Kirana Aulia, seorang asisten junior yang melarikan diri dari tekanan ibu tirinya yang kejam, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit, ia hamil setelah insiden satu malam dengan CEO tempatnya bekerja, Arjuna Mahesa.
Sementara Kirana berjuang menghadapi kehamilan sendirian, Arjuna sedang didesak keras oleh orang tuanya untuk segera menikah. Untuk mengatasi masalahnya, Arjuna menawarkan Kirana pernikahan kontrak selama dua tahun.
Kirana awalnya menolak mentah-mentah demi melindungi dirinya dan bayinya dari sandiwara. Penolakannya memicu amarah Arjuna, yang kemudian memindahkannya ke kantor pusat sebagai Asisten Pribadi di bawah pengawasan ketat, sambil memberikan tekanan kerja yang luar biasa.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!
IG : @Lala_Syalala13
FB : @Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
JADWAL UPLOAD BAB:
• 06.00 wib
• 09.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKSP BAB 19_Campur Tangan Nyonya Mahesa
Setelah insiden demam Kirana, Arjuna menjadi lebih waspada terhadap kesehatan istrinya. Ia memastikan makanan, vitamin, dan jadwal istirahat Kirana terpantau ketat, semuanya atas nama 'efisiensi dan pemeliharaan produk terbaik.'
Namun, campur tangan terbesar datang dari Laksmi Mahesa. Setelah mengetahui Kirana hamil, Laksmi masuk ke mode Nenek Siaga.
Suatu sore, penthouse Arjuna diserbu oleh beberapa kardus besar. Laksmi datang sendiri, ditemani oleh Bayu yang terlihat kewalahan membawa barang-barang itu.
"Sayang! Lihat apa yang Mama bawakan!" seru Laksmi, memeluk Kirana erat.
"Ini adalah perlengkapan bayi terbaru dari Milan dan Paris. Mama sudah membeli ranjang bayi, stroller terbaik, dan beberapa pasang sepatu kecil!" ucapnya dengan begitu senang sekali.
Kirana tersenyum canggung. Ia menghargai kebaikan Laksmi, tetapi semua kemewahan ini terasa terlalu berlebihan dan berlawanan dengan hidup sederhananya.
Andai ibu tirinya seperti Laksmi maka Kirana akan begitu bahagia, setiap hari akan menjadi hari baik untuk dirinya namun sayangnya tidak.
"Mama, ini terlalu banyak. Kami bahkan belum tahu jenis kelaminnya," kata Kirana pelan dia merasa tidak enak dengan sang ibu mertua.
"Tidak apa-apa, Nak! Cucu Mama harus mendapatkan yang terbaik. Mama sudah memesan desainer untuk mendekorasi kamar bayi di sebelah kamarmu. Pokoknya, semua harus sempurna!" kata Laksmi, kemudian menoleh pada Arjuna yang baru saja keluar dari ruangannya, tampak kesal.
"Arjuna! Kenapa kamu berdiri di sana?! Bantu istrimu! Dia sedang hamil, dia tidak boleh mengangkat barang-barang berat!" tegur Laksmi dengan begitu kesel melihat sang anak.
Arjuna mendengus, tetapi karena ia tidak ingin berdebat dengan ibunya, ia akhirnya membantu memindahkan beberapa kardus.
'Ini sebenarnya yang ada yang mana sih?!' protesnya namun hnya dalam hati.
Laksmi kemudian menarik Kirana ke sofa. "Mama lihat kamu dan Arjuna terlalu kaku, Nak. Kalian baru menikah, harusnya lebih mesra. Mama curiga kamu masih terlalu fokus sama pekerjaan." ucapnya lagi dan lagi-lagi benar sekali tebakan Laksmi.
Kirana menatap Arjuna dengan panik. Ia tahu Laksmi mulai curiga.
"Kami baik-baik saja, Ma," jawab Kirana, mencoba meyakinkan.
"Tidak, Nak. Mama tahu. Mama tidak melihat ada kehangatan di antara kalian," kata Laksmi, mencondongkan tubuhnya, suaranya kini berbisik.
"Mama dengar kamu dan Arjuna tidur di kamar terpisah. Itu tidak baik untuk janin dan hubungan kalian!" ucapnya.
Kirana terkejut. Bagaimana Laksmi tahu tentang kamar terpisah? Ia melirik ke arah Arjuna. Arjuna hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu siapa yang membocorkannya. (Mungkin Harun, atau bahkan Bayu secara tidak sengaja).
"Mulai sekarang, Mama akan sering datang berkunjung. Mama ingin melihat kemesraan," putus Laksmi.
"Kalian berdua harus menunjukkan bahwa kalian benar-benar bahagia." keputusannya sudah bulat dan tidak boleh ada yang membantah lagi.
Setelah Laksmi pergi, Kirana dan Arjuna bertengkar kecil di ruang tamu.
"Bapak harus mengendalikan Ibu Bapak! Saya tidak mau bersandiwara lebih jauh lagi!" protes Kirana, jika dibiarkan maka hal yng tidak-tidak mungkin saja bisa terjadi.
