Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 (Part 1)
Malam itu, di bawah lampu meja makan yang hangat, Bunga dan Arga bekerja berdampingan. Bukan lagi sebagai 'suami-pura-pura' atau 'kakak-adik'.
Mereka adalah tim. Dan Bunga, tanpa sadar, mulai mengandalkan satu anggota timnya jauh lebih banyak daripada yang seharusnya. Ia tidak tahu bahwa setiap bimbingan, setiap pujian, setiap bantuan teknis, adalah sebuah benang tak kasat mata yang perlahan-lahan mengikatnya, membuatnya semakin bergantung pada Arga. Bukan dengan paksaan, tapi dengan kekaguman.
Rutinitas 'Jam Bimbingan' dengan cepat menjadi bagian paling Bunga nantikan setiap harinya. Apartemen lantai 21 itu tidak lagi terasa dingin dan kosong. Setiap pukul delapan malam, meja makan mereka bertransformasi menjadi studio arsitektur mini yang hidup.
Aroma kopi—Arga selalu membuatkan dua cangkir, satu hitam pekat untuknya, satu latte instan untuk Bunga—bercampur dengan suara gesekan pensil di atas kertas dan ketukan keyboard. Keheningan di antara mereka bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang berisi pemahaman dan fokus bersama.
Dampak dari bimbingan intensif itu terasa nyata di kampus. Bunga, yang awalnya hanya mahasiswi baru yang rajin, perlahan berubah menjadi bintang di kelasnya.
"Gila, Bunga," kata Vina suatu hari, menatap takjub pada maket tugas pertama Bunga yang dibuat dengan presisi luar biasa. "Ini rapi banget! Lo belajar dari mana bikin sambungan serapi ini?"
"Lihat Youtube," bohong Bunga. Ia tidak mungkin bilang, "Oh, tadi malam Mas Arga ngajarin aku cara motong styrofoam biar nggak miring pakai cutter panas."
Bahkan Profesor galak mata kuliah STA, yang terkenal pelit pujian, memberikan Bunga nilai A untuk tugas Parthenon-nya. "Gambar tiangmu... 'hidup'," komentarnya singkat, sebuah pujian yang membuat Bunga melambung sepanjang hari.
Bunga tahu, semua itu tidak akan terjadi tanpa Arga. Laki-laki itu seperti kamus berjalan. Ia bisa menjelaskan konsep serumit golden ratio dengan analogi kotak martabak. Ia bisa menunjukkan cara membuat bayangan pada gambar hanya dengan memiringkan arsiran pensil.
Setiap malam, kekaguman Bunga pada Arga tumbuh. Ia tidak hanya melihatnya sebagai pelindung, tapi juga sebagai seorang jenius. Dan kekaguman itu... berbahaya. Itu membuat sosok Reza yang mempesona mulai terlihat sedikit... pucat.
Reza masih rutin mengiriminya pesan.
[Kak Reza (BEM)]
Melati, tim suka banget sama desainmu. Kapan kita bisa meeting lagi buat detailnya?
Bunga, yang kini sudah terlatih, membalas dengan jurus andalannya.
[Bunga]
Saya bisanya diskusi di perpus aja, Kak. Pas jam istirahat atau setelah kelas. Soalnya malam saya harus 'bimbingan' sama wali saya.
Ia sengaja menggunakan kata 'bimbingan', seolah-olah walinya adalah dosen privat yang sangat ketat.
[Kak Reza (BEM)]
Wali kamu itu dosen, ya? Ketat banget jadwalnya. Oke deh. Nanti saya samperin kamu di perpus.
Reza tidak menyerah. Ia akan muncul di perpustakaan saat Bunga sedang mengerjakan tugas, atau mencegatnya di depan kelas. Ia selalu ramah, selalu memuji, dan selalu mencoba mencari celah untuk mengajaknya keluar.
"Melati, hari Sabtu ada acara BEM di Puncak. Bakti sosial. Kamu ikut, ya? Sekalian kita bisa survei lokasi taman baca yang lain."
Bunga, dengan berat hati, harus menolaknya. "Maaf, Kak. Sabtu jadwal bersih-bersih apartemen. Eh, kost. Wali saya nggak kasih izin kalau kewajiban saya belum selesai."
Setiap penolakan Bunga selalu logis, selalu sopan, dan selalu membawa-bawa nama sang "wali galak". Reza semakin penasaran. Siapa sebenarnya sosok misterius yang begitu mengendalikan gadis brilian ini?
