NovelToon NovelToon
Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Status: sedang berlangsung
Genre:Dark Romance / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: khalisa_18

Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.

Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.

Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.

Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senandung akhir di kawah candradimuka

Lembah Tidar di penghujung bulan kembali menjadi saksi bisu. Namun kali ini, hawa yang menyelimuti bukan lagi ketegangan tahun-tahun awal, melainkan kelegaan agung dan kebanggaan yang membumbung tinggi. Empat tahun yang terasa seperti empat dekade penempaan telah mencapai titik puncaknya. Bagi Sersan Mayor Dua Taruna Kalea Aswangga, yang kini telah resmi menyandang pangkat Sersan Mayor Satu Taruna (Sermatutar), hari-hari melelahkan di kawah candradimuka itu hampir purna.

Kalea berdiri di hadapan cermin besar di kamarnya, yang merupakan bagian dari Mess Taruni. Ia adalah Sermatutar, senior tertinggi di seluruh korps Taruna Akademi Militer, sebuah posisi yang menuntut wibawa setinggi langit dan tanggung jawab sebesar gunung. Pantulan dirinya di cermin adalah sebuah mahakarya, sosok yang tegap, dengan seragam pesiar yang rapi sempurna, kontras dengan wajahnya yang kini memancarkan aura ketenangan seorang calon perwira. Gelar Sermatutar, yang disematkan di pundaknya, terasa seperti mahkota kebanggaan. Sebentar lagi, hanya tinggal menghitung mundur, ia akan sah menjadi Letnan Dua Kalea Aswangga, S.Tr.(Han).

Senyumnya merekah. Senyum itu bukan lagi senyum lembut yang dikhawatirkan Ramdan akan pecah, melainkan senyum yang memancarkan kekuatan dari ribuan jam latihan dan tempaan mental.

"Eh, Sermatutar Aswangga! Jangan terus-terusan tersenyum, nanti cermin itu bakal jatuh cinta sama kamu, lho! Bisa-bisa dia minta izin dinas luar demi ikut kamu ke Istana Negara," canda Sersan Mayor Dua Taruna Febi, rekan sekamarnya, yang sedang sibuk menyemprotkan parfum citrus kesukaannya. Febi adalah teman seperjuangan Kalea sejak Taruni tingkat satu, yang memiliki selera humor sepedas cabai rawit.

Kalea terkekeh pelan. "Hah... Kamu ini, Feb. Hiperbolamu setinggi tiang bendera upacara. Ada-ada saja."

"Aku serius! Auramu hari ini setajam baret merah yang baru dicuci," balas Febi, memutar tubuhnya untuk melihat Kalea. "Luar biasa. Ini adalah pesiar terakhir kita sebagai Taruni, Le. Detik-detik menuju keabadian perwira!"

"Sudahlah, kau terlalu mendramatisir. Semua ini hanyalah awal dari pengabdian yang sesungguhnya," ujar Kalea, merapikan sedikit kerah bajunya. Ia selalu berusaha meredam euforia, menjunjung tinggi filosofi bahwa setiap keberhasilan adalah permulaan dari tugas yang lebih besar.

"Oke, Commander! Jadi, ke mana nih rencana pelarian kita di senja kebebasan terakhir ini?" tanya Febi, mengambil tas pesiarnya.

Kalea menatap pantulan dirinya sekali lagi, di matanya terbayang sosok Ramdan di bawah pohon beringin. Ia menggeleng pelan. "Tidak kemana-mana. Aku hanya ingin ke satu tempat. Kerumah Letnan Yudha."

Febi mengangkat alis, terkejut. "Letnan Yudha? Kakak tingkat kita itu? Wah, sudah dua tahun sejak beliau lulus dari sini, kamu belum pernah ke sana lagi, ya?"

"Benar. Dulu, saat aku masih Sersan Taruna, beliau banyak membimbingku. Aku merasa memiliki hutang budi dan rindu pada suasana rumah yang ditawarkannya," jelas Kalea. Letnan Yudha adalah teman satu angkatan (leting) Ramdan, dan seperti Ramdan, Yudha juga pernah menjadi senior yang sangat peduli pada perkembangan juniornya.

Febi tersenyum lebar. "Kalau begitu aku ikut! Aku juga kangen dengan masakan Ibu letnan Yudha yang legendaris itu. Masakan beliau itu adalah oase di tengah padang pasir ransum!"

"Tentu saja. Ayo, kita sama-sama ke sana," ajak Kalea, melangkah menuju pintu.

"Siap, Sermatutar!" jawab Febi, memberi hormat ala kadarnya sebagai candaan sebelum mereka melangkah keluar dari asrama yang dingin.

Mereka melangkah meninggalkan kompleks Akmil yang agung. Langkah mereka terasa ringan, seolah beban ribuan buku dan ratusan kilometer lari telah terangkat dari pundak mereka. Ini adalah pesiar, waktu di mana mereka diizinkan sejenak melepaskan atribut Taruna dan kembali menjadi manusia.

Perjalanan singkat itu membawa mereka ke sebuah rumah yang asri, jauh dari hiruk pikuk Lembah Tidar, namun memancarkan ketenangan yang familiar. Rumah itu adalah milik Sersan mayor (Purn.) Handoko dan keluarganya, ayah dari Letnan Yudha.

