NovelToon NovelToon
Maya Dan Cangkulnya

Maya Dan Cangkulnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Romansa pedesaan
Popularitas:131
Nilai: 5
Nama Author: R.Fahlefi

Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Princess

Benih-benih tanaman cabe yang baru ditanam oleh Maya sudah mulai berkecambah. Ia sengaja menanam cabe karena saran dari tauke. Memang, modal yang ia keluarkan lebih banyak, tetapi jika berhasil panen uangnya lumayan, bisa untuk membeli cash sepeda motor baru.

"Kau yakin Gilang udah berubah May?" Tanya Laras yang sedang berkunjung ke ladang Maya.

"Aku nggak tahu Ras, yang penting untuk saat ini aku sedikit lega. Dia nggak suka marah-marah lagi."

"Tapi May, kau itu tetap harus waspada, gagang cangkul kemarin harus kau simpan. Nanti kalau penyakitnya kambuh, kau pukul dia lagi."

Maya tertawa, lepas. Gigi-giginya yang berbaris kayak pagar putih terlihat indah. Kalau dilihat secara sekilas, Maya masih kayak gadis, wajah cantik ada imut-imutnya, kulit bersih, dan tubuh terjaga. Makanya beberapa pemuda desa lain yang belum kenal sering menggodanya.

"Ya udah, kalau kalian akur begini aku juga turut senang."

Maya mengangguk, "makasih Ras, kau itu emang my best friend."

Mereka berpelukan.

Langkah kaki dari belakang membuat mereka buru-buru melepaskan pelukan.

Gilang tiba membawa ember berisi air.

Laras dan Maya pura-pura mencabut rumput.

Gilang juga ikut membantu Maya mengurusi ladang. Sepulang bekerja, Gilang menyusul Maya, membantu menyiram, mengambilkan air, juga membantu menyiangi gulma yang tumbuh nggak diundang.

Langit sore mulai redup ketika pekerjaan mereka selesai. Laras sudah pulang duluan, Gilang dan Maya menaiki motor di jalan setapak yang berbatu.

Di tengah jalan, mereka diberhentikan oleh dua orang pria berbadan tegap.

Salah satu pria berjaket kulit mencengkeram kerah baju Gilang dengan marah.

"Kau nggak bisa kabur lagi Bro! Ini sudah tanggal berapa? Hah?"

Wajah Gilang pucat, apalagi Maya.

"Siapa kalian?" Ucap Maya.

"Tanya laki loe siapa kami!"

"Tenang-tenang bang, kita bicara baik-baik." Gilang berusaha menenangkan.

Maya menatap dua pria itu, heran. Gilang masih berusaha melepaskan diri. Satu pria lagi sudah mengambil kunci motor.

Maya seketika panik.

"Tolong!! Tolong!!!" Teriak Maya.

"DIAM!!"

Mulut Maya tersumpal, ngeri melihat wajah pria yang lebih mirip preman itu membentak.

"Bulan depan bang, iya aku janji bulan depan akan kubayar!" Ucap Gilang.

"Tidak, ini sudah satu bulan lewat dari perjanjian!"

"Motor loe kami ambil! Tapi ini belum cukup, loe harus membayar sisanya bulan depan, 10 juta lagi!" Tambah Pria berjaket kulit.

"Jangan bang, tolong. Aku berangkat kerja pakai motor ini."

"Bacot! Loe mau gue gorok?!"

Salah satu dari pria itu mengeluarkan pisau, membuat Gilang dan Maya mundur.

Tanpa perlawanan lagi, kedua pria itu pun pergi, salah satunya membawa serta motor Gilang.

Maya pucat.

Gilang menunduk lesu, Maya menatapnya meminta penjelasan.

"Siapa mereka bang? Kok motor kita dibawa? Terus uang 10 juta gimana?"

"Ren-tenir."

"Hah? Abang minjam sama rentenir? Untuk apa bang?"

Gilang nggak menjawab, ia melangkah perlahan menuju rumah mereka yang tidak jauh lagi.

Di rumah, Maya masih mencerca Gilang dengan berbagai pertanyaan. Apalagi sebuah pesan ancaman di hp Gilang membuat bulu ketek Maya merinding.

"Abang gunakan untuk apa uang itu, hah?"

Maya berkacak pinggang di hadapan suaminya.

"Abang aja nggak ngasih kami uang yang cukup, sekarang abang bilang berhutang 20 juta."

"Kemana perginya semua uang abang? Bukannya gaji abang udah lumayan?"

Gilang masih mode hemat daya, menunduk, duduk, wajahnya pucat.

"Maaf May, aku.. Main slot."

