Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PETUAH MAMA
"Embun, Embun," Nathan masuk kedalam kamar tamu sambil teriak-teriak. "Keluar kamu Mbun, aku tahu kamu bersembunyi didalam." Nathan mengecek kamar mandi saat tak menemukan Embun dikamar.
Diluar, Navia dan Rama saling menatap bingung. "Ada apa sih sebenanya, Mas?"
"Aku juga tidak tahu. Kak Nathan tiba-tiba memukulku. Dan sekarang, malah teriak -teriak nyari Embun." Rama menyentuh rahangnya yang terasa ngilu.
Tak menemukan Embun didalam, Nathan kembali keluar.
"Dimana Embun?" tanyanya sambil menatap Rama nyalang.
"Aku tidak tahu," jawab Rama.
"Bohong. Aku melihatmu keluar dari kamar tamu. Kalian pasti janjian bertemu disanakan? Entah apa yang baru saja kalian lakukan didalam, menjijikkan." Nafas Nathan memburu. Dia makin frustasi saat teringat penampilan Embun tadi malam. Mana mungkin mereka hanya bertemu jika pakaian Embun seperti itu. Mereka pasti melakukan lebih.
"Kak Nathan jangan nuduh sembarangan," protes Navia. "Mas Rama ke kamar tamu cuma buat buang air."
"Astaga Navia, kau jangan terlalu polos. Suamimu hanya berbohong dengan bilang buang air. Dia dan Embun pasti janjian bertemu dikamar tamu," tuduh Nathan.
"Emang ada Embun didalam sana? Enggakkan?" ujar Navia. "Aku tadi sedang mandi, terus Mas Rama perutnya mules, makanya aku menyuruhnya ke toilet kamar tamu," terangnya. "Kak Nathan itu sadar gak sih," Navia celingukan. "Dengan Kakak teriak-teriak kayak gini, Mama bisa dengar."
Nathan membuang nafas kasar. Dia tak kepikiran sampai disana. Melihat Rama keluar dari kamar tamu, amarahnya langsung meluap.
"Apa Kakak udah nyari Embun ditempat lain?"
Nathan berdecak pelan, dia belum mencari Embun ditempat lain, tapi sudah terlanjur emosi gara-gara melihat Rama keluar dari kamar tamu.
Melihat suster Ida yang lewat, Navia langsung memanggilnya.
"Mama mana Sus? Masih tidur?" Navia takut mamanya mendengar kegaduhan yang dibuat Nathan.
"Bu Salma sedang berjemur di halaman belakang ditemani Non Embun."
Nathan langsung terperangah. Sementara Rama, ingin sekali dia balas memukul Nathan, sayang dia tak berani melakukan itu. Nathan yang paling berkuasa disini.
"Kakak udah dengerkan?" ujar Navia. "Lain kali pastikan dulu, jangan main pukul aja. Ayo Mas, aku obatin luka kamu." Navia membawa Rama ke kamar untuk mengobati lukanya.
Meski tahu dirinya salah, Nathan terlalu gengsi untuk minta maaf pada Rama. Anggap saja ini hari yang sial buat Rama.
Nathan segera menuju halaman belakang. Tampak mamanya sedang duduk diatas kursi roda sambil berjemur. Sedang Embun, wanita itu duduk disebelah Bu Salma sambil memotong kukunya dengan telaten. Embun memakai kembali gaunya semalam.
Meski tak mendengar jelas obrolan mereka, Nathan bisa melihat jika mamanya tampak bahagia.
Pandai sekali pelakor itu mengambil hati Mama.
"Nathan, kemari." Panggil Bu Salma yang melihat kedatangan Nathan.
Nathan tersenyum lalu mendekati mereka berdua.
"Lihatlah, Embun baru saja memotong kuku Mama. Tak hanya kuku tangan, bahkan kuku jari kaki juga," Bu Salma menunjuk kearah kakinya.
"Kamu mau aku potongin kukunya juga?" tanya Embun sambil tersenyum menatap Nathan. Senyumnya terlihat begitu menawan, sampai-sampai, Nathan tak berkedip menatapnya.
"Astaga, kok malah bengong," Bu Salma tertawa melihat kelakuan putranya. "Semalaman belum puas natapnya?" Menyadari dirinya tengah jadi bahan tertawaan mamanya dan Embun, Nathan jadi salah tingkah.
Embun beranjak dari duduknya, mengambil lagi sebuah kursi untuk diberikan pada Nathan.
"Duduklah, biar aku potong sekalian kuku kamu."
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Nathan menurut apa yang diperintah Embun. Dia juga menurut saja saat Embun meraih tangannya lalu mulai memotong kukunya.
"Mama jadi kangen Papa," ujar Bu Salma. "Dulu, Papa paling males kalau urusan motong kuku, maunya mama terus yang motongin. Bahkan kumis dan jambang, Mama juga yang nyukur."
"Sampai tua Mah?" tanya Embun.
