🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Ditolak Dua Wanita
"Kamu ada masalah apa to Nduk?" Umi Hana mengelus lembut kepala putri semata wayangnya. Saat ini mereka berdua sedang duduk berdua di dalam kamar.
Hafsa merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang ibunda. Ah, dia jadi rindu masa kecilnya dulu. Dia suka sekali bermanja-manja pada Umi, makan harus disuapi Umi, tidur siang pun harus bersama Umi. Umi adalah pusat dunianya, Umi adalah tempatnya bercerita. Sekarang pun, ingin rasanya ia menceritakan semua masalahnya, tapi ia sadar itu semua tidak pantas. Menceritakan keburukan suaminya pada orang lain adalah hal yang tercela bagi seorang istri.
"Hafsa cuma tiba-tiba kangen banget sama Umi," bohong Hafsa.
"Sebenarnya, akhir-akhir ini, Umi itu sering banget mimpi buruk. Tiba-tiba saja, Umi kepikiran terus tentang kamu. Umi takut kalau kamu kenapa-kenapa, makanya Umi sampai kesini membujuk Abah,"
Hafsa tersenyum. Insting seorang Ibu memang tidak pernah salah. Hanya saja sekarang dia jadi merasa bersalah karena membuat uminya khawatir.
"Tenang saja Umi, Hafsa baik-baik saja kok disini. Umi Zahra baik, Abah Baharuddin juga baik. Mereka memperlakukan Hafsa bukan hanya sebagai menantu, tapi sudah seperti anak sendiri,"
"Alhamdulillah kalau begitu Nduk. Terus kalau sama suamimu gimana, kamu nggak lagi berantem to sama dia?"
Hafsa terdiam sejenak, lalu cepat-cepat menggeleng. "Nggak kok Mi, kita nggak lagi berantem,"
Karena cuma aku saja yang sedang jengkel sama dia, Hafsa membatin.
"Kalau bertengkar juga nggak papa, namanya juga suami istri, pasti ada saja masalahnya. Sampai sekarang pun Umi sama Abah juga sering berantem kok,"
"Oh ya?" Hafsa menatap Umi Hana. "Tapi kok Hafsa nggak pernah tahu?"
"Ya itu kan karena kami selalu menutupinya Nduk," Umi Hana mencubit gemas hidung mancung putrinya. "Kami punya prinsip, kalau sedang berantem berdua, ya masalahnya diselesaikan berdua. Kita saling bicara, mata bertemu mata. Apa yang salah? Gimana solusinya? Kita nggak akan membuat orang lain tahu bagaimana masalah kita berdua,"
Hafsa mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak bisa membayangkan Umi dan Abah yang sedang bertengkar, karena memang tidak pernah melihatnya sama sekali. Rupanya mereka sudah punya cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.
"Kamu juga harus begitu Nduk," Umi Hana mengelus lagi kepala sang putri. "Selesaikan masalah kalian bersama. Kalau cuma diam saja, masalah tidak akan pernah selesai,"
Hafsa membenamkan wajahnya di pangkuan Umi Hana. Ah, Umi, apa yang harus ia selesaikan dengan Gus Sahil? Sejak awal, Gus Sahil bahkan tidak pernah memberinya kesempatan apapun. Bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, sementara Gus Sahil jelas-jelas sudah menolak?
"Semuanya akan selesai Nduk, tidak ada yang tidak mungkin. Berdoalah kepada Allah, karena hanya Dialah Sang Maha Membolak-balikkan hati seorang hamba,"
----------------
Hafsa melambaikan tangan tatkala mobil yang ditumpangi Abah Ali dan Umi Hana meluncur keluar dari pelataran rumah. Setelah singgah selama dua jam, mereka berdua segera pulang karena Abah Ali harus menghadiri pengajian di pesantren lain.
Hafsa merasa kedatangan orangtuanya membuatnya lebih bersemangat. Ia merasa mendapatkan energi yang cukup untuk menghadapi masalahnya sekarang.
