Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Tap… tap… tap…
Suara langkah itu bergema lembut di sepanjang koridor marmer yang diterangi cahaya bulan. Bayangan panjang menari di dinding, mengikuti setiap langkah wanita bertopeng rubah perak itu. Gaunnya berwarna hitam kemerahan dengan detail renda halus di tepi bawah, bergerak seirama dengan langkahnya yang mantap namun sunyi.
Di ujung lorong, berdirilah sebuah pintu besar berukir naga berbelit, simbol keluarga Dragunov yang hanya dibuat untuk kamar utama. Wanita itu berhenti di sana. Ujung jarinya menyentuh permukaan kayu yang dingin, menelusuri ukiran kepala naga yang seolah hidup di bawah cahaya biru bulan.
Lalu dengan satu dorongan perlahan Krekkk...Pintu terbuka.
Udara malam masuk dari jendela besar yang setengah terbuka. Tirai panjang berayun perlahan, menimbulkan suara lirih seperti napas seseorang yang menahan tangis. Di tengah ruangan, di atas ranjang pengantin yang megah, Apollo terbaring seorang diri. Wajahnya tenang, napasnya berirama, dada bidangnya naik turun di bawah kemeja tidur satin abu gelap.
Wanita itu melangkah mendekat. Setiap langkah terasa seperti pergeseran waktu , antara masa kini dan masa lalu yang saling tumpang tindih di pikirannya. Ia berdiri di sisi ranjang, memandangi wajah lelaki itu dari jarak hanya satu lengan.
Topeng rubah peraknya memantulkan sedikit cahaya bulan, memperlihatkan garis rahang dan sorot mata yang tajam. Tangannya perlahan terulur, melepas topeng rubah perak itu dari wajahnya. Tatapan matanya masih terarah ke pada Apollo
“Aku mencarimu selama bertahun-tahun lamanya…” bisiknya pelan, suaranya bergetar halus namun menyimpan luka yang dalam.
“Dan akhirnya aku menemukanmu.”
Ia menunduk, napasnya jatuh di atas udara yang sama dengan yang dihirup Apollo.“Tapi entah kenapa setiap kali aku melihat matamu, aku tidak punya kekuatan untuk melukaimu.”
Jari-jarinya bergetar, hampir menyentuh kulit pria itu , namun berhenti. Di antara mereka hanya ada jarak sehelai rambut.Hening kembali menyelimuti kamar. Bulan perlahan tenggelam di balik awan, meninggalkan keduanya dalam cahaya biru pucat.
Wanita itu menarik napas panjang, kemudian berbisik lagi ,lebih pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri: “Apa kau sungguh tidak mengingatku, Apollo?"
Namun Apollo tetap diam, tertidur. Tapi di detik itu, jemarinya bergerak sedikit… seolah mendengar suara itu entah dalam mimpi atau di kedalaman kesadarannya.
Wanita bertopeng itu mundur perlahan, lalu berbalik arah. Sebelum melangkah pergi, ia meninggalkan sesuatu di meja kecil di sisi ranjang, sebuah kalung tua dengan liontin berbentuk serpihan kaca, masih berlumur sedikit noda darah kering.
“Jika kau melihat ini… kau akan tahu siapa yang seharusnya berdiri di sisimu malam ini.”
Pintunya kembali tertutup perlahan. Dan kamar itu kembali sunyi, hanya menyisakan suara napas Apollo dan bayangan wanita bertopeng rubah yang tertinggal di pantulan kaca jendela.
Pintu kamar yang baru saja tertutup masih bergetar sedikit, menyisakan aroma samar parfum dan udara dingin yang dibawa wanita bertopeng tadi.
Untuk beberapa detik, ruangan benar-benar sunyi.Lalu ,cdi antara tirai yang bergoyang lembut dan cahaya bulan yang menembus kaca, sepasang mata terbuka. Apollo.
Tatapannya tajam, berkilat dingin di balik rambutnya yang berantakan di atas bantal putih. Tidak ada tanda-tanda kantuk di sana , hanya ketenangan yang berlapis waspada. Ia tidak benar-benar tidur sejak awal.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh bekas tempat wanita itu berdiri tadi. Lalu pandangan nya berpindah ke meja samping tempat tidur… ke arah kalung yang baru saja ditinggalkan.
