Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12.
Mbah Ranti berhenti di ambang pintu. Punggung nya yang bungkuk tampak kaku, seperti ada sesuatu yang baru saja menyambar ingatan nya. Perlahan, ia menutup kembali pintu yang tadi setengah terbuka. Api lentera di pojok ruangan bergoyang kecil, seolah takut pada nama yang baru saja diucapkan.
“Warastri…” gumam Mbah Ranti. Suara nya pelan, serak, seperti batu yang diseret di tanah basah.
Kodasih menunduk. Bahu nya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetar..
“Mbah… jangan. Jangan bawa bawa dia. Aku ora bakal ngorbanke Warastri. Aku ora ikhlas, Mbah...”
Lontar di tangan Mbah Ranti ia tutup perlahan. Keriput di wajah nya bergerak seperti akar akar tua yang mengencang. Dua mata nya menyala, memantulkan cahaya lentera.
“Dasih… Dasih…” bisik nya dengan suara serak, sambil mendekat, lebih dekat daripada sebelum nya. “Piye karep mu?”
Kodasih menggigit bibir, menahan isak.
“Aku ora pengin dia kenapa kenapa, Mbah. Warastri anak sing paling suci sing tak duweni. Aku iso urip tekan saiki mergo tresnoku marang dia… mergo dia sing nggawe aku kuat.”
(Aku tak ingin dia kenapa kenapa, Mbah.. Warastri anak yang paling suci yang aku miliki. Aku bisa hidup sampai sekarang karena cintaku pada nya.. karena dia yang membuat aku kuat..).
Air mata berlinangan di wajah Kodasih.. Mbah Ranti menatapnya lebih dalam... sangat dalam.. membuat tubuh Kodasih semakin menggigil...
“Tresno… kadhang dadi kekuwatan.
Nanging kadhang yo dadi umpan.”
Kodasih semakin merinding. Ruangan itu tiba tiba serasa mengecil, menekan dari segala arah. Bau kemenyan yang tadinya menenangkan berubah lebih tajam, seperti ada angin asing yang berembus dari belakang lehernya.
“Tapi aku ora bakal ngorbanke dia, Mbah,” ulang Kodasih, suara bergetar namun keras kepala. “Aku iso nampa apa wae. Kesepian, umur tua, rasa lara… tapi ora Warastri.”
Keheningan turun. Bahkan suara jangkrik di luar lenyap, seolah ditelan dinding kayu rumah itu.
Dalam hening pekat itu, Mbah Ranti mengulurkan tangan. Telapaknya dingin dan penuh guratan, tapi entah kenapa menyimpan sedikit kehangatan, seperti abu bara yang belum padam.
“Dasih… sing mbok jaluk iki dudu perkara ayu tok. Iki perkara wektu, perkara tresno, lan perkara bayaran sing kudu pas. Dudu soal nyawa, ora kudu ana getih sing tumpah. Tapi…”
(Dasih.. yang kau minta ini, bukan masalah cantik saja ini masalah waktu, masalah cinta, dan masalah bayaran yang harus pas. Bukan soal nyawa, tidak harus ada darah tumpah. Tapi...)
Mbah Ranti berhenti, menatap Kodasih dari balik alis kelabu tebalnya.
“Tapi apa, Mbah?”
Mbah Ranti tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan berjalan masuk ke ruang dalam… lebih dalam dari tempat Kodasih berada...
Di dalam, hanya ada satu lampu minyak yang menyala redup. Bayangannya menari di dinding seperti bayangan makhluk yang bernapas pelan.
Mbah Ranti mengambil sebuah kendi kecil berwarna hitam pekat. Tutup nya kain merah kusam, warna nya seperti sudah puluhan tahun tak dicuci.
“Dasih… ilmu iki ora sembarangan.
Sing bali muda… mesthi ana sing ilang.” Ucap Mbah Ranti saat sudah berada di depan Kodasih.
Kodasih menelan ludah.
“Apa yang hilang, Mbah…? Tolong… jangan Warastri.”
Mbah Ranti menatapnya lama, sangat lama.
“Kenanganmu.
Atau… jiwa wong sing tau sayang karo kowe.