"Ayo masuk," Ajak Gus Sahil, ia menunggu Hafsa yang belum kunjung beranjak. "Sudah mau dzuhur, ayo sholat berjamaah,"
"Saya masih udzur," Hafsa berkata cuek. "Saya kan sudah bilang tadi,"
(Udzur: berhalangan)
"Oh iya," Gus Sahil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ee.. Aku boleh tanya sesuatu nggak sama kamu Sa?"
"Tanya apa?" Hafsa masih menjawab dengan nada acuh tak acuh.
"Kenapa to kamu kok akhir-akhir ini jadi cuek?"
"Hah?"
"Ya, aku merasa kamu jadi aneh sejak kita pulang dari Bali. Apa aku ada salah sama kamu?"
Hafsa menghembuskan napas jengkel. Serius Gus Sahil bertanya seperti itu sekarang?
"Njenengan pikir saja sendiri," Hafsa menghentakkan kakinya keras-keras, meninggalkan Gus Sahil masuk ke dalam rumah.
...----------------...
"Brur," panggil Gus Sahil saat mereka sudah selesai sholat berjamaah di aula. "Aku mau nanya sama kamu,"
"Mau nanya apa Gus? Njenengan pasti lah sudah lebih tahu dari saya,"
"Ck, ini penting, nggak semua orang tahu soal ini,"
"Oh ya? Memang sepenting apa Gus?"
"Sini," Gus Sahil melambaikan tangan, memberi kode agar Mabrur mendekat. "Kamu tahu nggak, caranya bikin istri berhenti ngambek?"
"Loh, Ning Hafsa ngambek?"
"Heh, Ssttt!" Gus Sahil membungkam mulut Mabrur yang memang suka rem blong. "Jangan keras-keras. Ini rahasia kita berdua!"
Mabrur mengangguk-anggukan kepalanya. "Memang, Ning Hafsa ngambek kenapa Gus?"
"Nah itu, aku nggak tahu," Gus Sahil mencoba mengingat-ingat. "Sejak pulang dari Bali, dia jadi lebih cuek, kata-katanya ketus,"
"Lagi datang bulan kali Gus?" Tebak Mabrur.
"Loh, kok kamu bisa tahu?" Gus Sahil terheran-heran. "Memang aku sudah bilang sama kamu?"
"Nah itu dia masalahnya Gus," Mabrur menjentikkan jari, "Perempuan kalau sedang datang bulan memang suka begitu,"
"Suka begitu bagaimana?"
"Ya tiba-tiba marah-marah sendiri, ngomel-ngomel sendiri. Apa yang kita lakukan pasti salah. Bahkan ya kalau perempuan itu kesandung batu, pasti batunya yang bakal disalahin Gus,"
"Kok ngeri banget ya Brur?"
"Iya Gus. Makanya kita sebagai laki-laki itu harus perhatian saat perempuan sedang seperti itu. Kita kasih support system yang baik. Kita belikan cemilan, coklat, atau biar lebih bagus, bisa dipijitin badannya,"
"Ah, masa sampai harus segitunya sih Brur?"
"Loh, njenengan kok ndak percaya. Saya itu loh mantan buaya darat Darul Quran Gus,"
"Banyak gaya kamu Brur, sampai sekarang aja kamu masih jomblo to?"
Mabrur tertawa meringis. Gus Sahil tahu saja kalau dirinya sedang membual. Meski begitu, Gus Sahil memikirkan perkataan Mabrur dengan serius.
...----------------...
Gus Sahil membuka pintu kamar perlahan-lahan.
Hafsa sedang asyik membaca buku di atas ranjang, tidak menyadari kehadiran Gus Sahil.
"Ini, buat cemilan," Gus Sahil menyerahkan satu kantong plastik supermarket.
Hafsa mengerutkan kening. "Ini apa Gus?"
