. Itu wasiat terakhirnya.”
Matanya berkaca. Suaranya tetap stabil.
“Jika aku meninggalkan pernikahan ini… itu sama saja mengkhianati permintaan terakhir beliau. Jadi, aku akan tetap bersama Kian.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu: itu bukan satu-satunya alasan.
Bukan hanya karena ayahnya. Bukan hanya karena ikrar suci.
Tapi karena dirinya sendiri.
Kanya pincang. Traumanya belum usai. Ia ditabrak oleh pria yang kemudian menjadi suaminya. Jika ia pergi sekarang… apa yang akan dunia lihat darinya?
Seorang istri yang ditinggal. Seorang perempuan “cacat” yang ditolak.
Tidak. Ia tak bisa membiarkan satu-satunya harga diri yang tersisa ikut runtuh.
Bertahan adalah perjuangan. Diam adalah bentuk perlawanan.
Dan… ia pun sadar, ia punya salah: meninggalkan Kian selama dua tahun tanpa jejak. Ia ingin menebusnya. Dengan caranya sendiri.
Kian tersenyum samar—senyum yang sulit diartikan. Bukan karena lega, bukan pula bahagia. Tapi karena pikirannya mulai menyusun simpul-simpul dugaan yang ia anggap logis.
“Dugaan awalku benar,” pikirnya dingin. “Dia bicara seolah tak peduli dengan status sosialku. Tapi siapa yang rela melepaskan semua ini begitu saja? Terutama dia—seorang gadis pincang, yang bahkan tak mau memperlihatkan wajahnya pada suaminya sendiri, meski kami telah sah di hadapan agama."
Tatapannya turun perlahan pada tangan Kanya yang mengepal di pangkuan.
Wajah itu tegar. Ucapannya jujur. Tapi di mata Kian—semua itu hanya tameng dari luka yang tak ingin ditertawakan dunia.
“Siapa yang mau menikahi gadis seperti dia? Kakinya pincang, dan tak akan pernah bisa disembuhkan. Dan harga dirinya…? Sudah lama remuk. Dia tak akan pernah melepaskanku. Sial… beginikah nasibku?”
Ia menarik napas dalam-dalam.
Yang tak ia tahu—dan mungkin belum siap untuk tahu—adalah kenyataan bahwa Kanya telah menolak lebih dari satu lamaran. Bukan dari pria sembarangan. Tapi dari lelaki yang punya nama, harta, dan masa depan yang menjanjikan.
Dan yang membuat semua lamaran itu ditolak, hanya satu hal:
Kanya masih menjadi istrinya.
Jika Kian tahu, apakah ia akan merasa dihargai? Atau justru cemburu? Atau… takut menghadapi kenyataan bahwa mungkin, gadis yang ia pandang rendah itu—ternyata jauh lebih setia dari yang bisa ia bayangkan? Bahwa Kanya bukan sekadar perempuan yang tersisa... melainkan perempuan yang justru diperebutkan. Yang dinilai berharga… oleh pria-pria lain.
Keynan dan Aisyah saling bertukar pandang sejenak. Lalu pria itu membuka suara, mantap dan penuh wibawa.
"Bagus kalau kamu berpikir seperti itu. Pernikahan adalah ikatan suci—karena janji yang kita ucapkan bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Allah. Dan aku menghargai pendirianmu. Kau perempuan yang berprinsip. Karena itu, mulai hari ini… kau adalah bagian dari keluarga kami."
Kanya menatap Keynan dengan mata membulat. Campuran rasa terkejut, hormat, syukur, dan ketidakpercayaan mewarnai sorot matanya.
Sementara itu, Kian hanya menghela napas pelan. Mau tak mau, ia harus menelan kenyataan yang terasa pahit—kenyataan yang kini tak bisa lagi ia tolak.
Keynan lalu menoleh pada istrinya. "Ma, tolong antar Kanya ke kamar Kian. Dia pasti lelah. Aku ingin bicara empat mata dengan anak kita ini."
Aisyah mengangguk penuh pengertian, lalu bangkit dan menghampiri Kanya.
"Ayo, Nak. Mama antar ke kamarmu," ucapnya lembut. Tangannya terulur, menggenggam lengan Kanya dengan kehangatan seorang ibu.
"Terima kasih, Ma..." jawab Kanya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Ini pertama kalinya ia memanggil seseorang 'Mama'—dan entah kenapa, ada rasa asing yang menghangatkan hatinya.
Setelah langkah mereka menjauh, Keynan menatap putranya lurus-lurus.
"Papa kecewa padamu." Suaranya pelan, namun tegas dan penuh luka. "Demi posisi CEO, kau tega mempermainkan perasaan seorang ayah yang sekarat… dan gadis polos yang tak tahu apa-apa. Papa tak pernah mengajarkanmu menjadi laki-laki seperti itu."
Tatapan Keynan menajam. “Kau tak mencintai Kanya, 'kan? Papa bisa melihatnya."
