Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12
Dua minggu sudah Alea terbaring di rumah sakit. Luka di tubuhnya mungkin mulai pulih, tapi luka di hatinya masih membekas. Hari ini, dokter akhirnya mengizinkannya pulang.
Begitu mendengar kabar itu, Faizan memutuskan untuk pindah ke apartemennya. Ia tidak ingin keberadaannya membuat Alea kembali terjerat trauma yang belum selesai ia hadapi.
“Selamat datang, Nyonya Alea,” sapa Bi Iyem dengan senyum ramah yang berusaha mencairkan suasana.
Alea hanya membalas dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat. Langkahnya perlahan menapaki lantai rumah itu, matanya menelusuri setiap sudut ruangan.
Dan di sanalah kenangan itu menyeruak begitu saja—kenangan pahit saat hidupnya berubah dalam sekejap, saat kesuciannya direnggut oleh Faizan dengan cara yang tak seharusnya.
Hatinya bergetar. Rumah ini menyimpan terlalu banyak luka.
Alea berdiri di tengah ruangan, Meski udara siang itu cukup hangat, dingin yang merambati hatinya tak kunjung pergi.
Bi Iyem memandangnya dengan iba. “Nyonya, kalau mau istirahat di kamar, sudah saya siapkan. Selimutnya pun baru diganti,” ucapnya lembut, berusaha memberi rasa nyaman.
Alea mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kakinya melangkah perlahan, didampingi Ibu Maisaroh, menuju kamar yang dulu menjadi saksi bisu semua kepedihannya.
"Siapkan makan siang untuk menantu saya," ujar Ibu Maisaroh sambil melangkah. Bi Iyem mengangguk patuh.
Pintu kamar itu terbuka—dan seketika dadanya terasa sesak. Di luar kamar, Ibu Maisaroh berdiri mematung. Sejak Alea pulang, setiap gerakan Alea, dan ekspresi di wajahnya, membuat hatinya digelayuti rasa bersalah yang tak pernah reda. Ia tahu, apa pun yang dilakukan putranya waktu itu tak akan mampu menghapus lukanya.
Alea duduk di tepi ranjang. Jemarinya menyentuh sprei yang baru diganti. Meski bersih dan wangi, memori kelam itu tetap saja muncul. Air matanya jatuh tanpa suara.
Dalam benaknya, Ibu Maisaroh berjanji pada dirinya sendiri: apa pun yang terjadi, ia akan menebus kesalahan putranya. Meski mungkin, kata maaf dari Alea tak akan pernah datang.
---
Di tempat lain, di apartemennya, Faizan termenung di balkon kamar. Pikirannya penuh dengan bayangan tentang Alea yang kini semakin membaik. Ia ingin muncul di hadapannya, tapi ada ketakutan yang menahan langkahnya. Baginya, luka Alea belum sepenuhnya sembuh—bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati.
"Bro, sedang apa kau di situ? Cepatlah, sebentar lagi kita meeting. Mereka sudah menunggu di Restoran X," seru Fandi dari ruang tengah.
Faizan tak langsung menjawab. Tangannya meremas pagar balkon, matanya menatap jauh ke arah langit yang cerah. Suara Fandi terdengar lagi, kali ini lebih keras.
"Faiz!"
Faizan akhirnya menoleh, tapi senyumnya hambar. "Kau duluan saja. Aku menyusul," ucapnya pelan.
Fandi menghela napas, paham sahabatnya masih memikirkan sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang. Tanpa banyak bertanya, ia pun meninggalkan Faizan dengan pikirannya yang kusut.
Sendirian di balkon, Faizan berbisik lirih pada dirinya sendiri, "Apa aku benar-benar harus pergi menemuinya… atau justru menjauh demi kebaikannya?"
Setelah cukup merenung, Faizan akhirnya memutuskan untuk pergi ke perusahaan. Mengendarai mobilnya sendiri, ia melaju kencang karena satu jam lagi ada meeting di restoran yang sudah dijanjikan.
Faizan mengerem mobilnya dengan cukup keras di halaman perusahaan, lalu turun dengan langkah tergesa-gesa.
"Selamat siang, Tuan," sapa seorang karyawati dengan ramah. Namun, Faizan tak menggubrisnya.
Ia terus melangkah pasti menuju ruangannya. Fandi, yang melihat atasannya itu melewati ruang kerjanya, segera bangkit dari kursi dan menghampirinya.
"Bro, kau kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu," komentar Fandi sambil mengikuti langkah Faizan.
"Tidak ada yang kupikirkan. Meeting itu sangat penting, Fan. Aku tidak ingin ada yang berantakan," jawab Faizan singkat tanpa menoleh.
Mereka akhirnya masuk ke ruangan Faizan. Begitu pintu tertutup, suasana menjadi lebih tenang. Fandi melipat tangan di dada, memandang sahabatnya itu dengan wajah penuh selidik.
