Dua tahun yang lalu, Suami dan Ibu mertua mengusir setelah menceraikannya.
Dena sedang hamil pada saat itu, Suami yang sedari awal pernikahan sangat membencinya dan mengganggap anak dalam kandungan Dena bukan hasil perbuatannya tanpa perasaan mengusirnya dari rumah.
Kini Dena kembali sebagai orang berbeda yang masuk dalam keluarga mantan Suaminya.
Ia akan balas dendam!
Membalaskan perasaan sakit hati yang Rafa dan keluarga berikan padanya bertubi-tubi lebih sakit dari yang ia rasakan selama pernikahan yang sungguh menyakitkan itu!
Apa rencana Dena akan berhasil? Atau dia malah terjebak sebagai 'wanita' yang dicintai Rafa setelah penampilannya berubah?
Kalau suka, berikan like, komentar, dan vote, gift ya…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OO SWEETIE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Tatapan Wanita dari Atas
Dari pelajaran yang diberikan pak tua Gilang, aku mulai mengerti mengapa perusahaan besar bisa tetap berjalan.
Setelah pak tua Gilang keluar dari ruangan, aku memanggil kembali Rafa yang kubuat diluar entah apa yang dilakukannya, aku tidak tau. Dia hanya berdiri seperti patung.
Sengaja dia kujadikan sekertaris karena dia paling tau pekerjaan seorang owner, jadi sekalian bisa kutanya banyak hal supaya pekerjaanku semakin produktif.
"Apa yang perlu saya lakukan, nyonya?"
"Ada rapat atau pertemuan yang seharusnya dihadiri hari ini? Pengawasan terhadap para karyawan atau kerja sama terhadap perusahaan lain?"
"Seharusnya hari ini Owner ada banyak pekerjaan, nyonya. Ada kerja sama pada para pembuat batik. Kita ada peluncuran produk baru, yaitu motif batik yang lebih padat dan teliti pada kain yang diproduksi. Sebenarnya kerja sama ini sudah lama, sejak pertama kali saya menjabat, bahkan sudah berjalan selama dua tahun. Tapi kontrak hampir habis, jadi harus diperpanjang untuk lima tau enam tahun ke depan. Saya bisa membantu Nyonya menyiapkan kontraknya dibantu Sekertaris saya terdahulu."
Ah, aku merasa menjadi orang paling bodoh setelah penjelasannya. Aturannya aku tidak perlu terlalu banyak menunjukkan diri. Rafa lebih tau. Tapi ya sudahlah. "Kapan pertemuannya?"
"Dua jam lagi."
"Apa memang sudah dibuatkan kontrak melanjutkan kerjasamanya?"
"Sudah," dia mengangguk.
"Ada pada siapa?"
"Sekertaris saya–terdahulu."
"Boleh dipanggilkan?"
Lagi-lagi pria ini mengangguk. Dia seperti seorang bawahan yang berada dalam hierarki paling bawah. Tapi aku tidak peduli, sifatnya yang suka menunduk mungkin disebabkan rasa bersalahnya.
***
Hari menjelang malam. Aku baru selesai dari banyak pertemuan yang mengharuskan aku tampil dan berbicara dengan banyak orang. Dibantu Rafa yang entah mengapa sangat baik mengajariku, membuatku merasa sangat terbantu.
Aku mengendarai kendaraan perusahaan. Dan mengantarkannya sampai ke rumah lama yang menjadi saksi bisu penderitaanku beberapa tahun lalu.
Ada seorang wanita terlihat di lantai atas. Lantai yang pernah menjadi kamarku dan mantan suami.
Dia menatap ke arah mobil dengan sinis, aku hanya memperlihatkan kagak biasa. Mungkin dia cemburu karena suaminya bersamaku, wanita lain.
Hah? Apa dia memiliki pasangan setelah melupakanku? Ntahlah. Untuk apa aku memikirkan semua itu, aneh-aneh saja.
"Terimakasih sudah mengantarku," dia berpamintan.
Aku hanya menekan klakson mobil dan menjalankan kendaraan beroda empat itu menjauh dari kawasan perumahan asri yang masih menjadi rumahnya.
Entah mengapa ada rasa bersalah dan telingaku sangat panas serta ngilu. Kata orang, itu biasa terjadi jika ada orang yang berbisik di belakang. Bisik menjelekkan meski aku tidak mendengar tapi bisa merasakan.
Dan pikiranku terfokus pada Rafa dan wanita yang berdiri di lantai atas itu. Aku segera menepis perasaan bersalah ini, karena jika karena aku mengantarkan Rafa, kami tidak melakukan hal lebih selain untuk urusan pekerjaan. Karena dia menjadi sekertarisku, bukan untuk menjadi pasangan.
***
Aku pulang ke rumah. Turun dari mobil dan melihat Putra tercintaku, Rama langsung berdiri dan tampak berjalan dengan cara merangkak mendekat padaku.
"Rama… oh, sayang Bunda. Kamu baik banget sambut Bunda?" Aku mengangkat tubuhnya yang gembul itu dan mencium pipinya dan mencium aroma baby yang khas.
"Sudah mandi sayang?"
Anak itu mengangguk seolah mengerti kata-kataku. "Tapi Bunda belum mandi. Bunda akan mandi dulu, ya. Setelah itu kita main!"
Aku menyerahkan Rama ke pelukan pengasuhnya.
"Ray, sudah pulang, Bi?"
"Belum, Nya. Kata tuan, beliau akan pulang terlambat, jadi nyonya tidak perlu menunggu beliau."
"Oh, begitu…"