Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang CEO vs Sang Paman
Liora menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah cepat, napasnya memburu dan jantungnya berdebar kencang. Matanya tertuju pada satu tujuan: UGD. Setiap derap langkahnya dibayangi wajah Salwa, memacunya untuk segera tiba. Di belakangnya, Xavier mengikuti dengan langkah mantap namun terkendali, berupaya mengimbangi kecemasan Liora.
Figur Akmal yang berdiri di depan pintu UGD langsung menarik perhatian Liora. Tanpa ragu, ia mendekatinya.
“Paman… Salwa? Bagaimana kondisinya? Putriku kenapa?!” serunya, tangannya terulur hendak membuka pintu UGD.
Akmal dengan cekatan menahan tangan Liora, menghalanginya masuk.
“Sabar, Liora. Kita tidak diizinkan masuk. Dokter sedang berupaya,” ucap Akmal pelan, seraya mengarahkan Liora menuju kursi terdekat dan menggenggam jemarinya erat, berupaya meredakan gundahnya.
“Kenapa Salwa bisa seperti ini? Ya Tuhan… aku cuma memberinya nasi dan ikan kaleng… bukankah itu nutrisi yang cukup? Mungkinkah Salwa alergi ikan…?” Liora bertanya dengan nada panik yang kian menjadi. Sorot matanya memancarkan kebingungan.
Akmal menggeleng pelan, tatapannya menajam ke arah Liora.
“Liora, separah apa hilangnya ingatanmu sampai makanan kucing saja tidak bisa kau bedakan dari sarden?” Nada suaranya bercampur antara bingung, cemas, heran, dan sedikit takut kalau ada masalah yang lebih serius.
“Maksud Paman…?” Liora menatap kosong, wajahnya pucat dan linglung.
Akmal menarik napas panjang, seolah kata-kata yang hendak diucapkannya berat untuk diucapkan.
“Liora… kau tadi memberikan makanan kucing ke Salwa. Anak normal saja bisa bahaya, apalagi Salwa.” Nada suaranya melembut, penuh kekhawatiran. “Salwa itu anak berkebutuhan khusus. Badannya jauh lebih sensitif.”
Liora menunduk. Senyum miris terbit, menyedihkan dan rapuh.
“Maaf… aku memang ibu yang payah.” Air matanya mulai jatuh. “Aku nggak ingat apa-apa… bukan… aku memang nggak tahu apa-apa. Aku nggak lupa karena aku bukan Liora. Aku cuma gadis miskin yang tahunya cuma tanah sama cangkul…”
Akmal sontak panik. Ia langsung menarik Liora ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggung gadis itu dengan cemas.
“Hei, dengerin Paman.” Suaranya goyah tapi tegas. “Kamu bukan ibu yang payah. Kamu cuma kecapean. Kamu berjuang sendirian. Nggak ada ibu yang sempurna, tapi kamu tetap bertahan. Itu udah lebih dari cukup.”
“Paman… aku beneran bukan Liora yang asli.” Liora tersendat. “Maksudku… aku ini Liora, tapi bukan keponakan Paman yang beneran.”
Akmal mengangguk cepat, jelas menganggap itu semua sebagai bentuk frustrasi, bukan sesuatu yang aneh-aneh.
“Iya. Kamu Liora. Dan kamu memang bukan keponakan Paman.” Ia menegaskan itu sambil menatapnya dalam-dalam. “Tapi itu nggak penting sekarang. Yang penting kamu ada dan Salwa selamat.”
Belum sempat suasana tenang sepenuhnya, suara berat memotong.
“Yang jelas, anaknya Liora bukan anakmu.”
Sosok itu berdiri—seorang pria dengan wajah yang terlalu tampan, sampai-sampai Akmal tidak menyukainya.
“Ngapain kamu ke sini?” Suaranya tidak senang.
Xavier, dengan gaya angkuhnya, berdiri seperti patung mahal yang nyasar ke tempat kumuh. Ia menarik kursi plastik biru yang sudah pudar warnanya, menatapnya seolah jijik. Setelah puas menghina kursi itu dalam diam, matanya melirik deretan kursi panjang di dinding.
“apa ada yang lebih layak ?” tanyanya sambil menunjuk kursi itu dengan ujung jari lentiknya. Ia tampak bersiap untuk meminta kursi yang lebih baik, namun—
“Tuan, bisa Tuan duduk saja?” tegur Akmal geram.
Xavier tersenyum, lalu mendekat ke sisi Liora.
Mereka duduk berdesakan; Akmal sudah setengah siap menendang makhluk tampan itu keluar dari frame hidupnya kalau bukan karena sedang di rumah sakit.
Dengan santai seolah suasana tidak sedang genting, Xavier mengeluarkan sapu tangan sutranya. Gerakannya pelan, nyaris lembut, kontras dengan mulutnya yang biasanya setajam silet.
Ia mengusap air mata Liora, ujung jarinya dingin tapi presisi. “Jangan menangis,” gumamnya, seolah menegur. “Bedak taburmu jadi luntur.”
