Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ruang makan keluarga Mahesa malam itu seperti medan perang yang penuh kegembiraan. Meja panjang terhampar dengan berbagai hidangan mewah sup buntut yang masih mengepul, udang goreng mentega, sate ayam, sampai kue lapis legit buatan Mama Tina sendiri. Lampu kristal besar memantulkan cahaya keemasan, membuat seluruh ruangan terlihat semakin elegan.
Mama Tina duduk di ujung meja dengan wajah berseri-seri. Di sampingnya, Tante anggun
Papa Ardian masuk bersama Tiwi, wajahnya tampak berbeda dari biasanya. Mama Tina yang tahu betul ekspresi suaminya langsung menyipitkan mata.
“Kenapa, Pa? Dari tadi kok senyum-senyum terus? Ada apa?”tanya mama Tina
Papa Ardian menaruh map berkas di meja, lalu melirik Tiwi sekilas sebelum menjawab, “Tidak ada apa-apa, Ma. Cuma… ternyata anak ini luar biasa.”
Tiwi buru-buru melambaikan tangan. “Aduh, jangan gitu dong, Om. Nanti aku jadi salah tingkah. Biasa aja, Tiwi kan orangnya humble.”
Mama Tina tertawa geli. “Humble apanya? Dari tadi mulutmu nggak berhenti ngoceh, Nak.”
Semua orang di meja makan ikut tertawa, membuat suasana jadi cair.
---
Setelah makanan mulai disantap, Mama Tina membuka pembicaraan. “Tiwi, Mama masih nggak percaya kamu bisa bikin Tristan sampai heboh begitu di rumah sakit. Ceritakan sama Mama, bagaimana awalnya kamu dekat dengan anak Mama?”
Tiwi, sambil mengunyah pelan ayam kecap, menepuk dada sendiri. “Awalnya sih gara-gara sticky note, Ma. Jadi setiap hari aku tulisin pesan-pesan kecil buat Dokter Vampir itu. Kayak, ‘Jangan lupa senyum’, atau ‘Jangan kerja sampai lupa istirahat’. Eh, lama-lama aku jadi keterusan, kayak punya hobi baru.”
Mama Tina langsung terharu. “Astaga… anak ini perhatian sekali. Lalu, Tristan suka?”
Tiwi mengangkat alis. “Suka kok, dia bilang tanpa sticky note milik Tiwi pasti sepi rasanya. Ekspresinya juga tetep dingin kayak freezer dua pintu. Tapi aku yakin di dalam hati dia meleleh.”
Semua orang di meja tertawa lagi. Papa Ardian bahkan hampir tersedak karena tidak kuat menahan tawa.
Namun tiba-tiba, Papa Ardian meletakkan sendoknya. Ia menatap mama Tina serius. “Ma, apa mama tau jika Tiwi ini seorang arsitek"
Suasana seketika hening. Mama Tina menoleh kaget. “Arsitek?!”
Tiwi tersenyum canggung, lalu menghela napas. “Iya, Ma, Pa… aku sebenarnya dulu arsitek di perusahaan Urban Edge Architects. Tapi… bosku kurang ajar. Dia suka melecehkan karyawan cewek. Aku lawan dia, bahkan sempat kubanting kursinya sampai terjungkal. Setelah itu… aku resign. Dari situ aku mutusin istirahat dulu, nyoba hal-hal baru. Eh, nggak sengaja malah nyangkut jadi ART.”
Mama Tina membulatkan mata. “Ya ampun! Anak pintar seperti kamu malah jadi ART? Dunia ini sudah gila!”
Tiwi buru-buru melambaikan tangan. “Jangan salah, Ma. Tiwi ini art limited edition, jadi ART itu seru loh! Aku bisa lihat sisi lain hidup, belajar sabar, belajar nggak gampang ngeluh. Lagian… kalau aku nggak jadi ART, aku mana bisa ketemu sama Dokter Vampir yang dinginnya ngalahin es di kutub utara itu.”
Papa Ardian tersenyum kecil. “Kamu istimewa, Nak. Sangat istimewa. Kamu bukan hanya pintar, tapi juga berani. Tidak banyak anak muda sepertimu.”
Tiwi menggaruk kepala. “Hehe… jangan bikin aku GR, Pa. Nanti aku susah tidur.”
"Ya ampun mas Tian, anakmu ini benar benar langka" ujar Tante anggun dalam hati
Di tengah kehangatan itu, suara mobil terdengar memasuki halaman. Semua orang menoleh ke arah jendela. Mama Tina langsung berdiri, wajahnya sumringah.
