Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yamg terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian
Runa duduk di samping Qian, mereka sempat jadi pusat perhatian para pasien dan keluarga pasien yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruang hemodialisa karena keluar dari ruangan dibantu perawat dengan kondisi tak sadarkan diri. Keadaan di ruang tunggu cukup ramai karena dalam satu hari ada tiga sesi jadwal cuci darah disana. Sesi pertama dimulai dari pukul tujuh sampai pukul sebelas siang, sesi kedua dimulai dari pukul dua belas lebih tiga puluh hingga pukul enam belas dan sesi terakhir pukul tujuh belas hingga malam khusus untuk pasien rawat inap.
"Cowoknya kenapa mba?"
"Coba di kasih minyak angin, mba."
"Ini aja lebih mantap buat nyadarin yang pingsan." berbagai pertanyaan dadakan hingga aneka minyak oles ditawarkan oleh penunggu pasien disana.
"Nggak apa-apa, ini cuma lemes aja lihat darah. Tolong jangan dikemurunin seperti ini yah pak, bu." jelas Runa pelan.
Para ibu-ibu yang semula mengerumuni mereka berangsur kembali ke kursi masing-masing. Runa mengambil minyak angin roll on dari tas nya dan mengoleskan ke hidung Qian, namun belum sempat kena lelaki itu sudah bangun. Menghela nafas pelan sambil terus menunduk.
"Oles ini mas biar nggak pusing." Runa memberikan minyak angin roll on miliknya.
"Nggak, makasih. Aku nggak apa-apa." tolak Qian, "tadi cuma pusing dikit, mama gimana keadaannya?" lanjutnya bertanya.
"Nggak tau mas. Tadi kan mas Qian pingsan jadi aku disuruh tante Retno buat jagain mas aja. Tante di dalam sama om Teguh." jawab Seraya memasukan minyak angin ke dalam tasnya.
Qian beranjak, "aku mau lihat mama dulu kalo gitu."
Runa menarik tangan Qian sambil menggelengkan kepala, "nanti mas Qian pingsan lagi, biar aku aja yang masuk." ucapnya. Runa segera melepas tangan Qian karena pemuda itu menatapnya, "maaf." ucapnya lirih kemudian pamit untuk pergi ke ruang hemodialisa (HD).
Masuk ke dalam ruangan, perubahan suhunya sangat terasa, lebih dingin dibanding ruang tunggu. Runa langsung menghampiri mama Retno. Sudah terpasang jarum di tangan kiri mama Retno dengan cairan berwarna merah mengalir lancar ke dalam mesin yang layarnya menunjukan berbagai informasi yang barang tentu tak semua Runa pahami.
"Sakit nggak tan?" tanya Runa.
"Dikit tadi pas dimasukin jarumnya. Qian gimana udah baikan belum?"
"Udah sadar, tan. Barusan juga mau masuk tapi aku larang, takut pingsan lagi." jawab Runa.
"Iya, jangan bolehin dia masuk. Dari kecil dia memang takut darah. Om kira udah baikan, tenyata masih sama aja." timpal papa Teguh.
"Siap, om. Aku minta maaf yah om, harusnya aku nungguin tante Retno tapi malah jadi om yang nungguin." jawab Runa.
"Nggak apa-apa, Runa. Kamu jaga Qian aja. Dia suka lama lemesnya kalo abis lihat darah. Tante sama Om disini." Mama Retno kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
"Baik, tante. Kalo gitu aku permisi, kalo nanti om sama tante butuh bantuan bisa langsung telpon aku aja." pamit Runa.
Keluar dari ruang HD Runa mendapati Qian masih di tempat yang sama, namun kali ini tampak sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu langsung menyimpan ponselnya kala Runa menghampirinya.
"Gimana keadaan mama?"
"Tante Retno baik-baik aja mas. Proses cuci darahnya juga lancar. Sekitar tiga jam setengah lagi baru selesai. Kata tante aku suruh jagain mas Qian aja." jawab Runa, "tapi maaf mas sekarang aku mau ke kantin dulu, soalnya tadi belum sempet sarapan. Terus juga aku pengen beliin tante Retno cemilan biar nggak bosen nunggu cuci darah selesai, kan masih lama. Om juga pasti lapar. Mas Qian mau titip makanan sekalian nggak? biar nggak bolak balik, kantinnya lumayan jauh." lanjutnya.
"Aku ikut kamu ke kantin aja, lagian disini juga percuma, nggak bisa masuk." Qian beranjak dari duduknya.
"Takut pingsan lagi yah mas?" ledek Runa yang tak dijawab, Qian malah berjalan lebih dulu ke arah lift.
"Lucu banget sih." batin Runa kemudian buru-buru menyusul Qian yang sudah masuk ke dalam lift.
"Tungguin mas." ucapnya seraya masuk.