Deg!

Penyakit jaman now!

Beberapa warga kampung punya kasus serupa, dan Gilang ternyata salah satunya. Dua hari lalu, tak jauh dari rumah mereka, tetangga mereka menjual sawah demi menutupi hutang suami karena main slot.

"Ya ampun bang! Sadar! Sejak kapan pula abang main judol?! Sekarang, uang 10 juta itu mau dapat darimana? Kalau abang nanti beneran di gorok, terus kami gimana bang!?"

Sari yang melihat kedua orang tuanya ribut berjalan dan menarik ujung daster Maya.

Maya refleks menoleh, Sari? Ia tidak sadar kalau putrinya menonton mereka sedari tadi.

"Sari? Kamu masuk kamar dulu ya nak, ibu lagi latihan marah-marah sama ayahmu."

Sari tidak mau, anak itu semakin mencengkeram ujung daster ibunya.

"Sari nggak bodoh, ibu marahin ayah karena ayah minjam duit kan? Jangan marah-marah, kan ibu bisa minta tolong sama paman Reza." Ucap Sari dengan polosnya.

Maya jongkok, menatap putri kecilnya itu.

"Kita nggak boleh merepotkan siapapun nak, ingat. Meski paman Reza baik, mereka juga punya keperluan lain, belum tentu mereka punya uang."

Gilang, yang sedari tadi baterainya lowbet langsung bangkit dari duduknya.

"Benar kata Sari, kita harus meminta bantuan bang Reza, sekali ini saja. Aku janji gak main judol lagi May, suwer." Ucap Gilang mengangkat dua jari.

"Gundulmu, ini sudah beberapa kali kita minta bantuan dia. Kemarin, uang dua juta untuk benerin motor saja belum dikembalikan."

"Tapi May, kita nggak punya pilihan lagi. Kau mau suamimu ini kena gorok."

"TIDAKKK! Sari nggak mau ayah di gorok," Sari berteriak duluan. Meski ia jarang mendapat kasih sayang dari Gilang, tapi Sari tidak ingin kehilangan ayahnya.

Maya menatap kesal pada Gilang.

"Aku juga nggak mau abang kena gorok, tapi aku malu kalau kita minta bantu terus."

Gilang mendekati Maya, meraih tangan istrinya dengan lembut. Tatapan Gilang sayu, lesu seakan dialah makhluk paling menyedihkan di tata surya. Ia berlutut di depan Maya.

"Aku janji, aku pasti akan membayarnya." Ucap Gilang.

Maya menatap mata suaminya, mencari apakah ada tanda-tanda kebohongan atau dusta disana. Tapi sampai mata Maya kelilipan pun yang ada hanyalah kejujuran.

Akhirnya dengan berat hati Maya mengangguk, tanpa diduga oleh siapapun Gilang berdiri dan memeluk Maya.

"Makasih May, kau memang istri paling baik. Aku sayang sama kamu."

Wajah Maya memerah. ia juga terkejut dengan pelukan itu. Kemarin, belum kering diingatan kalau Gilang mengatainya istri nggak becus, istri nggak guna, istri durhaka dan lain sebagainya. Hati Maya melunak, lumer kayak mentega disiram minyak panas.

Maya menangis dan menitikkan air mata atas gejolak rasa yang rumit dalam hatinya. Ia senang dipeluk dan diperlakukan Gilang dengan baik, ia senang Gilang sekarang menghargainya sebagai seorang istri dan mengucapkan sayang. Tapi, Maya belum benar-benar yakin pada suaminya itu. Yang jelas untuk saat ini, seperti ini saja sudah cukup baginya.

Maya pun memutuskan segera menelpon Reza. Ia ingat betul perkataan abangnya itu yang bilang 'kalau butuh apa-apa jangan segan meminta'. Maka tidak butuh waktu lama uang 10 juta langsung masuk ke rekening.

Maya menemani Gilang membayar hutang ke rentenir. Maya nggak mau ambil resiko, ia harus ikut, takut jika uang itu dipakai Gilang.

"Sekarang, cicilannya abang harus bayar 1 juta tiap bulan ke bang reza."

"Siap komandan!!" Jawab Gilang memberi hormat di kepala.

Maya tersipu.

"Apaan sih, abang nggak usah hormat-hormat segala. Malu kalau Sari lihat."

"Tuh ada Sari." Tunjuk Gilang.

Maya menatap Sari yang tertawa sedari tadi.

"Ayah sama ibu lagi belajar upacara ya?"

Maya memukul dada Gilang, "Tuh kan, gara-gara abang."

Gilang tertawa.