Saat Kalea mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya dengan senyum yang kehangatannya seolah mampu melelehkan baja, membukakannya. Dia adalah Ibu letnan Yudha. Melihat dua Sermatutar berdiri tegap di hadapannya, mata wanita itu langsung berbinar-binar.

"Ya Tuhan! Anak-anak gadis Ibu! Kalian pulang!" Serunya, memeluk Kalea dan Febi secara bergantian dengan kehangatan yang tak terlukiskan. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu, murni, tanpa sekat pangkat atau korps.

"Siap, Ibu! Kami mohon izin untuk pesiar ke sini," ujar Kalea, matanya berkaca-kaca merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.

"Pesiar? Tentu saja ini rumah kalian, Nak! Ya ampun, kalian sudah Sermatutar sekarang! Ibu bangga sekali!" Ibu letnan Yudha menarik mereka masuk, seolah menarik kembali waktu ke masa ketika Yudha masih Taruna.

"Pak! Lihat! Anak-anak gadis kita pulang!" seru Ibu Yudha kepada suaminya di ruang tengah.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan seorang pria paruh baya, yang di matanya masih terpancar ketegasan militer meskipun telah purna tugas, keluar. Ia adalah sosok yang disegani di masa aktifnya. Namun kini, ia hanya seorang ayah yang penuh kasih.

Ayah letnan Yudha, dengan senyum lebar yang tak kalah hangat, menyambut mereka. "Ah, Kalea! Febi! Masya Allah! Senang sekali kalian kemari. Kalian tampak luar biasa! Sungguh, kalian adalah putri-putri kebanggaan kami, bukan hanya kebanggaan Tidar."

Sambutan itu begitu tulus, seolah dua Taruni yang berdiri di sana adalah putrinya sendiri yang telah lama menunaikan tugas di tempat yang jauh. Kehangatan ini adalah mata air di tengah disiplin yang kering.

Mereka dipersilakan duduk, disuguhi teh hangat dan kue-kue tradisional yang aroma harumnya memenuhi ruangan.

"Dulu, Yudha sering sekali bercerita tentang kalian, terutama Kalea. Katanya, kamu adalah Taruni yang paling keras kepala, tapi hatinya paling tulus. Persis seperti Letnan Ramdan, letingnya," ujar Ayah letnan Yudha, tertawa kecil.

Mendengar nama Ramdan, hati Kalea seolah disentak oleh arus listrik. Ia tersenyum tipis. "Siap, Bapak. Beliau berdua adalah Senior yang paling membentuk mental kami."

Ibu letnan Yudha mendekat, mengusap bahu Kalea dan Febi dengan lembut. " Nak. Wajah kalian terlihat lelah, tapi mata kalian bersinar-sinar. Ingat, rumah bukan cuma di kampung halamanmu yang jauh, atau di pangkuan ibu kandungmu saja. Tapi rumah adalah di mana ada kehangatan, ada kasih, dan ada orang yang tidak membeda-bedakanmu hanya karena pangkat atau latar belakang."

Mendengar kalimat itu, air mata Kalea hampir menetes. Ia tiba-tiba teringat apa yang letnan Yudha pernah katakan saat ia masih Taruni Tingkat Dua yang sedang merasakan homesick hebat. Letnan Yudha mengatakan persis kalimat itu.

Kalea sadar, letnan Yudha benar. Rumah bukan hanya sekadar bangunan fisik. Rumah adalah perasaan diterima, perasaan dicintai tanpa syarat. Dan di rumah inilah, di tengah keluarga seorang prajurit biasa, ia menemukan kehangatan yang mengisi kembali jiwanya yang hampir terkuras oleh kedinginan disiplin militer yang tanpa kompromi.

"Ibu benar," bisik Kalea, suaranya sedikit serak. "Terima kasih banyak, Bapak, Ibu. Kami sangat bersyukur bisa berada di sini."

Febi menambahkan, "Bu! Kami merasa seperti mendapatkan kembali tenaga yang hilang, energi yang akan kami gunakan untuk menjalani sisa pendidikan dan, yang paling penting, Upacara Pelantikan nanti."

Ayah letnan Yudha tersenyum penuh makna. "Pelantikan itu adalah sumpah, Nak. Itu bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari pengabdian sejati pada Ibu Pertiwi. Kalian adalah masa depan Angkatan Darat kita. Letnan Dua adalah pangkat yang harus dijunjung tinggi dengan integritas, keberanian, dan pengorbanan."

"Siap, Bapak! Kami akan mengingat setiap nasihat Bapak dan Ibu," jawab Kalea dan Febi serempak, kembali pada sikap Taruna yang penuh semangat.

Malam itu, mereka habiskan dengan obrolan ringan, diiringi tawa renyah, membahas kenangan lucu di Akmil, dan merencanakan masa depan setelah mereka resmi menjadi perwira. Bagi Kalea, pesiar terakhir ini adalah penutup yang sempurna, sebuah jeda spiritual sebelum ia melangkah memasuki dunia yang baru, dunia di mana ia akan bertemu lagi dengan Ramdan, sebagai sesama Letnan Dua, dan sebagai wanita yang siap memberikan jawaban atas janji senja di bawah pohon beringin. Ia menggenggam erat kehangatan keluarga ini, menjadikannya bekal, sebuah kekuatan yang akan ia bawa bersama lambang Letnan Dua di pundaknya.

1
atik
lanjut thor... semangat 💪
Khalisa_18: Makasih KK, di tunggu update selanjutnya ya
total 1 replies
atik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!