"Lantai berapa kantinnya?" tanya Qian sebelum menekan deretan angka di samping pintu lift.
"Lantai satu aja mas, biar nggak lewat ICU lagi." Runa langsung menekan tombol angka satu.
Keluar dari lift mereka mendapati ruangan yang berbeda lagi, kali ini mereka berada di samping resepsionis gedung ICU yang sepi. "Lewat sini, mas!" Runa berjalan di depan. Keluar dari gedung ICU, berbelok ke kiri dan langsung keluar dari gerbang yang dijaga satpam.
Qian mengamati jalan yang mereka lewati, jelas berbeda dari yang sebelumnya. Ternyata benar yang dikatakan Mayra jika rumah sakit ini terlalu luas, tak menutup kemungkinan ia juga akan pusing bahkan nyasar jika tak bersama Runa saat ini.
"Ini masih lumayan jauh loh mas, kantinya diujung sana, deket pintu masuk pasien rawat inap." Runa menunjuk gedung yang jaraknya bukan lumayan lagi tapi memang jauh.
"Iya nggak apa-apa." jawab Qian, "kayaknya hafal banget sama rumah sakit ini. Udah sering kesini?"
"Lumayan mas. Nginep disini aja aku pernah loh, jagain yang rawat inap." jawab Runa.
"Udah lama kerja kayak gini, Run?"
"Belum mas, baru dua-" Runa buru-buru berdiri di depan Qian, melepas jaketnya dan menutup kepala Qian.
"Maaf mas!" Runa memegang lengan Qian dan membantu pemuda itu putar balik, "lewat jalan yang lain aja mas." ucapnya seraya berjalan cepat.
"Kenapa sih?"
"Ambulance, mas." jawab Runa seraya melepas jaketnya dari kepala Qian setelah melewati gedung IGD. Bukan tanpa alasan, Runa tak mau kliennya pingsan untuk kedua kalinya karena ambulance yang terparkir di depan IGD tadi sedang menunrunkan pasien yang nampaknya korban kecelakaan karena darah jelas bercucuran disana.
"Banyak darah. Takut mas Qian pingsan lagi." lanjutnya lirih.
"Makasih. Sorry ngerepotin."
"Nggak apa-apa mas, lagian juga aku kan di bayar."
"Nanti aku tambahin bonus deh. Aku seneng, kamu cepat tanggap. Akrab juga sama mama. Deal yah seminggu tiga kali."
"Wah beneran mas? siap banget seminggu tiga kali." jawab Runa, gembira.
"Iya."
"Nanti aku bantu cari cara supaya mas Qian nggak takut darah lagi deh."
"Nggak usah, kamu fokus ke mama aja."
"Nggak apa-apa, karena bayarannya lebih, pelayanannya juga harus lebih dong." jawab Runa dengan senyum menggembang.
Qian ikut tersenyum mendengarnya. Semudah itu membuat gadis di depannya tersenyum, padahal kerjaannya bertambah tapi kenapa ia begitu senang.
"Kak!" teriakan dari belakang sana membuat Qian menoleh. Mayra dengan seragam putih abunya berlari ke arahnya.
"Beneran kakak ternyata." gadis berambut panjang terurai itu sedikit terengah.
"Eh kak Runa..." ia beralih menatap Runa yang berada di samping kakaknya.
"Hai, adek Mayra!" sapa Runa.
"Kamu ngapain disini, dek? nggak sekolah?" tanya Qian, "kan kakak udah bilang, kamu fokus sekolah aja. Mama ada kakak sama papa juga."
"Adek salah jadwal, kebagian sesi tiga masuknya jam dua. Adek malah berangkat pagi, jadi kesini dulu deh mau lihat mama." jawab Mayra.
"Dasar! nggak fokus!" cibir Qian.
"Maklum mas, namanya juga orang tua lagi sakit, wajar kalo Mayra kurang fokus. Mau ditenang-tenangin juga pasti tetep khawatir. Iya kan, dek?" Runa memberi pengertian.
"Iya, kak." jawab Mayra pelan, "kak Runa kok bisa bareng kakak aku?"
"Kakak kerja sama kakak kamu." jawab Runa.
"Kak Runa kerjaannya nyediain jasa apapun, kebetulan kakak dapet rekomendasi dari mba Gita. Eh ternyata mama sama adek udah kenal duluan." jelas Qian.
"Iya, ini kak Runa yang adek ceritain itu loh kak." sepanjang jalan ke kantin Mayra terus memuji Runa tak ada habisnya. Bahkan saat makan pun mereka begitu akrab. Qian masih tak habis pikir, tadi pagi mamanya juga seakrab itu dengan Runa dan sekarang adiknya pun sama. Bagi orang yang tak tau pasti akan mengira Runa dan Mayra adalah kakak beradik sedang dirinya orang asing.