Liontin berbentuk serpihan kaca itu berkilau pucat terkena cahaya bulan, dan noda darah kering di ujungnya membuatnya tampak seperti kenangan yang kembali menuntut perhatian. Apollo mengulurkan jari, menyentuhnya.
“Hmph…” ia mendecak pelan, senyum sinis muncul di bibirnya.Kemudian, dengan suara rendah namun tegas,
Ia duduk perlahan, menegakkan tubuhnya, lalu menatap kalung itu lagi. Bayangan matanya berubah dari dingin menjadi tajam seperti mata elang yang menemukan mangsanya.
“Sudah kuduga, itu kau.....” gumamnya sambil menatap pintu yang kini tertutup rapat.
“Aku ingin tahu… sejauh mana kau akan bermain " Nada suaranya rendah, nyaris seperti ancaman yang disembunyikan di balik ketenangan.
Senyumnya melebar sedikit, tapi bukan senyum gembira, melainkan seperti seseorang yang akhirnya melihat potongan puzzle yang ia tunggu-tunggu muncul di hadapannya .
Apollo menyandarkan diri ke kepala ranjang, mengangkat gelas wine di meja, meneguknya perlahan tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Cahaya bulan menyorot wajahnya setengah, menciptakan garis tegas antara sisi manusia dan sisi predator yang mulai bangkit kembali dalam dirinya.
Dan di luar sana…
angin membawa suara ranting yang bergesekan. Samar, seolah ada langkah kaki lain yang menjauh di sepanjang koridor.
Apollo menatap langit malam dari balik jendela dan bergumam pelan,“Aku hanya ingin tahu apa alasanmu memasuki hidupku dengan berpura - pura menjadi wanita Idiot ".
...****************...
Sementara itu, di halaman belakang mansion Dragunov, malam telah benar-benar jatuh.
Salju menutupi rerumputan, dan hanya suara air mancur batu yang membeku sebagian mengisi keheningan. Di bawah cahaya bulan yang pucat, dua sosok wanita berdiri berhadapan di antara bayangan pepohonan pinus.
Keduanya nyaris identik. Tubuh ramping, rambut panjang berkilau perak kebiruan, dan wajah seperti cermin yang memantulkan satu sama lain.
Hanya perbedaan kecil yang membedakan mereka: satu mengenakan topeng rubah silver, satunya lagi wajahnya terbuka dengan senyum tenang dan mata yang berkilau lembut.
Udara di antara mereka terasa tegang, seperti benang halus yang siap putus kapan saja.
Wanita bertopeng berkata dingin, suaranya serak namun tajam seperti bilah kaca:
“Kau punya waktu satu tahun untuk melenyapkan pria itu.”
Angin meniup rambut keduanya, membuat bayangan mereka bergoyang di tanah bersalju.Wanita tanpa topeng menatap balik, senyumnya samar, bukan perlawanan, melainkan sesuatu yang lebih dalam: iba.
Ia melangkah setengah langkah maju, memandangi kembarannya dari dekat.
“Bagaimana jika dalam waktu satu tahun,” ujarnya lembut, “aku tidak melenyapkannya… tapi justru mengobati lukanya?”
Tatapan di balik topeng rubah berubah tajam, seolah kata-kata itu adalah penghinaan. “Kau tahu apa yang dia lakukan. Kau tahu darah siapa yang menodai tangannya.”
Wanita yang tanpa topeng menunduk sedikit.
“Aku tahu,” jawabnya lirih. “Tapi aku juga tahu, kadang orang berdosa bukan karena ingin, tapi karena terluka.”
Hening.
Bulan di langit tampak redup di balik awan tipis.Wanita bertopeng menggenggam sesuatu di balik jubahnya, sebuah pistol tradisional Jepang, senjata yang beberapa malam sebelumnya sempat diarahkan pada Apollo.
“Kau mulai terdengar seperti mereka,” katanya dingin. “Seperti orang yang sudah lupa tujuan.”
Namun wanita tanpa topeng hanya tersenyum, senyum yang nyaris menyedihkan. “Mungkin memang itu tujuanku sekarang. Bukan untuk membalas… tapi untuk memahami apa yang benar-benar terjadi malam itu.”