"Jangan bilang… kau sudah mulai jatuh cinta pada Alea?" tanyanya pelan.
Faizan terdiam beberapa detik, lalu menghela napas panjang. "Jangan sok tahu. Aku jatuh cinta padanya atau tidak, itu bukan urusanmu."
Fandi menepuk bahunya pelan. "Kau tidak bisa membohongiku, Faiz," katanya, lalu mendekatkan wajahnya. "Aku sahabatmu. Aku tahu gelagatmu jika sedang jatuh cinta. Sama seperti dulu, saat kau mencintai Rania."
Faizan menatap sahabatnya itu. Raut wajahnya menunjukkan emosi yang sulit ia sembunyikan.
---
Kembali ke rumah Ibu Maisaroh, siang itu Bi Iyem memasak hidangan spesial kesukaan Alea sesuai perintah sang majikan. Dengan begitu banyak menu, Alea memutar matanya melihat meja makan yang penuh dengan lauk-pauk dan hidangan lainnya. Ia tampak bingung.
"Kenapa banyak sekali makanannya? Apa ada acara, Bu?" tanya Alea, membuat Ibu Maisaroh tersenyum.
"Ibu sengaja menyuruh Bibi masak banyak, supaya kamu bisa makan dengan lahap," sahutnya lembut.
Alea makin bingung. Bagaimana mungkin ia harus menghabiskan semua itu? Lama-lama tubuhnya bisa gendut, pikirnya. Setelah mengambil beberapa makanan yang ia inginkan, Alea mulai menyuap satu sendok nasi ke dalam mulutnya dengan perlahan.
"Hueekk..."
Ibu Maisaroh yang mendengar suara Alea seperti ingin memuntahkan makanannya sontak kaget dan khawatir.
"Kau kenapa, Nak?" tanyanya sambil menyusul sang menantu ke wastafel dapur.
Alea menunduk di depan wastafel, memegangi perutnya yang terasa mual. Ibu Maisaroh segera meraih bahunya dengan wajah penuh cemas.
"Alea, kau sakit? Apa masakan Bibi tidak enak?" tanya Ibu Maisaroh panik, suaranya sedikit bergetar.
Alea menggeleng pelan. "Bukan, Bu… rasanya enak sekali, tapi entah kenapa perutku tiba-tiba mual," ucapnya lirih.
Ibu Maisaroh menatap menantunya itu dengan penuh khawatir. Pikirannya langsung melayang ke banyak kemungkinan. "Mual? Sejak kapan? Apa dari tadi pagi kau merasa tidak enak badan?"
Alea menggeleng lagi. "Baru kali ini, Bu. Padahal tadi perutku lapar."
Bi Iyem yang sejak tadi berdiri di dekat mereka ikut bicara, "Mungkin Nyonya kelelahan. Atau…" Ia menghentikan kalimatnya, menatap Ibu Maisaroh dengan pandangan yang sulit diartikan.
Ibu Maisaroh menoleh cepat. "Atau apa, Bi?"
Bi Iyem tersenyum tipis, lalu berkata pelan, "Atau… mungkin ada kabar baik sebentar lagi."
Alea dan Ibu Maisaroh saling bertatapan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, meninggalkan pertanyaan menggantung di udara.
Alea mengerutkan kening. “Kabar baik? Maksud Bibi apa?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut mendengar jawabannya.
Bi Iyem hanya tersenyum misterius. “Ah, Nyonya… kadang perempuan yang tiba-tiba sering mual… bisa saja pertanda sesuatu,” ucapnya sambil melirik Ibu Maisaroh penuh arti.
Ibu Maisaroh terdiam beberapa detik, lalu matanya menatap Alea, seakan menyadari sesuatu. Ia berbalik menatap Alea yang masih pucat di dekat wastafel.
“Alea… jangan-jangan…,” suara Ibu Maisaroh tercekat, membuat Alea semakin bingung.
“Jangan-jangan apa, Bu? Jangan bikin Alea takut,” kata Alea panik, memegang perutnya yang tadi sempat mual.
Ibu Maisaroh menggenggam tangan menantunya erat-erat. “Nak… mungkin kau sedang mengandung,” ucapnya perlahan tapi jelas.
Alea terpaku. Matanya membesar, jantungnya berdegup kencang. Pikiran di kepalanya bercampur aduk—antara terkejut, bingung, dan tak percaya.
Bi Iyem tersenyum lebar, seolah sudah memprediksi reaksi itu sejak awal. “Mungkin ada baiknya besok Nyonya periksa ke dokter. Supaya lebih jelas dengan hasilnya,” katanya sambil mulai merapikan meja makan yang penuh hidangan.
Ibu Maisaroh tersenyum pada Alea dengan lembut. “Kalau memang benar… ini kabar yang sangat membahagiakan, Nak.”
Alea tak bisa berkata apa-apa. Hanya suara hatinya yang terus bertanya-tanya, benarkah ia sedang mengandung?
...----------------...
Bersambung....