Bagi Bunga, Arga telah menjadi alasannya yang paling nyaman. Ia tidak perlu lagi merasa bersalah saat menolak Reza. Ia hanya perlu berkata, "Wali saya tidak mengizinkan." Sederhana. Aman.
Hampir sebulan berlalu sejak OSPEK. Proyek taman baca BEM memasuki tahap serius. Desain Bunga—yang tentu saja telah disempurnakan di bawah pengawasan Arga—disetujui sepenuhnya oleh tim.
Suatu sore, saat Bunga dan Vina sedang makan bakso di kantin, Reza menghampiri meja mereka. Wajahnya terlihat sangat antusias.
"Melati!" sapanya. "Ada kabar super bagus!"
"Apa, Kak?"
"Proposal kita... disetujui oleh salah satu perusahaan developer besar sebagai bagian dari program CSR mereka!" kata Reza, matanya berbinar. "Dan mereka mau kita presentasi di depan tim mereka. Lusa. Hari Jumat."
Bunga nyaris tersedak kuah bakso. "Presentasi... di depan perusahaan?"
"Iya! Ini kesempatan besar!" kata Reza. "Dan mereka mau dengar langsung dari desainer utamanya. Kamu."
Vina memekik tertahan. "Gila, Bunga! Keren banget!"
Jantung Bunga berdebar kencang. Ini bukan lagi sekadar proyek mahasiswa. Ini... profesional.
"Kapan, Kak? Jam berapa?"
"Jumat, jam empat sore. Di kantor mereka. Tenang, nggak jauh dari sini," kata Reza. "Tim BEM yang lain juga ikut. Kamu harus ikut. Ini momenmu buat bersinar."
Ini adalah undangan yang tidak bisa Bunga tolak. Ini bukan ajakan ngopi. Ini adalah kesempatan karier.
"Saya... Saya ikut, Kak," katanya mantap.
"Yes!" Reza mengepalkan tangannya. "Bagus! Nanti saya kirim detail alamat dan materinya. Kamu siapkan saja penjelasan soal konsep desainmu."
Reza menepuk bahu Bunga pelan. "Saya tahu kamu pasti bisa. Saya bangga banget sama kamu."
Pujian tulus itu, di tengah kantin yang ramai, membuat wajah Bunga memerah.
Malam itu, 'Jam Bimbingan' mereka terasa berbeda.
"Mas," Bunga memulai, suaranya sedikit tegang. Ia meletakkan pensilnya dan menatap Arga lurus-lurus. "Hari Jumat sore, Bunga ada... presentasi."
Arga mendongak dari laptopnya, alisnya terangkat. "Presentasi tugas?"
"Bukan. Presentasi proyek BEM itu," jelas Bunga. "Di depan... perusahaan developer."
Arga berhenti mengetik. Ia melepaskan kacamatanya—kacamata baca yang baru Bunga tahu ia pakai saat bekerja larut malam—dan meletakkannya di meja. Ia memberikan perhatian penuhnya pada Bunga.
"Developer mana?" tanyanya, suaranya serius.
"Bunga belum tahu namanya, Kak Reza belum kirim detailnya."
Arga mengangguk pelan. "Oke. Jam berapa?"
"Jam empat sore, Mas."
"Di kantor mereka?"
"Iya."
Arga bersandar di kursinya, matanya memindai wajah Bunga. Gadis itu terlihat gugup, tapi juga bersemangat.
"Bagus," kata Arga.
Bunga terkejut. "Bagus?"
"Iya. Itu kesempatan yang sangat bagus buat kamu," kata Arga, nadanya profesional. "Pengalaman presentasi di depan klien sungguhan itu mahal harganya. Kamu harus ambil."
Bunga bernapas lega. Ia pikir Arga akan mempersulitnya.
"Tapi..." lanjut Arga.
Bunga menahan napas.
"Kamu belum pernah presentasi profesional, kan?" tanya Arga.
"Belum, Mas."
"Oke." Arga kembali memasang kacamatanya. Ia menutup laptop kerjanya dan memutarnya ke samping. "Geser gambar Parthenon-mu. Malam ini dan besok malam, 'Jam Bimbingan' kita ganti jadi 'Latihan Presentasi'."
Bunga melongo. "Eh?"
"Mas nggak mau kamu mempermalukan diri sendiri," kata Arga datar. "Dan Mas nggak mau desain yang sudah kita pikirkan bareng-bareng itu disampaikan dengan cara yang buruk."
Kita. Kata itu terdengar begitu manis di telinga Bunga.
"Kamu buat slide presentasinya sekarang. Mas mau lihat," perintah Arga.