NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Perjalanan pulang dari Puncak terasa sunyi. Mobil melaju di jalan tol, hanya diiringi suara radio yang samar.

Raisa duduk di kursi penumpang, menatap ke luar jendela. Sejak Ardan mengatakan “Berdiri di sampingku” kemarin, pikirannya tak berhenti berputar.

Apa artinya itu? Apa ia benar-benar siap? Hatinya sudah mengiyakan sejak lama. Tapi dunia Ardan… terlalu besar, terlalu mengintimidasi.

“Masih kepikiran?” suara Ardan memecah hening.

Raisa menoleh cepat. “Hah? Nggak.”

Ardan melirik sebentar sebelum kembali fokus ke jalan. “Kalau kamu bohong, kamu jelek banget bohongnya.”

Raisa mendelik. “Om ini bisa nggak, nggak selalu benar?”

“Kalau salah, aku minta maaf. Tapi kayaknya aku jarang salah soal kamu.”

 

Raisa mendengus, menatap jalan lagi sambil menahan senyum. Om ini… selalu aja ngomong seenaknya. Bikin aku mikir macam-macam.

 

Setelah beberapa jam, mobil berhenti di depan sebuah rumah di Jakarta—rumah mamanya Raisa.

“Aku… beneran pulang?” Raisa menggigit bibir.

“Kalau kamu mau tinggal di apartemen dulu, nggak apa-apa,” jawab Ardan. “Tapi… kamu butuh bicara sama mamamu. Atau minimal… kasih dia kesempatan lihat kamu baik-baik saja.”

Raisa mendesah. “Om nggak ngerti kalau Mama itu… cerewetnya nggak ketulungan.”

Ardan tersenyum samar. “Kadang cerewet itu bentuk sayang.”

 

Raisa menurunkan koper. Sebelum masuk, ia menoleh ke Ardan. “Om… terima kasih… buat semuanya.”

Ardan menatapnya. “Kalau kamu butuh aku, kamu tahu harus ke mana.”

Hati Raisa meleleh. Bagaimana mungkin ia tidak jatuh hati pada pria ini?

 

Begitu pintu rumah dibuka, suara Mama langsung menyambut dengan nada menggoda.

“Eeeh… anak Mama pulang! Sama siapa? Sama Om Ardan yaaa?”

“Maaah!” Raisa memekik. “Jangan gitu, ah!”

Mama menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, senyum menggoda tak lepas dari wajahnya. “Liburan, ya? Berdua? Hmm… seger banget nih anak Mama. Pantes pipinya merah.”

“Mamaaa!” Raisa menutup wajah dengan kedua tangan. “Nggak gitu!”

 

Mamanya Raisa, seorang wanita paruh baya yang selalu tahu cara menekan tombol emosi anaknya, mendekat sambil melipat tangan di dada.

“Raisa, Raisa… Mama tuh udah lama hidup di dunia ini. Kalau ada cewek pergi sama cowok yang bukan siapa-siapa, pulangnya nggak mungkin wajahnya seceria kamu sekarang.”

Raisa melempar tas ke sofa. “Maaa! Liburan biasa aja. Biarin, deh. Nggak usah dibahas.”

“Tapi… Om Ardan itu…” Mama mendekat, berbisik. “Ganteng banget, ya? Mapan. Baik. Duh, Mama jadi kepikiran…”

“MAMA!” Raisa hampir berteriak. Wajahnya panas sekali.

 

Mama tertawa terbahak. “Ih, anak Mama ini. Suka, ya? Ngaku deh.”

Raisa mendengus keras. “Aku capek. Mau tidur.”

“Lari, lari. Padahal jelas-jelas mukanya berbinar kalau denger nama Om Ardan.”

“Mamaaa!” Raisa benar-benar ingin menghilang dari muka bumi sekarang juga.

 

Malamnya, saat Raisa berbaring di kamar, Mama masuk tanpa mengetuk.

“Rai.”

“Apa lagi, Ma?” Raisa menoleh malas.

Mama duduk di tepi ranjang. “Serius deh. Kamu jatuh cinta sama dia, kan?”

Raisa terdiam.

Mama mengusap rambutnya lembut. “Kamu nggak perlu bohong. Mama lihat dari cara kamu ngomongin dia, dari cara kamu diam setiap ditanya soal dia. Kamu jatuh cinta.”

Air mata Raisa tiba-tiba mengalir. “Ma… kalau iya… salah nggak sih?”

Mama menatapnya serius. “Cinta itu nggak pernah salah. Yang salah itu kalau kamu nggak jujur sama dirimu sendiri.”

 

Kata-kata Mama menampar Raisa. Benar. Ia selama ini cuma berputar-putar di lingkaran rasa takutnya sendiri.

“Mama.”

“Iya, Nak.”

“Aku… nggak tahu bisa nggak menghadapi dunia dia. Tapi aku tahu satu hal. Aku nggak mau kehilangan dia.”

Mama tersenyum. “Kalau gitu… jangan lepaskan.”

 

Raisa memeluk Mamanya, menangis pelan. Untuk pertama kalinya, ia berkata jujur tentang perasaannya.

Di luar kamar, Ardan berdiri diam di depan pagar rumah. Ia sempat datang untuk memastikan Raisa baik-baik saja… tapi tak jadi masuk.