Kian menunduk. Tak sanggup membalas.
Keynan menghela napas berat. “Baiklah. Tak ada gunanya Papa marah. Tapi dengarkan ini baik-baik—karena kau sudah menikahinya, maka perlakukan dia sebagaimana mestinya. Hormati dia. Lindungi dia. Dan jangan buat Papa kecewa untuk kedua kalinya."
Kata-katanya tak panjang, tapi terasa menghantam dalam-dalam.
Kian hanya mengangguk pelan. “Aku mengerti, Pa…”
Namun, siapa yang tahu isi hati Kian?
Ia pernah dipermalukan Hasan karena mas kawin, dan tadi dipermalukan Kanya dengan menggagalkan pernikahan, belum lagi merasa dipermainkan karena Kanya sengaja menghilang darinya lalu muncul menghancurkan pernikahannya.
Ia tak hanya merasa dipermalukan, tapi juga dikhianati. Seolah selama ini Kanya menyusun skenario sendiri, memutuskan pergi seenaknya, lalu datang di saat yang paling menghancurkan.
Apa yang tersisa dari harga dirinya?
Kian melangkah pelan menuju kamarnya—langkah yang berat, malas, karena tahu bahwa di balik pintu itu… ada kenyataan yang tak bisa ia hindari.
Tempat paling privat miliknya kini harus ia bagi dengan seorang wanita. Bukan wanita yang ia pilih. Bukan yang ia cintai. Tapi wanita yang telah mempermalukannya di hadapan banyak pasang mata.
Tangannya memutar kenop pintu.
Klik.
Pintu terbuka. Dan di sana, tepat di tengah kamar, Kanya berdiri. Ia baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaian bersih—bukan miliknya, tapi milik Aisyah. Wajahnya masih tertutup cadar. Diam. Tenang. Tidak salah. Tapi cukup untuk membuat dada Kian mendidih oleh banyak rasa yang sulit dijelaskan.
Kian menutup pintu kasar.
Suara itu menggema dalam ruang yang sunyi.
“Kita perlu bicara,” ucapnya dingin. Tanpa menatap Kanya, ia berjalan menuju sofa panjang di sisi jendela. Duduk. Bersandar. Menatap kosong ke depan.
Kanya melangkah pelan. Duduk di ujung sofa. Jarak di antara mereka lebih dari sekadar ruang—itu dinding tak kasatmata yang sudah lama berdiri.
Kian melirik, tersenyum miring.
“Kau bilang ingin tetap bersamaku…” Suaranya rendah, namun tajam. “Tapi bahkan di kamar ini—yang hanya ada aku dan kamu—kau masih menutup wajahmu.”
Kanya menoleh perlahan. “Kita sudah sepakat. Aku tidak akan—”
“Sudahlah,” potong Kian cepat, datar. “Aku tak butuh pengulangan.”
Ia bersandar, lalu menunduk, menatap jemarinya yang bertaut di atas lutut. Napasnya pelan, tapi penuh tekanan.
“Aku hanya ingin bicara langsung ke intinya.”
Ia menoleh, mata itu tajam dan jujur—untuk pertama kali malam itu.
“Dulu, aku pernah mencoba. Menerimamu sebagai istriku. Menjalankan kewajiban. Menjaga amanah ayahmu. Tapi apa yang kau lakukan, Kanya?”
Matanya tak berkedip.
“Kau pergi. Kau hilang tanpa kabar. Dan kau kembali sesukamu—dengan cara yang menghancurkan semuanya. Termasuk… harga diriku.”
Kanya terdiam. Sorot matanya bergeser, pelan, menghindari tatapan itu.
Kian menghela napas, seperti menyiapkan peluru terakhir.
“Dan sekarang… aku akan jujur satu kali lagi.”
Ia menatap Kanya lurus.
“Aku mencintai Friska. Dan aku rasa… aku tak bisa mencintaimu.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
Kanya juga bukan Wanita yang akan bertindak bodoh dan tidak akan nuduh Kian tanpa bukti yang kuat...
ayo Kanya berikan hakmu pada Kian...biar Kian tidak menyentuh wanita lain di luar,,perlihatkan wajahmu Kanya jika sedang berdua di kamar
Kamu melanggar larangan orang tua mu..
jangan sampai kamu kehilangan baru nyadar Kanya wanita terbaik.
ingat pesan ayahmu
Kedua orang tua Kian itu agamis - Kian membalas pesan Kanya tanpa salam - mungkin menjalankan ibadah sholat juga bolong-bolong 🤭. Suami tak bisa jemput Kanya kata mama Aisyah - Kian tiba-tiba keluar kota.
Tiga malam Kanya telah berada di rumah mertua - Kian masih di luar kota.
Wuuaaahhh Kian pulang dari luar kota bau parfum wanita - kerah kemeja ada noda lipstik - gile bro. Awal pernikahan yang mengecewakan.