NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: Luka Baru, Luka Lama

Udara dingin menusuk tulang, menggantikan panas yang tadi membakar tenggorokan Risa. Aroma busuk entah dari mana, masih melekat kuat di indra penciumannya, bercampur dengan bau debu dan lembap khas rumah tua ini. Cahaya biru dari liontin kuncinya kini benar-benar redup, hanya menyisakan denyutan samar yang nyaris tak terlihat. Perisai tembus pandang itu telah lenyap, seolah tak pernah ada. Jantung Risa berdetak gila, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar dari ujung kaki sampai ubun-ubun.

“Risa? Kamu di dalam, Nak? Bibi dengar ada suara gaduh. Kamu baik-baik saja?”

Suara Bibi Lastri terdengar semakin dekat, langkah kakinya terburu-buru, mengikis kesunyian yang mencekam. Risa menelan ludah, lidahnya terasa kelu. Matanya menyapu sekeliling ruang makan yang kini kembali gelap dan sunyi, seolah kejadian barusan hanyalah halusinasi paling mengerikan dalam hidupnya. Tidak ada jejak ranting-ranting kering, tidak ada bayangan hitam yang merayap, dan yang paling penting, tidak ada sosok bermata merah itu. Semuanya lenyap, tak berbekas.

Ia mencengkeram erat liontin kuncinya. Dingin, padat, nyata. Bukti bahwa semua itu bukan mimpi. Kekuatan itu nyata. Dan bahaya itu nyata.

Sebuah bayangan melintas di ambang pintu ruang makan. Bibi Lastri muncul, napasnya terengah-engah, wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan sedikit kemarahan. Matanya langsung tertuju pada Risa yang berdiri terpaku di tengah ruangan, tangannya masih memegangi liontin dengan erat.

“Risa! Ya Tuhan, Nak! Kamu kenapa? Kenapa gelap-gelapan begini? Mana Kevin? Bukannya kalian tadi bersama?” Bibi Lastri langsung menghampiri, dengan gerakan cepat seperti biasa. Tangannya terulur, seolah hendak memegang bahu Risa.

Refleks, Risa mundur selangkah, menepis tangan bibinya. Gerakan itu spontan, tanpa pikir panjang. Mata Bibi Lastri melebar, raut wajahnya berubah. Dari khawatir menjadi... terluka? Atau marah?

“Jangan mendekat,” suara Risa tercekat, parau. Ia sendiri terkejut dengan nada suaranya yang terdengar begitu asing, penuh ketakutan dan kecurigaan yang mendalam. Penglihatannya tadi... mata merah, pisau berlumuran darah, dan sosok yang mirip Bibi Lastri. Ingatan itu berputar brutal di kepalanya, menuntutnya untuk tidak percaya. Sama sekali tidak percaya.

Bibi Lastri menarik tangannya, senyum ramah yang selalu terpasang di wajahnya kini sedikit luntur. “Risa? Ada apa? Kenapa kamu bicara begitu? Bibi khawatir denganmu. Bibi dengar ada suara kaca pecah dan suara seperti orang berteriak.”

“Suara orang berteriak?” Risa mengulang, matanya menyipit. Ia tidak ingat pernah berteriak. Yang ia ingat hanyalah bisikan-bisikan mengerikan dan rasa tercekik yang membuatnya nyaris kehilangan kesadaran.

“Iya, Bibi jelas mendengarnya. Dari depan. Bibi langsung lari ke sini. Kamu kenapa, Nak? Wajahmu pucat sekali.” Bibi Lastri berusaha terdengar lembut, tapi Risa bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan aneh itu, seperti ada lapisan tipis yang menutupi kebenaran, kian menebal.

“Aku... aku tidak apa-apa,” Risa berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan tentang perisai biru, tentang bayangan hitam, atau tentang sosok bermata merah itu. Tidak pada Bibi Lastri. Tidak setelah apa yang ia lihat. “Aku cuma... kaget. Ada angin kencang masuk, terus menjatuhkan vas.” Ia menunjuk ke arah pecahan vas bunga di sudut ruangan. Kebetulan yang pas.

Bibi Lastri mengikuti arah pandang Risa, lalu menghela napas lega. “Ya ampun, Risa. Kamu ini. Kenapa tidak bilang? Bibi kira ada apa-apa. Terus, Kevin ke mana? Dia nggak nolongin kamu?”

Risa baru ingat. Kevin. Di mana Kevin? Ia menoleh ke sekeliling, mencari sosok teman sekolahnya itu. Harusnya Kevin menemaninya, bukannya menghilang. “Kevin... Kevin tadi keluar. Katanya mau cari udara segar sebentar.” Itu juga bohong. Risa tidak punya alasan lain untuk menjelaskan ketidakhadiran Kevin.

