Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Kayla masih duduk di lantai, bersandar di pintu yang baru saja ditinggalkan Nathan. Hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, mengisi ruang yang terasa terlalu besar untuk satu orang.
Udara pagi merayap lewat celah jendela yang belum sepenuhnya tertutup, membawa aroma hujan semalam. Hangat dari tubuhnya perlahan memudar, digantikan dingin yang sama seperti dingin di dada. Ia menatap lurus ke depan, ke lantai yang entah sejak kapan mulai basah oleh air matanya sendiri.
Tadi, di balik pintu itu, ia mendengar setiap kata yang Nathan ucapkan. Setiap permintaan maaf. Setiap “tolong” yang diselipkan di antara napasnya yang berat. Dan di setiap kali Nathan mengetuk pintu, Kayla harus menutup mulut rapat-rapat agar suaranya tak pecah.
Sekarang, suara itu sudah hilang. Tidak ada lagi ketukan. Tidak ada lagi panggilan lirih dari luar. Dan justru di keheningan itulah, air matanya jatuh lebih deras.
Ia tahu Nathan pergi bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya sadar, tidak semua yang rusak bisa diperbaiki hanya dengan menyesal.
Perlahan, Kayla menghapus air mata di pipinya. Ia berdiri, melangkah ke dapur, mengambil segelas air, tapi tangannya gemetar saat memegangnya. Gelas itu nyaris jatuh, dan ia hanya bisa memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.
"Habis ini, semuanya harus tetap jalan," gumamnya pada diri sendiri. Kalimat sederhana itu sudah ia ulang sejak beberapa hari lalu, tapi kali ini terasa lebih berat.
Ia menatap pantulan wajahnya di jendela dapur, mata sembab, rambut berantakan, tapi di sana ada seseorang yang berusaha tetap berdiri. Hari ini ia tetap harus berangkat kerja. Dunia di luar sana tidak akan berhenti hanya karena hatinya patah.
Kayla mengambil tasnya perlahan, tapi sebelum melangkah keluar, ia sempat menatap pintu apartemen itu lagi.
Pintu itu untuk pertama kalinya benar-benar memisahkan mereka.
Ia menatap lama, lalu berbisik lirih, hampir tanpa suara.
"Aku nggak benci kamu, Nath. Aku cuma akhirnya belajar milih diriku sendiri."
***
Lift berhenti di lantai 7 dengan bunyi ting yang datar. Kayla melangkah keluar tanpa ekspresi, menyesuaikan langkahnya dengan ritme sepatu-sepatu lain yang berjalan tergesa.
Aroma kopi dari pantry bercampur dengan suara keyboard dan telepon berdering. Rutinitas yang sama, tapi hari ini terasa asing.
"Kay, lo oke?" suara Nadya, rekan satu divisi, memecah lamunan.
Kayla tersenyum samar. "Oke kok. Cuma belum sempet sarapan." Jawaban aman. Jawaban yang sudah ia siapkan kalau-kalau ada yang bertanya.
Nadya menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. "Kalau mau, nanti gue buatin kopi. Lo kelihatan capek banget."
"Thanks, ya."
Begitu Nadya pergi, Kayla menatap layar monitornya. Belum satu jam pun berlalu sejak Nathan meninggalkan apartemennya, tapi rasanya seperti seminggu. Ia membuka email, mengetik beberapa baris laporan, lalu berhenti. Tangannya diam di atas keyboard.
Ada momen-momen kecil yang tiba-tiba muncul. Seperti saat Nathan menatapnya diam-diam di meja makan, atau ketika Nathan dengan isengnya diam-diam memotretnya. Kenangan-kenangan sederhana yang dulu membuatnya hangat, kini justru terasa seperti paku kecil yang menancap di dada.
Kayla menunduk, menahan napas sesaat, lalu menekan tombol delete pada layar. Ia menghapus kalimat setengah jadi yang bahkan tak ada hubungannya dengan Nathan, tapi mungkin itu satu-satunya cara agar ia merasa sedikit berkuasa atas sesuatu hari ini.
Di luar jendela, cahaya matahari mulai menembus awan. Hari perlahan beranjak, dan Kayla kembali mengetik.
Bukan karena hatinya sudah pulih, tapi karena hidup menuntutnya untuk terus berjalan, bahkan ketika satu-satunya yang ingin ia lakukan hanyalah berhenti sejenak dan bernapas tanpa rasa sakit.