Liora mengangguk patuh, mengambil sapu tangan itu. Ia mengusap semua air mata, lalu sekalian keringat di leher, bahkan sedikit bekas debu di pipi. Setelah merasa cukup bersih, ia dengan tenang menyodorkan sapu tangan bermerek mahal itu kembali ke tangan Xavier.
“…ini.”
Xavier mematung. Pandangannya turun ke sapu tangannya sendiri yang kini tampak seperti kain pel. Rahangnya mengencang pelan, bibirnya menarik garis tipis seperti orang menahan trauma baru.
Keheningan canggung itu belum sempat dipecahkan oleh siapa pun ketika tiba-tiba pintu UGD terbuka perlahan, membiarkan cahaya putih menyilaukan dari dalam ruangan tumpah ke lorong beraroma obat yang menyengat.
Seorang perawat muncul, wajahnya tampak lelah namun tetap menyunggingkan senyum profesional.
“Keluarga pasien Salwa? Silakan masuk,” ujarnya sambil mengarahkan pandangannya pada Liora dan Akmal.
“Iya, saya,” jawab Liora cepat, seolah takut kesempatan itu ditarik kembali. Ia bergegas bangkit dan masuk, diikuti oleh dua pria di belakangnya. Akmal melangkah dengan ragu namun protektif, sementara pria satunya bergerak seperti bayangan gelap yang berusaha tidak menabrak perawat.
Begitu melewati tirai putih, hawa dingin langsung menusuk kulit. Bau alkohol dan obat-obatan semakin kuat. Salwa kecil terbaring lemah di ranjang mungil, lengan kurusnya dipasangi infus yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ringkih. Selang oksigen terpasang di hidungnya, dadanya naik turun cepat seolah sedang berjuang untuk bernapas.
“Salwa…” Liora mendekat, suaranya bergetar getir. Jemarinya meraih tangan mungil itu, menggenggamnya lembut namun penuh keputusasaan. Dinginnya ruang UGD membuat tubuh Salwa terasa semakin ringkih.
Kelopak mata balita itu berkedut lemah, belum mampu terbuka sempurna. Napasnya tersengal.
Dokter Jonatan menoleh, mendapati Xavier berdiri di sampingnya. Alisnya terangkat sekilas sebelum kembali datar. Pandangannya beralih pada Liora dan Akmal, bibirnya tertarik tipis, menahan senyum yang terasa kurang pantas di situasi ini.
“Masa kritisnya sudah lewat,” ucapnya dengan nada meyakinkan. “Kami sudah mengatasi kejang dan muntah akibat keracunan makanan. Kondisinya stabil, namun perlu observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada komplikasi.”
Ia menatap ketiga orang dewasa itu sejenak, memastikan pesan yang ia sampaikan diterima dengan baik.
Xavier mendongak sedikit. “Pindahkan ke ruang VVIP.”
Jonatan mengerjap. Dua kali. “Di rumah sakit ini tidak ada ruang VVIP, Tuan. Kelas tertinggi adalah VIP.”
Xavier menghela napas pendek, layaknya seorang hartawan yang kecewa terlahir di dunia dengan fasilitas yang kurang memadai. “Kalau begitu, pindahkan ke ruang terbaik yang ada. Asalkan tidak seperti kandang, saya setuju.”
Akmal menatapnya lekat. Jika saja mereka tidak berada di rumah sakit, mungkin kursi plastik di dekatnya sudah melayang menghantam kepala pria itu.
Xavier belum selesai. “Di ruang VIP ada sofa, bukan?”
“Ada,” jawab Jonatan dengan kesabaran yang benar-benar diuji Tuhan. “Sofa yang bersih dan nyaman.”
Xavier mengangguk, akhirnya tampak puas dengan keputusannya.
Namun, semua perdebatan tentang ruang VIP itu tidak sedikit pun menarik perhatian Liora. Pikirannya terlalu penuh dengan rasa bersalah dan cemas akan kondisi Salwa. Ia menunduk, mengecup dahi putrinya yang terasa hangat. Air mata kembali mengalir.
“Maafkan Mama, Sayang… Mama janji akan lebih hati-hati. Cepat sembuh, ya…” bisiknya seraya mengelus rambut tipis Salwa.
Akmal mendekat dan mencium pipi balita itu dengan sayang. Jarak yang terlalu dekat membuat posisinya sekilas terlihat seolah ia juga mencium Liora.
Xavier terkejut. Tanpa berpikir panjang, ia menarik Liora mundur. Gerakannya refleks, cepat, dan jelas bukan tindakan yang direncanakannya.
Liora terperanjat. “Kenapa…?”
Akmal menatapnya dengan sorot mata menusuk. “Apa maumu?”
Xavier berdiri tegak, rahangnya menegang, tatapannya tajam.
“Tindakanmu tadi sangat tidak sopan,” ucapnya datar, sedingin es, seolah Akmal baru saja melakukan kejahatan besar di depan mata semua orang.
Akmal berusaha menahan diri. Nada suaranya meninggi, namun masih terkendali. “Kau…”
Xavier memotong. “Jaga sikapmu. Di sini banyak orang. Jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman.”
kamu bikin karakter ibu kok gini amat Thor......
penyakit apa itu.....
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....