Bibi Lastri tampak berpikir sejenak, tatapannya menyapu seluruh ruangan. Ada jeda yang terasa panjang dan canggung. Bibirnya tersenyum lagi, senyum yang terasa hambar bagi Risa. “Baiklah kalau begitu. Kalau memang tidak ada apa-apa, ayo kita keluar. Bibi sudah siapkan teh hangat di ruang tamu. Kamu pasti kedinginan.”

“Aku... aku mau bersih-bersih sebentar di sini.” Risa membutuhkan waktu. Ia butuh sendirian. Butuh memproses semua ini. Ia tidak bisa menghadapi Bibi Lastri sekarang, tidak dengan kecurigaan yang menggerogoti hatinya seperti parasit. Ia harus tahu. Harus mencari tahu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Tentang Bibi Lastri. Tentang matanya yang dingin.

“Oh, tidak perlu, Nak. Biar Bibi saja yang membereskannya. Kamu istirahat saja. Wajahmu benar-benar pucat. Jangan sampai sakit, nanti Kevin khawatir, loh.” Bibi Lastri bersikeras, nadanya sedikit memaksa. Ia mulai mengumpulkan pecahan vas dengan hati-hati.

Sikap Bibi Lastri yang terlalu memaksa ini justru memicu alarm di kepala Risa. Ada yang tidak beres. Kenapa Bibi Lastri tidak ingin ia sendirian di sini? Apakah Bibi Lastri takut Risa menemukan sesuatu? Sesuatu yang tersembunyi?

“Tidak, Bibi. Aku bisa sendiri. Aku butuh bergerak sedikit,” Risa menolak halus, tapi ia tidak bergerak dari tempatnya. Matanya tak lepas dari Bibi Lastri, mencoba mencari setiap detail, setiap petunjuk, setiap kebohongan yang mungkin tersimpan di balik senyum ramah itu. Tatapannya kemudian jatuh pada tangan kanan Bibi Lastri. Bekas luka bakar samar itu. Selalu tertutup. Selalu tersembunyi. Dan kini, entah kenapa, bekas luka itu terlihat sedikit lebih menonjol, seolah baru saja... disentuh.

Bibi Lastri yang menyadari tatapan Risa pada tangannya, langsung menarik tangannya ke belakang punggung, gerakan yang cepat dan halus, nyaris tak terlihat. Namun, Risa sudah melihatnya. Sebuah gelombang dingin menjalar di punggungnya.

“Baiklah, terserah kamu saja, Nak. Tapi jangan terlalu malam, ya. Besok kamu sekolah,” Bibi Lastri akhirnya menyerah, dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ia lalu berbalik, melangkah keluar dari ruang makan. Namun, sebelum benar-benar menghilang, Risa melihat Bibi Lastri sempat melirik ke arah sudut ruangan yang gelap, tempat di mana bayangan hitam itu tadi menghilang. Sekilas, Risa bersumpah ia melihat ada kilatan aneh di mata bibinya. Kilatan yang sulit dijelaskan.

Risa menunggu sampai langkah kaki Bibi Lastri benar-benar menjauh. Setelah yakin ia sendirian, Risa bergegas mendekati sudut gelap itu, tempat di mana sosok bermata merah itu lenyap. Ia menyalakan senter ponselnya, mengarahkan cahayanya ke setiap sudut, setiap celah di dinding dan lantai. Tidak ada apa-apa. Hanya debu dan sarang laba-laba. Namun, saat senternya menyapu lantai kayu yang lapuk, ia melihatnya. Sebuah noda kecil, berwarna merah kehitaman, kering, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan seksama. Bekas darah. Darah yang sama dengan yang ia lihat di pisau tadi?

Jantungnya mencelos. Perutnya mual. Bukan halusinasi. Bukan mimpi buruk. Semua itu nyata. Darah itu nyata. Dan pisau itu, entah milik siapa, pernah ada di sini. Bekas noda itu terasa membakar jari-jarinya. Ia nyaris menyentuhnya, namun mengurungkan niat. Takut. Takut akan apa yang akan ia rasakan jika menyentuhnya.

Risa berdiri tegak, napasnya memburu. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Suara Kevin. Di mana Kevin? Kenapa dia tidak kunjung kembali? Kekhawatiran akan Kevin kini bercampur dengan ketakutan akan Bibi Lastri, dan misteri yang semakin dalam ini.

