Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 — Keputusan Berat
Aira terbangun oleh rasa hampa yang dingin. Itu adalah sensasi yang paling buruk bagi seorang ibu: kekosongan di tempat seharusnya ada kehangatan napas dan gerakan gelisah.
Ia segera bangkit, jantungnya berdebar kencang. Hari sudah pagi, tetapi cahaya di luar masih redup. Aira berlari ke kamar Arvan.
Kamar itu kosong.
Bantal dan selimut Arvan rapi, tetapi bocah itu tidak ada. Aira mengamati. Pengasuh juga tidak ada.
Seketika, seluruh janji, semua kelembutan palsu yang Dion tunjukkan, runtuh. Rasa panik menghantam Aira seperti gelombang pasang.
Dia mengambilnya.
Keputusan Berat yang Dion ucapkan saat ia meninggalkan Aira di ruang kerja yang berantakan (Bab 25) ternyata adalah ini. Dion tidak akan mengambil Arvan dengan paksa di depan Aira. Dia akan mengambilnya secara diam-diam, tanpa konfrontasi, hanya meninggalkan catatan atau perintah dari pengacara.
Aira berlari ke kamar asisten rumah tangga, Nyonya Wati, yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga Arganata.
“Nyonya Wati! Di mana Arvan?” tanya Aira, suaranya nyaris histeris.
Nyonya Wati, yang terkejut, menjawab dengan bingung, “Oh, Tuan Muda pergi pagi-pagi sekali, Nyonya. Tuan Besar Dion yang membawanya. Mereka bilang mau ‘bermain’ di kota.”
"Bermain?" Aira mengulang kata itu, ironis dan penuh amarah. "Bermain apa? Bermain merebut seorang anak dari Ibunya?"
Nyonya Wati mundur, takut dengan amarah yang jarang Aira tunjukkan. “Tuan Besar Dion berkata, Tuan Muda akan kembali sore ini, Nyonya. Dia berjanji. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama.”
Aira tidak mendengarkan. Seluruh dunianya terasa terbalik. Setelah semua pengakuan DNA, setelah semua tangisan dan gairah yang terhenti, Dion kembali menjadi tiran. Dia tidak akan pernah percaya pada Aira. Dia hanya akan menggunakan anak itu sebagai alat pembalasan.
Aira berlari ke balkon. Dia melihat kota, lautan bangunan kaca dan baja, dan ia merasa kecil, tak berdaya. Arvan ada di luar sana, hilang di antara jutaan orang. Aira membayangkan Arvan ketakutan, mencari Ibu yang tidak ada, sementara Dion menjelaskan dengan dingin bahwa sekarang ia harus mematuhi "Papa."
Ia meraih ponselnya. Ia ingin menelepon Dion, memakinya, mengancamnya dengan polisi—tetapi apa haknya? Dion adalah Ayah kandungnya, dibuktikan oleh selembar kertas.
Aira menjatuhkan ponselnya ke sofa. Dia duduk, memeluk dirinya sendiri, air mata mengalir deras. Inilah hukuman yang sebenarnya. Bukan kontrak utang, bukan hukuman kamar tidur. Hukuman terberat adalah melihat putranya direnggut oleh pria yang memiliki hak yang sah.
Ia menunggu, setiap detik terasa seperti jarum jam yang menyiksanya.
Sementara Aira diliputi ketakutan dan keputusasaan, Dion dan Arvan sedang menjalani hari yang ajaib.
Dion telah merencanakan hari ini dengan detail militer. Dia tidak ingin sekadar 'bermain', dia ingin menciptakan kenangan yang tidak bisa digantikan oleh Ayah manapun.
Ia membawa Arvan ke Kebun Binatang eksklusif di pinggiran kota, tempat yang dikelola oleh salah satu konsesi miliknya. Tempat itu sunyi dan penuh hewan langka.
Arvan, untuk pertama kalinya, melihat zebra dan jerapah dari jarak dekat.
“Papa, lihat! Lehernya panjang sekali!” seru Arvan, matanya bersinar.
Dion, yang biasanya hanya peduli pada statistik keuangan, kini harus berjuang keras untuk menciptakan kalimat sederhana yang menyenangkan.
“Iya, Sayang. Jerapah itu… mereka harus punya leher panjang agar bisa melihat jauh, melihat masa depan,” kata Dion, mencoba menghubungkan dengan filosofi bisnisnya.
Arvan tertawa. “Tidak, Papa! Mereka harus punya leher panjang agar bisa makan daun yang tinggi!”
Dion tersenyum. Senyum yang tulus, tanpa kecemasan pasar. Arvan mengajarinya sesuatu yang sudah lama ia lupakan: kesederhanaan.
Mereka makan es krim di taman yang asri. Arvan makan dengan belepotan, dan Dion, dengan tangan yang masih sedikit berdenyut karena luka, membersihkan sisa es krim dari pipi putranya. Sentuhan itu terasa lebih berharga daripada memenangkan tender triliunan.
"Papa," kata Arvan, setelah menghabiskan es krimnya, "Om hari ini seperti Ayahku yang asli. Ayahku yang di bintang tidak pernah bisa membersihkan es krimku."
Dion merasa sesak. Arvan telah memberinya pengakuan yang ia dambakan, pengakuan yang tidak bisa diberikan Aira.