“Itu pasti Tristan! Wah, tumben sekali dia pulang kesini.”
Tiwi menegang. “Hah? Tristan pulang? Ya ampun, kenapa nggak bilang dari tadi, Ma? Aku kan belum siap mental ketemu di rumah orang tuanya. Aduh, gawat, aku masih ada nasi nyangkut di gigi nggak ya?”
Mama Tina menepuk bahu Tiwi. “Tenang saja. Justru ini kesempatan emas. Mama mau lihat ekspresi dia saat tahu kamu ada di sini.”
Pintu depan terbuka. Tristan masuk dengan jas dokter masih melekat di tubuhnya, wajahnya lelah tapi tetap tampan dengan aura dingin yang selalu membuat semua orang segan. Begitu melangkah ke ruang makan, matanya langsung tertuju pada sosok yang paling tidak ia sangka akan ada di sana.
“Tiwi?!” suaranya penuh keterkejutan.
Tiwi langsung berdiri dengan wajah kikuk, melambai pelan. “Hai, Dok… surprise!”
Mama Tina tepuk tangan riang. “Tadaa! Mama undang pacarmu makan malam di sini. Romantis, kan?”
Tristan membeku di tempat. “Pacar…? Mama, ini salah paham.”
“Tidak ada salah paham!” potong Mama Tina cepat. “Mama sudah dengar semua dari gosip rumah sakit. Kamu punya hubungan sama Tiwi. Dan Mama setuju seratus persen!”
Tristan menutup mata, menahan napas. Ia merasa seluruh dunianya jungkir balik. “Astaga…”
Tiwi mencoba mencairkan suasana. “Eh, Dok, jangan marah, ya. Aku juga kaget kok tiba-tiba diculik Tante Anggun ke sini. Tapi ya sudahlah, udah terlanjur masuk rumah calon mertua —eh, maksudnya rumah mama tina”
Papa Ardian terkekeh. “Anak ini benar-benar tidak ada takutnya.”
----
Makan malam pun berlanjut, meski Tristan duduk dengan wajah masam. Sesekali ia melirik Tiwi yang tampak sangat akrab dengan kedua orang tuanya.
“Tiwi ini hebat sekali, Nak,” ujar Mama Tina sambil menatap Tristan. “Kamu beruntung punya dia. Mama nggak pernah lihat ada gadis yang bisa bikin Papa kamu tertawa sebegitu lepasnya.”
Tristan mendengus. “Mama, tolong jangan berlebihan. Tiwi ini… hanya asisten rumah.”
Tiwi yang sedang minum sup hampir tersedak. “Asisten rumah yang limited edition, ya!”
Papa Ardian ikut bicara. “Tristan, jangan remehkan dia. Barusan saja dia menemukan kesalahan fatal dalam desain rumah sakit baru. Bahkan konsultan arsitektur tidak ada yang menyadarinya. Papa sendiri kagum.”
Tristan melirik Tiwi, matanya membulat. “Kamu… arsitek?”
Tiwi mengangguk kecil. “Iya, dulu. Sekarang sih lebih ke… arsitek dapur sama sticky note.”
Tristan terdiam lama. Ada sesuatu di dadanya yang bergolak. Rasa kagum, rasa kesal, dan entah apa lagi bercampur jadi satu.
---
Setelah makan malam selesai, Mama Tina menggandeng tangan Tiwi erat-erat. “Nak, kamu jangan jauh-jauh dari keluarga ini, ya. Mama sudah anggap kamu anak sendiri.”
Tiwi terharu, tapi mencoba bercanda. “Waduh, jangan gitu Ma, nanti Tristan tambah stres punya adik dadakan kayak aku.”
“Adik apanya!” seru Mama Tina. “Kamu calon istri!”
Tristan yang baru saja keluar dari ruang makan langsung menoleh, wajahnya memerah. “Mama!”
Semua orang tertawa. Hanya Tristan yang benar-benar merasa kepalanya mau pecah. Setelah itu Tiwi dan Tante Anggun pamit pulang.
Sedangkan di kamar pribadinya Tristan malam itu, ia tidak bisa tidur. Kata-kata Papa dan Mama terus terngiang. Tentang Tiwi, tentang keberaniannya, tentang kecerdasannya.
Dan untuk pertama kalinya, Tristan mengakui dalam hati, Tiwi memang spesial limited edition
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