Kadang… malah masa depanmu dhewe sing ilang.”
Tubuh Kodasih langsung dingin.
Namun keinginannya… keinginan untuk kembali muda.. keinginan yang lahir dari kesepian panjang.. menikam lebih kuat dari rasa takut.
Ia memejamkan mata.
“Kalau harus … aku siap, Mbah. Asal bukan darah Warastri.”
Mbah Ranti tersenyum tipis. Senyum yang entah menenangkan atau mengerikan. Ia membuka kain merah itu.
Dari dalam kendi, tercium aroma kenanga bercampur tanah basah… dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Bau yang terasa seperti waktu yang membusuk.
“Dasih… nek kowe ngombé banyu iki…
Sesuk esuk esuk awakmu bakal bali neng wujud paling ayu sing tau kowe duweni.”
(Dasih. Kalau kamu minum air ini... besuk pagi pagi.. tubuh mu akan kembali di wujud paling cantik yang pernah kamu miliki)
Kodasih memandangi kendi itu lama.
Tangannya yang tua gemetar hebat.
Namun pada akhirnya… ia meraihnya.
Dan ia... meneguk isinya....
CLEGUK....
CLEGUK....
CLEGUUUUUKKKKK....
Aroma kenanga menyengat hidungnya. Dunia berputar, berlipat, terus melilit dirinya.
Lalu..
Gelap.
Gelap yang begitu pekat, seolah menelan namanya sendiri.
☀️☀️☀️☀️☀️
Keesokan paginya..
Fajar merayap pelan ke sela sela dinding joglo. Cahaya tipis masuk seperti benang emas yang kusut, lebih pucat dari biasanya.. seolah mata hari sendiri itu memandang dunia dengan mata yang sangat hati hati.
Kodasih terbangun perlahan.
Awal nya ia mengira mimpi semalam adalah mimpi kosong: perjalanan ke gubuk Mbah Ranti, permintaan nya untuk kembali muda, kendi hitam tua itu… semua seperti khayalan orang yang kesepian.
Namun ketika ia mengangkat tangannya dari tikar, tempat ia terbaring..
Tangan nya tidak tampak seperti tangan nya sendiri.
Tidak keriput...
Tidak pucat..
Tidak penuh urat biru yang menonjol di balik kulit keriput..
Tangan itu lembut, lentur, halus dengan kulit yang mengilap seperti buah kelapa muda di pagi hari.
Kodasih terperanjat... Ia menyentuh wajahnya...
Kulit pipinya kencang dan halus.. . Tidak lagi ada bekas bekas luka di wajah nya..
Kelopak matanya halus, tidak lagi berat oleh usia.
Rambutnya, yang semalam masih dua warna dan rapuh.. kini terurai hitam mengkilap sampai menyentuh bahu...
Ia bangkit, napasnya tercekat.
Kain yang ia kenakan terasa longgar di tubuh nya, seperti pakaian orang tua yang dipakaikan pada gadis muda.
Dengan tergesa ia berjalan mencari cermin.. Ia terus berjalan menuju kamar belakang, menatap cermin di sudut ruangan..
Ketika ia melihat bayangan nya, ia terdiam.
Di sana... bukan perempuan berpegang tongkat, bukan Kodasih yang telah mengabdi pada dusun selama puluhan tahun. Tapi sosok yang dulu pernah dikenal sebagai Kodasih, saat usia dua puluh lima tahun, dengan wajah cantik yang membuat siapa pun terpesona..
Ia menyentuh pipi nya lagi, seolah takut bayangan itu akan lenyap jika disentuh.
“Ya Gusti...…
Ini… aku?”
Suaranya pun berubah.
Bukan suara serak perempuan tua, melainkan suara lembut yang dulu dipuji orang karena bening seperti air sumber di kaki gunung..
Ia memegang dada.. jantung nya berdegup muda, cepat, tegas.
Tidak ada nyeri sendi.
Tidak ada sesak.
Tidak ada gemetar.
Tubuh itu benar-benar tubuh masa muda nya... Namun ia merasakan suatu keheningan yang sangat aneh.. Kodasih menoleh noleh.. tampak bingung...
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