"Om akan menjadi Ayahmu, Sayang," bisik Dion, mencium kening Arvan. "Ayah yang asli."
Dion menghabiskan waktu untuk mengajari Arvan cara melempar bola, cara melukis dengan cat air sederhana. Dia gagal total dalam semua tugas itu, tetapi Arvan tidak peduli. Arvan peduli pada waktu yang Dion berikan.
Dion menyadari bahwa keputusan berat yang harus ia ambil bukanlah apakah ia akan mengambil Arvan atau tidak, melainkan: apakah ia akan membiarkan dirinya menjadi pria yang ia benci, ataukah ia akan menjadi Ayah yang pantas dicintai?
Senja mulai turun ketika mobil Dion kembali memasuki gerbang penthouse.
Aira, yang menghabiskan hari di sofa, hanya bergerak untuk membuat teh yang tidak ia sentuh. Saat ia mendengar deru mesin mobil Dion, ia berdiri, seluruh tubuhnya menegang.
Pintu terbuka. Dion keluar lebih dulu, lalu ia membuka pintu belakang untuk Arvan.
Arvan berlari ke Aira. “Mama! Papa mengajakku melihat Jerapah!”
Aira langsung memeluk Arvan, memeluknya erat seolah-olah dia adalah harta yang baru ia temukan. Ia mencium Arvan berkali-kali, mencium bau es krim dan bau maskulin Dion yang samar.
“Sayang! Kenapa kamu pergi tanpa bilang Mama?” tanya Aira, suaranya masih bergetar.
“Papa bilang ini kejutan! Tadi kami main bola dan Jerapah!” kata Arvan, polos.
Aira menatap Dion, matanya penuh tuduhan dan kelelahan.
“Anda melanggar janji Anda!” desis Aira, menjaga suaranya agar tidak didengar Arvan. “Anda tidak memberitahu saya! Anda membuat saya berpikir Anda merebutnya!”
Dion menatap Aira, matanya tenang. “Aku hanya memberinya apa yang Ayahnya harus berikan: waktu dan kenangan. Aku tahu kau panik. Dan aku minta maaf karena tidak memberitahumu. Tapi aku membutuhkan waktu itu, Aira. Aku butuh kepastian bahwa dia mencintaiku, bukan karena kontrak, tapi karena aku memberinya waktu.”
Dion membungkuk ke Arvan. “Arvan, Sayang, sekarang kamu mandi dengan Mama, ya? Papa harus bicara serius dengan Mama.”
Setelah Arvan pergi bersama Nyonya Wati, Dion berbalik menghadap Aira.
“Dengar aku baik-baik, Aira,” kata Dion, nadanya adalah kombinasi antara perintah dan permohonan yang tulus. “Aku sudah melihat hasil DNA. Aku sudah memprosesnya. Aku sudah menerima kebohonganmu, dan alasannya.”
Dion melangkah mendekat, memegang bahu Aira dengan lembut, tatapannya lekat.
“Aku tidak akan merebut dia darimu,” kata Dion. Aira tersentak. Itu adalah kalimat yang ia tunggu, kalimat yang menghapus semua ketakutannya.
Dion melanjutkan, suaranya tegas. “Tapi dia juga anakku. Dia adalah darahku, benihku. Dan aku menuntut hakku sebagai Ayah. Aku menuntut hak untuk membersihkan es krim dari pipinya, untuk mengajaknya melihat Jerapah, dan untuk menjadi pria yang ia panggil 'Papa' di masa depan.”
“Kita orang tuanya, Aira,” kata Dion. “Kita adalah satu-satunya yang dia miliki. Tidak ada lagi kontrak, tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi hukuman. Kita adalah orang tua Arvan Arganata.”
Aira terkejut. Dion tidak sekejam yang ia bayangkan. Dia tidak datang dengan ancaman pengadilan atau polisi. Dia datang dengan pengakuan, dan tawaran untuk membesarkan anak itu bersama.
Air mata Aira menggenang lagi, tetapi kali ini, itu adalah air mata lega, air mata yang membebaskan.
“Dion…”
“Aku tahu, ini sulit,” potong Dion. “Aku tahu kau masih membenciku, masih takut padaku. Tapi kau sudah melihat hari ini. Aku tidak akan memisahkannya darimu. Aku butuh kau di sini untuk mengajariku. Aku butuh kau di sini untuk menjadi Ibu yang utuh.”
Aira mengangguk perlahan. Kesepakatan itu jauh lebih baik daripada skenario terburuk yang ia bayangkan.
Ada momen keheningan yang lembut, tetapi tegang, di antara mereka. Dion masih Ayah yang canggung, dan Aira masih Ibu yang waspada. Perasaan mereka, meskipun ada hasrat yang tak terbantahkan, masih retak oleh pengkhianatan dan amarah.
“Terima kasih,” bisik Aira, akhirnya.
Dion hanya mengangguk, melepaskan bahu Aira. “Sekarang, mandi dan temani dia makan. Dan besok, kita akan mulai menjadi orang tua sejati. Tanpa kebohongan lagi.”
Dion berbalik, menuju ruang kerjanya yang masih perlu dibersihkan. Dia tahu, membersihkan pecahan kaca dan darah jauh lebih mudah daripada membersihkan pecahan hati Aira. Tapi, setidaknya, dia telah membuat langkah pertama.
semoga cepet up lagi