Istri Arjuna (Sebatas Pelampiasan)

BAB 7a

"Semua dokumen kerjasama sudah siap?"

"Beres, Bos. Semuanya sudah disiapkan seperti yang Anda minta. Tinggal membubuhkan tanda tangan kedua belah pihak," jawab Pandu cepat, kemudian menyerahkan beberapa lembar berkas yang dirapikan dalam sebuah map kepada Juna.

"Kerja bagus. Hubungi pihak budidaya ulat sutra sekarang juga. Aku tidak mau membuang waktu. Buat janji bertemu di kafe terdekat saja dari lokasi kita sekarang," titah Juna tegas.

Mereka sedang meninjau lahan pembangunan pabrik. Ini merupakan hari kedua dinas luar kotanya. Juna berencana membangun pabrik baru untuk memproduksi khusus kain sutra kualitas terbaik, tidak ingin campur baur dengan produksi kain lainnya. Dia akan menjadikan kain dari pabrik baru sebagai salah satu komoditi unggulan Royal Textile setelah sukses dengan jenis kain lain sebelumnya. Baik untuk ekspor ke luar negeri maupun untuk dipasarkan di dalam negeri.

Sutra, memang selalu memiliki tempat di hati para pecintanya, kendati harga yang dibanderol terkadang selangit, tetapi tak pernah menyurutkan pamor si kain halus nan lembut itu bertengger di urutan teratas kasta kain, bak primadona tiada tanding.

Setelah selesai berbincang serius dengan pemborong konstruksi yang dipercaya untuk membangun pabrik baru tidak jauh dari lokasi budidaya ulat sutra, Juna membaca satu persatu berkas yang diserahkan Pandu. Memastikan tidak ada yang kurang sementara sekertaris setianya sedang menghubungi pihak pemilik budidaya untuk membuat janji bertemu secepat mungkin. Juna selalu bekerja maksimal. Tekun juga pekerja keras, hanya saja sayang keras kepala. Terlebih lagi setelah kisah cinta mati yang tak kesampaian, watak batunya makin menjadi.

"Bos. Pemilik tempat budidaya meminta bertemu di kediaman pribadi mereka. Katanya ingin sekalian menyiapkan jamuan juga untuk Anda, sebagai ungkapan terima kasih karena perusahaan besar seperti Royal Textile sudah bersedia bekerjasama dengan mereka." Pandu menyampaikan hasil pembicaraannya lewat telepon barusan.

"Oke. Berangkat sekarang!"

*****

Juna mengotak-atik ponselnya begitu selesai membasuh diri di larut malam. Dia baru kembali ke hotel satu jam lalu, sekitar pukul sembilan malam setelah acara jamuan selesai. Satu tangan menggulirkan layar dan tangan yang lainnya menggosokkan handuk kecil guna mengeringkan rambut basahnya.

Menghubungi Anggi dan mencecarnya juga menganggu kedamaiannya menjadi agenda penting Juna sebelum beranjak mengistirahatkan daksa. Juna juga meminta Anggi melakukan video call. Sebagai bukti bahwa istri atau yang lebih tepat disebut tawanannya itu memang benar-benar menginap di rumah sakit.

Setelah puas dengan panggilan videonya, Juna melempar handuk di tangan dan membanting tubuh penatnya. Berniat segera memejamkan mata setelah seharian lelah beraktivitas.

Namun, Juna berdecak kesal. Pusat dirinya menggembung begitu saja akibat tak sengaja melihat belahan mengintip baju piyama Anggi di bagian yang membusung, karena saat bervideo call tadi Anggi mendongak mengangkat kamera tinggi-tinggi. Amat menggoda, seolah merayunya untuk membelai dan membenamkan mulut di sana, padahal si empunya tak berniat begitu.

"Haish!" Juna mengacak rambutnya sembarang. Kalau sudah begini, dipastikan dia akan sulit tidur apabila belum dilemaskan. Mungkin Juna memang brengsek dan hanya menjadikan Anggi pelampiasan semata. Akan tetapi bisa dipastikan dia hanya menyentuh dan menuntaskan hasrat pada istrinya saja walaupun dengan jahatnya membayangkan wanita lain saat menggauli.

Juna berguling-guling resah di atas peraduan. Bukti gairahnya yang tak sengaja tersulut makin menyiksa. Survey membuktikan bahwa pria memanglah makhluk visual dan itu valid, terutama saat menjatuhkan pandangan pada seseorang yang disayangi.

Seperti halnya Juna yang bereaksi ketika melihat ranumnya Anggi meski hanya lewat telepon. Dia menyayangi Anggi, hanya saja dalam konteks lain baginya. Bukan sayangnya suami pada seorang istri, melainkan rasa sayang pemilik barang pada benda kesukaannya.

"Sial!" gerutunya jengkel. Meskipun malas, Juna beranjak ke kamar mandi demi membebaskan siksaan sesak. Menggunakan cara lain untuk memuaskan diri. Walaupun hal itu membuatnya kesal, merasa menodai harga diri.

Juna menggeram rendah saat rasa yang dikejar kian mendesak hampir di ujung. Seperti biasa, dengan kurang ajar dia memantik imajinasi berusaha membayangkan si wanita dambaan yang sudah menjadi milik orang lain di tengah aktivitas solonya. Akan tetapi, entah kenapa kali ini begitu sulit dan malah wajah sendu Anggi yang berlalu lalang di benaknya.

Saat yang dikejar sedari tadi akhirnya teraih, Juna mengerang puas seraya mengucap satu nama tak biasa lolos dari bibirnya begitu saja tanpa sadar. Nama yang baru kali ini didesahkan saat tuntutan kebutuhan ragawinya terpenuhi.

"Akhhh... Anggita," lenguhnya panjang dengan mata memejam.

TBC