"Ibuku bukan karyawan, Kirana. Aku tidak bisa memecatnya," balas Arjuna dingin.
"Kita sudah membuat perjanjian, dan sekarang kita harus menanggung konsekuensinya. Kita harus membuat sandiwara ini lebih meyakinkan." ucap Arjuna membuat Kirana penasaran.
"Maksud Bapak?" tanyanya.
Arjuna berjalan mendekati Kirana, matanya menatap tajam.
"Mulai sekarang, setiap kali Ibuku ada di sini, kita akan berakting sebagai pasangan yang sangat intim. Aku akan memanggilmu dengan nama panggilan, dan aku akan lebih sering menyentuhmu." ujar Arjuna membuat Kirana kesal.
Kirana mundur selangkah.
"Saya tidak mau sentuhan, Pak!" tolaknya dengan begitu tegas.
"Ini hanya akting, Kirana! Demi rahasia kita. Aku tidak mau ibuku mencampuri urusan ini lebih jauh lagi," tegas Arjuna.
Lusa, Laksmi datang lagi untuk mengurus dekorasi kamar bayi. Sandiwara pun harus dimulai, entah bagaimana nanti Kirana juga bingung, dia tidak ingin terus terbelenggu dengan kontrak namun dia sadar pernikahan ini juga atas dasar kontrak.
Laksmi duduk di ruang tamu, mengobrol dengan Kirana tentang pilihan warna cat. Tiba-tiba, Arjuna masuk, mengenakan kaus sport dan celana pendek, tampak seperti suami yang baru selesai berolahraga.
"Sayang, sudah selesai bicaranya? Aku sudah membuat teh jahe hangat untukmu," kata Arjuna, menggunakan nada suara yang Kirana tidak pernah dengar sebelumnya, hangat dan lembut. Ia menggunakan kata "Sayang."
Kirana terpaku. Ia menatap Arjuna, yang kini tersenyum manis (senyum yang terlihat palsu di mata Kirana, tetapi sangat alami di mata Laksmi).
"Oh, sweetheart, kamu perhatian sekali," balas Kirana, berusaha menimpali sandiwara itu.
Arjuna berjalan ke sofa, meletakkan teh di meja, lalu duduk sangat dekat dengan Kirana, merangkul bahu Kirana. Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang karena kedekatan fisik yang tidak terduga itu.
"Mama, Kirana akhir-akhir ini sangat lelah. Aku harus memaksanya beristirahat," kata Arjuna kepada Laksmi.
"Bagus, Nak! Itu baru anakku dan suami untuk Kirana yang tepat!" Laksmi tertawa senang, lega melihat kemesraan putranya.
Selama satu jam ke depan, Arjuna terus mempertahankan sandiwara itu. Ia memeluk Kirana, sesekali mengelus punggung Kirana (yang membuat Kirana geli dan merinding). Di bawah meja, Kirana mencubit paha Arjuna untuk memberinya peringatan, tetapi Arjuna hanya membalasnya dengan senyum palsu.
Malam itu, setelah Laksmi pergi, Kirana dan Arjuna berhadapan di pantry.
"Kenapa Bapak harus begitu berlebihan?! Itu melanggar batas, Pak!" protes Kirana, pipinya masih memerah karena malu.
"Ibuku butuh bukti, Kirana. Dia bukan orang bodoh," balas Arjuna.
"Dan satu hal lagi. Saat aku menyentuhmu, jangan mencubitku. Itu tidak profesional."
"Bapak yang tidak profesional!" serunya kesal.
"Dengar, Nona Aulia," kata Arjuna, mendekat dan berbicara dengan suara rendah yang mengancam.
"Kita adalah rekan kerja di kantor. Kita adalah sandiwara di rumah. Jika sandiwara ini mengharuskanku memelukmu atau menciummu di depan keluargaku, aku akan melakukannya. Itu adalah bagian dari harga yang harus kamu bayar untuk perlindunganku."
Arjuna maju selangkah lagi, menatap mata Kirana.
"Dan kamu, harus mulai membiasakan diri. Karena di mata orang tuaku, kita adalah suami-istri yang akan segera punya anak. Kamu harus berakting seolah kamu bahagia berada di sisiku."
Kirana menatap mata Arjuna. Ia tahu Arjuna benar. Ia tidak punya pilihan. Ia harus berakting demi bayinya dan demi kerahasiaannya di kantor.
Sejak saat itu, setiap kali Laksmi menelepon atau berkunjung, Kirana dan Arjuna dipaksa menjadi pasangan yang 'mesra', sebuah sandiwara yang terasa semakin nyata dan semakin sulit dipertahankan. Kirana menyadari, meskipun kontrak mereka jelas, hidup bersama dan akting intim ini mulai mengikis batas-batas hati mereka yang beku.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
trs knp di bab berikutnya seolah² mama ny gk tau klw pernikahan kontrak sehingga arjuna hrs sandiwara.
tapi ya ga dosa jg sih kan halal
lope lope Rin hatimu lura biasa seperti itu terus biar ga tersakiti