Dua minggu, Maya panen cabe. Melimpah ruah dengan harga yang cukup baik. Akhirnya, Maya mengajak Gilang pergi ke kota kabupaten.

"Kamu yakin May?"

"Iya bang, lagipula aku sudah hitung-hitung pasti cukup."

"Kamu emang baik banget, aku jadi terhura."

Maya menoleh, "Terharu! Bukan terhura!"

"Iya.. iya.. Maksudnya itu."

"Tapi abang harus janji ya? Uang gaji abang sekarang aku yang pegang."

Gilang menghormat, "Siap My Princess!"

"Namaku Maya, bukan Princess!!!"

Gilang nyengir.

Sedetik kemudian Maya pun sadar akan sesuatu, "Siapa itu princess?"

"Kamu."

Maya berhenti, kembali melotot, "Jawab jujur bang? Siapa princess? Jangan-jangan itu nama wanita lain?"

Dahi Gilang mengerut, "Princess itu sebutan untuk kamu May, nggak ada wanita lain." Ucap Gilang menggaruk-garuk kepalanya.

Wajah Maya berubah, "Oh.. sekarang abang udah mulai bohong lagi ya? Apa wanita itu yang menghabiskan uang abang selama ini? ABANG SELINGKUH?!"

Gilang semakin menggaruk kepalanya, mereka berada di trotoar jalan di kota kecamatan. Orang-orang mulai memperhatikan mereka.

"May, udah deh. Malu dilihatin orang-orang." Kata Gilang mulai panik.

Beberapa orang yang mendengar pertengkaran mereka pun senyum-senyum.

"Abang jahat! Ternyata selama ini abang menduakan aku."

Wajah Maya mulai memerah, pipinya kembung dengan bibir mengerucut.

"Kamu itu princess May, princess itu sebutan untuk seorang putri."

"JADI NAMANYA PUTRI?!"

Gilang menelan ludah. Menatap seorang bapak-bapak pedagang berumur 50an di samping mereka.

"Abang tega!" Mata Maya mulai berkaca-kaca.

"May, jangan buat malu," Gilang meraih tangan Maya.

"LEPASKAN!"

Akhirnya bapak pedagang tadi pun tak tega melihat Gilang yang frustasi.

"Dek.. Suami kamu sedang memujimu, kamu princess di matanya. Artinya kamu dianggap seperti seorang putri." Ujar bapak itu sambil tersenyum lucu.

Maya menatap bapak-bapak itu, "Benar pak? Jadi suami saya nggak tukang boong?"

Bapak itu mengangguk.

Maya menunduk malu, wajahnya kayak kepiting rebus.

Lagian, seumur-umur Gilang nggak pernah ngucapin hal-hal kayak gitu. Maya menutup wajahnya, lalu..

"Bang, ayo kita pergi." Kata Maya tak berani menatap kerumunan.

Gilang akhirnya bernafas lega.

"Huuuuuuuu." Sorak-sorai penonton yang budiman pun terdengar.

Maya mempercepat langkah untuk pergi dari sana, ia bahkan menarik tangan Gilang agar segera meninggalkan tempat itu. Beberapa penonton tertawa, gemas, kesal sudah berburuk sangka.

"Abangkan tahu sendiri kalau aku nggak tamat SMA, nggak ngerti istilah-istilah begituan!!"

Gilang tersenyum kecut, "itu istilah umum May, lagian kamu itu nggak pernah update sih."

Maya menoleh, berhenti.

"Gimana mau update, hp ku aja hp totet totet, nggak bisa pesbukan"

Gilang menelan ludah.

Perkataan Maya benar.

Gilang pun merasa bersalah juga.

"Ya sudah, ntar kalau cabe kita panen kedua, kita belikan handpone yang ada logo apelnya."

"Enak saja, itu tanaman cabeku, bukan kita!"

"Kan aku juga ikut bantuin?"

"Nggak! Nggak! Pokonya itu tanaman cabeku."

Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya udah, terserah."

Maya melotot, "jadi abang nggak terima?"

"Egh, bukan gitu May.. kok kamu tiba-tiba nyebelin sih?"

"Yang nyebelin itu abang! Dari dulu emang abang nyebelin!"

"May udah deh, yang dulu-dulu nggak usah dibahas, aku udah insyaf, udah tobat. Aku nggak mau lagi nyakitin istri yang cantik ini." Jawab Gilang sambil mencubit pipi Maya.

Wajah Maya kembali bersemu merah, pipinya memanas.

"Abang bisa aja, ayo cepatan, ntar dealernya tutup!" Ucapnya sambil meneruskan langkah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!