Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Pagi itu, keluarga Bude Hera bersama Bu Henny, Pak Dahlan, dan Pakde Herman berangkat menuju rumah Dea untuk melamar. Mereka akhirnya tiba di tempat yang dituju, berbekal alamat yang diberikan Ryan. Setelah turun dari mobil, Bu Henny mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban.
"Apa benar ini rumahnya? Kamu tidak salah, kan, Henn?" tanya Bude Hera dengan nada khawatir.
"Tidak, Mbak. Menurut Ryan, memang ini rumahnya," jawab Bu Henny sambil memeriksa kembali kertas catatan alamat yang diberikan Ryan. "Benar ini, kok!" tegas Bu Henny, meyakinkan.
"Coba kamu ketuk lagi pintunya, Henn! Siapa tahu mereka tidak mendengar," pinta Pakde Herman.
"Iya, Bu, mungkin saja mereka sedang di dalam dan tidak mendengar ketukan pintu," sambung Pak Dahlan, mencoba membantu.
Bu Henny pun kembali mengetuk pintu, kali ini dengan lebih keras. Setelah beberapa kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka. Betapa terkejutnya semua orang yang ada di situ karena yang membuka pintu adalah Eri.
"Eri...!" teriak Bu Henny dengan nada tak percaya.
"Mama!" Eri pun ikut berteriak dan langsung memeluk mamanya yang sangat ia sayangi.
Bu Henny membalas pelukan Eri dengan erat. Air mata Bu Henny tanpa terasa menetes di punggung Eri. Hati Bu Henny terasa sesak. Anak semata wayangnya yang sangat disayanginya harus mengalami hal yang tidak sepantasnya dialami.
"Maafkan Eri, Ma. Eri telah mencoreng nama baik Mama!" ucap Eri dengan nada penuh penyesalan sambil melepaskan pelukannya dan berganti bersujud di kaki mamanya. "Maafkan Eri!" kata Eri lagi, kali ini disertai isak tangis yang tidak bisa dibendung.
Mendengar suara riuh di depan rumah, Bu Dinda, ibunda Dea, keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ia terkejut melihat begitu banyak orang di depan rumahnya.
"Eh, ada tamu rupanya!" sapa Bu Dinda dengan nada ramah kepada tamu-tamunya.
Mendengar suara orang menyapa, Bu Henny melepaskan pelukannya dari Eri. "Dinda.... kamu Dinda!" ucap Bu Henny dengan nada terkejut ketika melihat siapa pemilik suara itu.
"Henny... kau...!" ucap ibunda Dea terputus, karena tidak mengira bahwa yang datang ke rumahnya adalah Bu Henny, wanita yang dulu merebut suaminya.
Bude Hera, Pakde Herman, dan Pak Dahlan hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berbuat apa melihat adegan yang terjadi di depan mereka.
Pak Prasetyo yang baru keluar dari dalam rumah bersama Dea sangat terkejut melihat siapa yang datang ke rumahnya. "Henn... Henn.. Henny!" ucap Pak Prasetyo terbata-bata karena tidak menyangka akan bertemu dengan Bu Henny dalam situasi seperti ini.
"Mas Pras!" ucap Bu Henny terhenti. Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Ma.. Apa yang terjadi? Mama sudah kenal sama Bu Dinda?" tanya Eri dengan bingung.
"Iya, Er. Dia adalah papamu yang telah meninggalkan kita sejak kamu masih berumur dua tahun, hingga kamu lupa wajah papamu. Dan Bu Dinda itu wanita yang telah merebut papamu!" jelas Bu Henny dengan nada dingin, namun di pelupuk matanya penuh dengan air mata.
"Apa selama kamu di sini, kamu tidak mengatakan bahwa kamu ini adalah anak Mama tersayang yang ikut berjuang melawan pahit getirnya kehidupan karena diterlantarkan papanya demi wanita lain!" sindir Bu Henny dengan nada sinis.
"Tidak.. Eri tidak mengatakan bahwa ibunya bernama Henny, tapi bilangnya Larasati, hingga aku tidak tahu kalau Eri itu anakmu!" sambung Bu Dinda, ibunda Dea, dengan nada membela diri.
"Larasati itu juga namaku karena nama lengkapku Henny Larasati!" balas Bu Henny dengan sinis.
"Maafkan Papa, Er. Papa memang salah pada kalian!" ucap Pak Prasetyo dengan nada menyesal.