"Sampai akhir hayat Papa," Bu Salma menyeka air matanya yang meleleh. "Bahkan saat terakhir Papa dirumah sakit, Mama masih sempat motong kukunya. Awalnya Mama sering kesel kalau Papa minta dipotongi kuku atau dicukur jambangnya. Masa pekerjaan segampang itu saja, mesti nyuruh istri. Tapi setelah dipikir-pikir, hal yang Mama anggap remeh itu, bisa menjadi salah satu cara untuk mempertahankan keharmonisan. Setidaknya, kami jadi ada waktu bersama."
Embun mendengarkan sambil terus memotong kuku jari tangan Nathan. Sementara Nathan, jantungnya malah berdebar kencang setiap kali menatap Embun yang tampak telaten melalukan pekerjaannya.
"Nath," Bu Salma menyentuh lengan Nathan. "Perlakukan istrimu dengan baik. Jangan buat wanitamu menangis. Hati wanita itu seperti kaca, mudah retak. Kadang hal yang kamu anggap biasa, bisa jadi luar biasa bagi wanita. Dan hal yang kamu anggap remeh, mungkin penting bagi wanita. Seperti kata cinta. Mungkin bagi laki-laki, tak penting mengungkapkan cinta, tapi bagi wanita, mereka butuh pengakuan. Mereka butuh si suami mengatakan cinta. Bahkan kalau bisa, setiap hari."
Nathan hanya mengangguk mendengar petuah dari mamanya.
"Sayang, kamu belum bilang cinta sama aku hari ini."
Nathan langsung terkesiap mendengar Embun memanggilnya sayang. Dia memang melarang Embun memanggilnya pak, tapi bukan berarti, malah memanggilnya sayang.
Bu Salma dan Suster Ida cekikian melihat kelakuan pengantin baru tersebut.
"Nath, tuh dah dikode sama Embun. Buruan bilang cinta," goda Bu Salma.
Wajah Nathan seketika memerah. Dia tak menyangka jika Embun berani mengerjainya seperti ini.
"Tuh Ma lihat, gak mau bilang cinta," ujar Embun. Dalam hati, dia tertawa ngakak karena berhasil membuat Nathan kelimpungan.
"Mungkin malu Non karena ada kami," Suster Ida melirik Bu Salma.
Bu Salma cekikikan melihat wajah Nathan yang memerah.
"Ya sudah kalian lanjutkan, Mama mau masuk dulu, udah panas." Mendengar majikannya mau masuk, Suster Ida sigap mendorong kursi roda Bu Salma.
Setelah Bu Salma dan Suster Ida hilang dari pandangan, Embun langsung tertawa ngakak.
"Puas, puas udah ngerjain aku?" Nathan memelototi Embun.
"Belum," Embun menggeleng. "Belum puas karena Bapak belum bilang cinta sama aku."
"Jangan mimpi," sinis Nathan. "Sekalian kaki," lanjutnya sambil menunjuk jari kaki.
"Iya," sahut Embun dengan santai. Tak sedikitpun terlihat keberatan. Setelah jari tangan selesai, dia menggeser duduk lalu menyuruh Nathan menaikkan kaki kepangkuannya agar lebih mudah memotong kuku kakinya.
Tanpa kedua orang itu sadari, Rama melihat dari jauh. Pria itu makin menyesal melihat seperti apa Embun memperlakukan Nathan. Navia, jangan ditanya, gadis manja itu mana mau melakukan hal seperti itu, yang ada, justru Navia yang merengek minta dipotong kukunya.
"Hati-hati, jangan sampai kena kulit jariku," ujar Nathan ketus.
"Kalau Bapak diam, gak bakalan kena. Tapi kalau berisik, jangan salahkan aku jika jari Bapak kepotong."
Nathan berdecak pelan. Pintar sekali Embun membalikkan kata-katanya.
"Setelah ini kita pulang," ajak Nathan.
"Pulang? Yah, padahal aku masih pengen masak bareng Mama. Tadi kami bahkan udah berencana mau bikin bakso. Bapak tahukan, saya berasal dari Malang. Disanakan paling terkenal baksonya."
"Enggak, kita pulang setelah ini."
"Nanti siang aja ya, please. Aku betah disini," rengek Embun.
Nathan langsung tersenyum miring. "Karena ada Rama?" cibirnya.
"Kok malah Rama sih? Aku itu mau ma_"
"Stop," potong Nathan. "Aku tak terima bantahan, kita pulang setelah ini."
Embun hanya bisa menghela nafas. "Tapi kita mampir ke supermarket dulu ya. Aku pengen belanja buat ngisi kulkas. Masa kulkas segede lemari, isinya cuma air mineral doang." Embun memutar kedua bola matanya malas.
"Terserah kamu."
Selesai memotong semua jari kaka Nathan, Embun menurunkan kaki tersebut dari pangkuannya. "Kapan-kapan kalau udah panjang, aku potongin lagi."
"Kamu pikir aku gak punya tangan buat motong sendiri," Nathan berdecih.
Dasar orang gak bersyukur, udah dibaikin malah gak tahu diri.
"Kamu ngumpat aku dalam hati?" tebak Nathan.
"Ee...kok tahu," Embun tersenyum kecut.
Nathan membuang nafas kasar lalu pergi begitu saja.