Wanita bertopeng rubah itu menatapnya lama, napasnya berat.Lalu perlahan, ia melangkah mundur, membiarkan salju berderak di bawah sepatunya.“Kau akan menyesal suatu hari nanti ”
" Mungkin,” jawab yang tanpa topeng. “Tapi jika menyesal, berarti aku bisa memaafkan… aku siap menanggungnya.”
Hening kembali menyelimuti halaman.Wanita bertopeng menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan sosok yang masih berdiri di bawah cahaya bulan. Wanita tanpa topeng itu menunduk ke bawah, melihat topeng rubah silver sama yang tadi sempat dia lepas.
Ia menatap ke arah jendela lantai dua, tempat cahaya kamar Apollo masih menyala.Dan dengan suara hampir tak terdengar, ia berbisik:
“Aku akan mengobatimu, meski harus menukar seluruh hidupku.”
Salju turun semakin deras malam itu.Seolah langit sendiri tahu,permainan di antara cinta, dendam, dan rahasia baru saja dimulai.
...****************...
Uap putih masih memenuhi udara kamar itu.
Dari balik pintu kamar mandi yang setengah terbuka, samar-samar terdengar suara gemericik air yang baru saja berhenti. Suara senandung lirih, nyaris seperti bisikan, melayang bersama aroma sabun mawar dan bunga Chamomile yang lembut.
Apollo berdiri di dekat jendela besar yang sebagian tirainya terbuka.Cahaya bulan masuk, menyapu wajahnya yang dingin, memantulkan sorot mata yang kelam, tajam, tapi entah kenapa tampak lelah.
Pintu kamar mandi berderit pelan.Lyora keluar, melangkah tanpa alas kaki di atas karpet lembut.Rambutnya masih basah, sisa hair spray pernikahan masih terlihat dalam bentuk ikal yang kaku di ujungnya. Ia memegang handuk kecil, mengeringkan rambutnya perlahan, gerakannya tenang tapi matanya tampak sayu.
Apollo memutar tubuh, menatapnya lama tanpa bicara.Tatapan itu bukan tatapan suami yang baru menikah, melainkan tatapan seseorang yang berusaha menebak siapa sosok di depannya.“Jadi ini,” ucapnya akhir nya, suaranya dalam, sedikit serak, “kau menikmati permainanmu?”
Lyora menghentikan langkahnya.Ia menatap Apollo, tidak membantah, hanya menatap dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.
“Permainan apa?” jawabnya pelan. “Aku hanya mandi. Dan pengatur suhu airnya rusak. Air yang keluar terlalu dingin.”
Apollo berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di hadapannya.Ia menatap handuk di tangan Lyora, lalu menatap wajahnya yang sebagian tertutup rambut basah. “Kau memencet yang biru. Bukan yang merah.”
Lyora mengangkat kepalanya sedikit, tersen yum samar, senyum yang tidak sepenuhnya tulus, lebih seperti refleks seseorang yang sudah terlalu sering menutupi luka dengan tawa. “Salah,” katanya dengan nada tenang. “Aku memencet yang oranye.”
Keheningan menggantung di udara.Uap di ruangan mulai menipis, tapi hawa dingin justru terasa lebih menusuk.Tetes-tetes air jatuh dari rambut Lyora, satu per satu, menodai karpet di bawah kakinya.
Apollo menarik napas panjang, kemudian menatap keluar jendela, ke arah halaman yang tertutup salju.“Kau benar-benar menikmati membuatku bingung,” ujarnya setengah berbisik
Lyora menunduk, mengusap sisa air di ujung rambutnya.“Tidak. Aku hanya tidak ingin membeku,” balasnya lembut. “Dan air oranye itu, setidaknya, memberi sedikit hangat walau sebentar.”
Apollo menatapnya lagi, kali ini lebih dalam.
Ada sesuatu di matanya, campuran getir, rindu, dan keengganan untuk percaya.
Ia ingin bertanya: siapa kau sebenarnya?
Apakah kau benar-benar Lyora, atau sosok lain yang memakai wajahnya?
Tapi bibirnya tak sanggup bergerak.
Yang keluar hanya kalimat singkat, hampir tak terdengar: “Kalau begitu… tetaplah hangat, Lyora.”
Lyora tersenyum kecil. Tatapannya beralih pada pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan.“Hangat itu hanya ilusi, Apollo,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri. “Bahkan air oranye pun bisa berubah jadi dingin kalau terlalu lama dibiarkan.”