***
Sementara itu, di tempat lain, Nathan duduk sendirian di tepi danau kecil di pinggiran kota. Langit masih kelabu, dan embun belum sepenuhnya hilang dari rumput. Udara pagi terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar.
Ia sudah di sana sejak matahari belum benar-benar naik, dengan mobil terparkir beberapa meter dari bangku kayu yang dulu sering mereka duduki berdua. Dulu, setiap kali mereka datang ke sini, Kayla akan bersandar di bahunya seraya mengatakan,
"Tempat ini tenang banget, ya. Kayak dunia berhenti bentar biar kita bisa napas."
Sekarang dunia itu benar-benar berhenti. Tapi tidak lagi menenangkan.
Nathan menatap air yang nyaris tak beriak. Bayangannya sendiri terlihat samar di permukaan, bersama sisa-sisa air mata yang ia usap tergesa.
"Kay… aku nggak tahu harus mulai dari mana," gumamnya pelan. "Semua yang aku pikir bisa aku atur… ternyata malah hancur gara-gara aku sendiri."
Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan foto kecil yang warnanya sudah mulai pudar. Foto mereka berdua dari photobox yang dulu diambil hanya untuk iseng. Wajah Kayla di situ tertawa, matanya menyipit, dan tangannya memegang pipi Nathan. Nathan menatap foto itu lama, jemarinya bergetar.
Sebuah napas panjang keluar dari dadanya. Ia meletakkan foto itu di bangku sebelahnya, menatapnya seolah ingin menahannya di sana, di tempat yang dulu mereka anggap “milik berdua”.
Burung-burung mulai lewat di atas kepala, menimbulkan riak kecil di permukaan air. Nathan mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu berucap lirih,
"Kamu tahu nggak, Kay," katanya pelan. "Aku nggak pernah niat kamu tahu semuanya dengan cara begini."
Nathan terdiam lama, menatap air yang memantulkan langit pucat. Ujung matanya mulai memanas, dan untuk yang ke setiap kalinya sejak pagi, ia membiarkan air matanya jatuh tanpa berusaha menahannya.
Bukan karena ingin terlihat lemah, tapi karena sudah tak tahu lagi cara menahan apa pun.
"Gimana caranya aku bertahan hidup tanpa kamu, Kay? Kamu lupa kalau kamu adalah rumah untukku? Setelah ini aku harus pulang ke mana?"
Ponselnya bergetar di saku celana.
Sekilas, ia berharap nama yang muncul di layar itu adalah Kayla.
Tapi bukan.
Alea.
Nathan menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya membiarkannya bergetar begitu saja. Panggilan pertama dibiarkan lewat. Lalu yang kedua. Dan ketiga.
Suara getar ponsel di antara sunyi danau terasa terlalu nyaring, terlalu nyata, seolah dunia sedang menuntutnya untuk kembali waras. Tapi Nathan tidak bergerak. Ia hanya menatap lurus ke permukaan air, jemarinya mengepal di atas lutut.
Panggilan keempat masuk, kali ini disertai pesan singkat yang muncul di layar.
[Pak, Anda di mana? Meeting jam sepuluh sudah diundur, tapi klien nanyain terus.]
Nathan membaca pesan itu tanpa benar-benar melihat. Matanya buram. Ia menekan tombol daya, mematikan ponselnya, lalu meletakkannya di bangku tepat di sebelah foto kebersamaannya dengan Kayla.
Ia menatap keduanya lama. Satu benda yang menandai hidupnya sebagai Nathan, CEO muda yang mulai disegani. Dan satu lagi, yang menandai hidupnya sebagai Nathan Kayla, seseorang yang dulu punya tempat untuk pulang.
Sekarang, dua-duanya terasa asing.
Angin berembus pelan, menggoyang rumput dan membuat permukaan air bergetar. Nathan menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan getaran di dadanya. Tapi semakin keras ia mencoba, semakin hancur suaranya saat ia berbisik, hampir tak terdengar.
"Kamu hari ini hanya marah, kan, Kay? Kamu akan balik lagi sama aku, kan, nanti kalau udah tenang?"
Sisa embun di udara mulai mengering, tapi dingin di dadanya tak juga hilang. Dan untuk pertama kalinya, Nathan tak kembali ke kantor, tak kembali ke rumah. Ia hanya duduk di sana membiarkan dunia berjalan tanpanya, sementara di layar ponsel yang mati, panggilan dari Alea terus bertambah satu demi satu.