"Berarti Dea ini adalah adikku, Ma?" tanya Eri sambil memandang Dea, dan Dea pun saat itu juga sedang memandang Eri. Untuk sejenak, mereka saling bertukar pandang, mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja terungkap.
"Iya.. Menurut silsilah, kalian ini kakak beradik, hanya beda ibu!" jelas Bu Henny dengan suara bergetar.
"Iya, Er, kalian itu kakak beradik, jadi kalian tidak bisa menikah!" ucap Pak Prasetyo dengan nada pelan.
"Tidaaaak! Ini tidak mungkin! Kak Eri bukan kakakku, tapi calon suamiku, ayah dari anakku!" teriak Dea sekencang-kencangnya. Setelah itu, gadis itu jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Melihat Dea pingsan, semua orang yang ada di situ menjadi panik, terutama Eri. Dia mengguncang-guncangkan tubuh Dea dengan panik. "Dea, sadar, Dek! Ini Kak Eri!" teriak Eri dengan cemas.
Akan tetapi, Dea tidak juga sadar, membuat Eri semakin cemas. "Kita bawa Dea ke rumah sakit saja, Ma!" kata Eri kepada Bu Henny.
Bu Henny langsung mengiyakan apa yang dikatakan oleh Eri karena bagi Bu Henny urusan dengan kedua orang tuanya tidak seharusnya dikaitkan dengan diri Dea, sedangkan Dea saat ini sangat membutuhkan pertolongan medis.
Maka, tanpa berpikir panjang, Bu Henny langsung membawa Dea ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Dea langsung ditangani oleh dokter. Menurut keterangan dari dokter, Dea hanya mengalami syok dan tidak ada penyakit berbahaya lainnya.
Mendengar hal itu, hati Eri dan kedua orang tua Dea sangat lega. Karena acara lamaran batal, Bu Henny dan keluarga Bude Hera memutuskan untuk pulang. Sebenarnya, Eri ingin menunggu Dea sampai sembuh, tapi mengingat permasalahan di antara kedua orang tua mereka begitu rumit, Eri memutuskan untuk ikut pulang bersama mamanya.
Sebelum Eri ikut pulang, Eri menemui Dea untuk sekadar berpamitan. "Dek, Kakak pamit pulang. Kakak janji akan sering menengok kamu ke sini. Cepat sembuh ya, Dek, nanti kita hadapi semua ini bersama-sama. Sekarang Kakak pulang dulu, Kakak akan mencari solusi untuk masalah kita ini!" kata Eri sambil membelai rambut Dea dengan lembut.
Dea tidak menjawab, hanya isak tangis yang terdengar. Eri hanya bisa menghela napas panjang. Eri tahu apa yang dirasakan oleh Dea saat ini, mungkin sama seperti yang dirasakannya saat ini.
"Sebenarnya, Kakak ingin menunggumu sampai kamu sembuh, tapi kamu sendiri tahu, kan, bagaimana hubungan keluarga kita saat ini!" tutur Eri dengan nada sedih.
Dea masih tetap diam. Melihat Dea hanya diam, Eri pun ikut terdiam. Cukup lama mereka saling diam hingga akhirnya Dea berkata dengan lirih, "Iya, Dea bisa mengerti, Kak. Kakak pulanglah, jangan membuat Mamamu kecewa dan sedih!" Hanya itu yang diucapkan Dea di sela-sela isak tangisnya. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan oleh gadis itu saat itu.
"Kamu tidak sendirian, ada Kakak di sini!" ucap Eri memberikan semangat dan keyakinan pada Dea, meskipun dia sendiri tidak lebih baik daripada Dea.
"Pergilah, Kak, itu Mamamu sudah menunggumu!" ucap Dea dengan lirih.
Eri menggenggam tangan Dea sebelum pergi meninggalkan Dea untuk ikut Mama pulang ke Jakarta. Dia berniat untuk izin kuliah barang beberapa hari untuk menenangkan diri karena pikirannya sangat kacau. Rasanya tidak mungkin dia bisa fokus kuliah dengan pikiran yang begitu kacau, makanya dia memutuskan untuk izin tidak masuk kuliah dulu agar pikirannya tenang. Dia berharap setelah itu dia akan menemukan titik temu mengenai masalah antara dirinya dan Dea. Masalah yang mereka hadapi memang rumit dan sulit untuk diurai.
************