"Coklat. Aku dengar perempuan suka makan coklat kalau sedang datang bulan,"
Hafsa menggeleng, "Saya nggak suka coklat Gus,"
"Oh, kalau gitu ada roti juga. Roti ini terkenal enak, kalau digigit rasanya—"
"Saya sudah kenyang Gus, tidak mau makan roti,"
"Hm.. Ini ada keripik singkong. Dijamin pasti suka," Gus Sahil mengeluarkan beberapa bungkus snack dengan berbagai varian rasa.
"Sudahlah Gus," Hafsa menghela napas berat. "Jangan berbuat seperti ini pada saya,"
Gus Sahil mengangkat sebelah alis, tidak mengerti. "Apa maksudmu Sa?"
"Tolong jangan membuat saya salah paham sama njenengan. Saya capek kalau harus mengharap lebih, tapi ternyata itu semua cuma perasaan saya saja. Saya tidak mau patah hati untuk kesekian kalinya Gus,"
"Aku nggak ngerti maksud kamu Sa,"
"Gus Sahil berbuat baik sama saya seolah njenengan ada rasa sama saya. Saya yang awalnya tidak ingin terbawa perasaan, mau tidak mau jadi berharap. Kalau njenengan memang tidak bisa mencintai saya, njenengan tidak usah berbuat baik sama saya sekalian Gus,"
"Aku hanya ingin kamu merasa nyaman di rumah ini Sa,"
"Percuma Gus, karena yang membuat saya tidak nyaman itu adalah keberadaan njenengan," dan Roha, Hafsa membatin.
"Kalau kamu keberatan, aku minta maaf Sa. Aku tidak bermaksud membuat kamu salah paham,"
"Iya Gus, makanya mulai sekarang njenengan tidak usah repot-repot perhatian sama saya. Cukup jadi diri sendiri saja,"
Hafsa beranjak dari atas kasur, keluar dari kamar meninggalkan Gus Sahil.
Gus Sahil keluar dari kamar dengan wajah kusut. Dia tidak menyangka kalau perbuatan baiknya ternyata bisa memberatkan orang lain. Meskipun ia sadar itu semua disebabkan oleh mulutnya yang berkata dengan seenak hati.
Gus Sahil menenteng kantong belanja supermarket itu ke ndalem belakang. Karena Hafsa tidak mau menerima dan dirinya juga tidak terlalu suka cemilan, maka lebih baik diberikan saja pada para santri.
Langkah Gus Sahil terhenti ketika melihat seorang perempuan tampak berjongkok, menunggu mesin cuci yang sedang menggiling baju kotor. Mata gadis itu terlihat sayu, sepertinya sudah mengantuk berat.
"Roha.." Gus Sahil memanggil nama gadis itu. Roha terkesiap, buru-buru berdiri dari duduknya, bersiap pergi.
"Kalau sudah capek, diteruskan besok saja," ucap Gus Sahil kasihan. "Jangan sampai pengabdian mu pada keluarga ndalem membuat mu sakit,"
"Njeh Gus," Roha menjawab dengan kepala tertunduk.
"Ambil ini," Gus Sahil menyerahkan kantong plastik di tangannya. "Bagikan sama teman-teman di kamar,"
Roha menggelengkan kepalanya, "Njenengan sudah janji tidak akan memberi saya hadiah lagi Gus,"
"Ini bukan hadiah, Roha. Anggap saja sedekah, supaya tidak buang-buang makanan. Tadi aku belikan ini untuk Hafsa, tapi dia juga ndak mau,"
"Kalau begitu, saya juga nggak bisa terima Gus," ujar Roha bersikeras. "Saya sudah janji kalau bros kemarin adalah barang terakhir yang bisa saya terima dari njenengan,"
Tanpa menunggu jawaban Gus Sahil, Roha segera berbalik, meninggalkan Gus Sahil yang masih terpaku di tempatnya.
Malam ini, kebaikan hati Gus Sahil ditolak oleh dua perempuan sekaligus.