Ia harus menemukan Kevin. Ia harus memberitahunya. Atau setidaknya, mencari tahu apakah Kevin baik-baik saja. Dengan langkah cepat, Risa berjalan menuju pintu utama, melewati koridor yang gelap dan sunyi. Rumah itu terasa lebih luas, lebih dingin, lebih asing dari sebelumnya. Setiap bayangan seolah menyembunyikan sesuatu, setiap suara angin seolah membawa bisikan rahasia.

Saat ia tiba di ruang tamu, teh hangat yang disebut Bibi Lastri sudah mengepul di atas meja kayu. Bibi Lastri sedang duduk di sofa tua, membaca sebuah majalah. Ia tampak begitu tenang, terlalu tenang, seolah tidak ada yang baru saja terjadi. Wajahnya kembali tersenyum ramah, senyum yang kini terasa seperti topeng di mata Risa.

“Sudah selesai, Nak?” Bibi Lastri mengangkat kepalanya, tersenyum. “Sini, minum teh dulu. Bibi ada perlu ke belakang sebentar. Mau ambil sesuatu.”

Bibi Lastri bangkit, lalu berjalan ke arah dapur. Risa hanya mengangguk, matanya masih menatap punggung bibinya. Saat Bibi Lastri menghilang ke dapur, Risa langsung berbalik, berjalan cepat ke arah pintu utama. Ia harus keluar dari rumah ini. Minimal, ia harus mencari Kevin. Perasaan tidak enak ini semakin kuat. Kevin tidak mungkin pergi selama ini hanya untuk mencari udara segar. Ia tahu Kevin. Kevin tidak akan meninggalkannya sendirian di tengah bahaya.

Ia membuka pintu utama. Hujan gerimis membasahi tanah, menciptakan genangan kecil di halaman. Langit gelap, awan kelabu menggantung rendah. Dingin. Risa melangkah keluar, mata menatap ke sekeliling halaman yang rimbun dan gelap. Ia memanggil nama Kevin, sekali, dua kali, suaranya tercekat oleh dingin dan ketakutan. Tidak ada jawaban.

Lalu, pandangannya jatuh pada sesuatu di balik semak-semak mawar yang tinggi, dekat pagar rumah. Sebuah bercak gelap di tanah. Risa mendekat, jantungnya berdebar kencang. Ia jongkok, mengulurkan tangan. Bercak itu adalah... genangan air? Bukan. Terlalu kental. Dan ada warna kemerahan yang samar.

Dengan senter ponselnya, Risa menyoroti bercak itu. Bau anyir. Aroma yang sangat ia kenal, aroma yang sama dengan yang ia cium di ruang makan. Aroma darah. Dan di samping genangan itu, ia melihatnya. Sebuah benda kecil, berkilauan di tengah kegelapan.

Sebuah tahi lalat buatan. Tahi lalat kecil yang identik dengan yang dimiliki Kevin. Itu adalah gantungan kunci yang Kevin selalu pasang di tasnya. Kini tergeletak di tanah, basah kuyup, dan sebagiannya... berlumuran darah.

Napas Risa tercekat. Seluruh tubuhnya membeku. Darah Kevin? Kevin kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

“Kev... Kevin?” Bisikan itu nyaris tak terdengar, tenggelam oleh suara hujan dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah bayangan melintas di belakang Risa. Terlalu cepat untuk dilihat, terlalu dekat untuk dihindari.

Bau busuk itu kembali menyeruak. Kali ini lebih pekat, lebih memuakkan. Risa merasakan hawa dingin yang menusuk, bukan dari hujan, melainkan dari kehadiran yang tidak kasat mata. Ia berbalik, jantungnya berdegup kencang. Tidak ada siapa-siapa. Hanya semak-semak yang bergoyang pelan tertiup angin.

Namun, di sana, tepat di depan pintu rumah yang terbuka, di ambang pintu, ia melihat sebuah jejak kaki. Lumpur bercampur darah. Jejak itu tidak mengarah keluar, melainkan ke dalam rumah. Ke dalam kegelapan.

Kevin ada di dalam. Tapi... tidak sendirian. Dan tidak dalam keadaan baik. Risa memejamkan mata, menggenggam erat gantungan kunci Kevin di tangannya. Aroma darah itu, aroma busuk itu, dan jejak kaki itu. Semuanya terasa seperti perangkap yang baru saja tertutup.

Ia berbalik, menatap rumah tua itu. Jendela-jendela yang gelap kini terasa seperti mata yang mengawasi. Pohon-pohon tua di halaman seolah melambai, memanggilnya kembali ke dalam. Ke dalam teror yang nyata. Ia harus kembali. Harus mencari Kevin. Apa pun yang terjadi. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi Bibi Lastri. Atau, bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi sosok bermata merah itu lagi. Perjuangannya... baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!