Ia menatap rumah itu, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Kalau kamu memang mau berdiri di sampingku… aku akan pastikan semua orang tahu kamu milikku.”

 

Dan malam itu, keputusan-keputusan besar mulai tumbuh dalam hati keduanya.

*

Sejak pagi, ponsel Raisa tak berhenti bergetar. Dina, teman-teman kampus, bahkan beberapa nomor tak dikenal mengirim pesan.

“Rai! Om Ardan mau adain konferensi pers?!”

“Eh, serius kalian bakal go public?!”

“Raisa… kamu masuk TV!”

Raisa membaca pesan-pesan itu dengan jantung berdebar. Ia menoleh ke Ardan yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan setelan jas hitamnya.

“Om… beneran mau ngomong ke semua orang? Tentang… kita?”

Ardan menoleh, menatapnya dalam. “Kita nggak bisa selamanya lari. Kamu sudah cukup dihina. Aku sudah cukup diam. Sekarang waktunya orang tahu yang sebenarnya.”

“Tapi… Om…” Raisa meremas ujung bajunya. “Kalau nanti mereka tambah benci aku gimana?”

Ardan mendekat, menangkup wajah Raisa dengan kedua tangannya. “Kalau mereka benci kamu, biar bencinya ke aku. Tugasmu cuma satu: berdiri di sampingku. Sisanya biar aku yang urus.”

 

Satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah hotel mewah di pusat kota, tempat konferensi pers diadakan. Puluhan wartawan sudah memenuhi ruangan. Blitz kamera menyala-nyala begitu Ardan muncul, membuat Raisa refleks menggenggam tangannya di bawah meja.

Ardan meremas lembut jemarinya. “Tenang. Kamu aman.”

 

Konferensi pers dimulai. Moderator memperkenalkan Ardan sebagai “pengusaha sukses dan tokoh publik yang belakangan jadi sorotan media.”

Ardan duduk di depan, sementara Raisa duduk di sampingnya—hampir bersembunyi di balik tubuhnya.

Salah satu wartawan mengangkat tangan. “Pak Ardan, apa benar Anda menjalin hubungan dengan seorang mahasiswi, seperti yang ramai di media?”

Ardan menatap semua orang di ruangan itu. Suaranya tenang, tapi setiap kata terdengar tegas.

“Benar. Namanya Raisa.”

 

Ruangan seketika riuh. Blitz kamera meledak. Raisa menunduk, wajahnya panas.

“Hubungan kami bukan gosip. Kami saling mengenal, saling mendukung, dan apa yang kalian lihat di media hanyalah potongan kecil dari kenyataannya.”

“Pak Ardan,” wartawan lain memotong, “apakah ini artinya Anda mengonfirmasi hubungan romantis dengan Raisa?”

Ardan menoleh sebentar ke Raisa, lalu kembali ke arah wartawan. “Ya. Dan saya minta kalian berhenti menyerangnya. Kalau ada yang mau kalian hina, hina saya. Bukan dia.”

 

Kalimat itu membuat Raisa menahan napas. Dia beneran bilang gitu? Di depan semua orang?

“Lalu soal perbedaan usia, status, dan—”

Ardan mengangkat tangan, menghentikan. “Saya tidak butuh izin siapapun untuk memilih dengan siapa saya bahagia. Dan Raisa… adalah pilihan saya.”

 

Raisa benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Hatinya seperti diremas—hangat, berat, campur aduk.

 

Konferensi pers berakhir dengan kegaduhan media, tapi Ardan tetap tenang. Ia menggiring Raisa ke mobil tanpa banyak bicara.

Di dalam mobil, Raisa akhirnya bersuara pelan. “Om… tadi… Om serius ngomong gitu semua?”

Ardan meliriknya. “Kalau aku bercanda, aku nggak akan ajak kamu berdiri di sampingku di depan semua orang.”

Raisa menatap jendela, menahan senyum yang sulit ia sembunyikan. Rasanya seperti mimpi.

 

Saat mereka berhenti di lampu merah, Ardan membuka laci mobil, mengambil sesuatu, lalu menyerahkannya pada Raisa.

“Ini buat kamu.”

Raisa membuka bungkusnya. Sepotong coklat kecil dengan tulisan “For You”.

“Om… ini apaan?”

Ardan mengedikkan bahu. “Kamu kelihatan tegang dari pagi. Katanya coklat bisa bikin orang bahagia. Anggap itu hadiah kecil karena kamu sudah berani duduk di sampingku tadi.”

 

Raisa menggigit bibir, matanya memanas. “Om ini… nggak bisa ya, sekali aja nggak bikin aku meleleh?”

Ardan tersenyum kecil. “Kalau aku bikin kamu meleleh tiap hari, kamu nggak akan lari lagi dari aku.”

 

Raisa terdiam, menatap coklat itu lama sebelum menggigitnya perlahan. Manis. Sama seperti pria di sebelahnya.

 

Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Sesampainya di apartemen Ardan, teleponnya berdering. Nomor yang ia kenal: kakaknya.

“Ardan. Kamu gila?” suara di seberang terdengar tajam. “Apa yang kamu lakukan di depan media tadi? Kamu pikir keluarga kita bisa diam melihatmu membawa mahasiswi jadi pasangan resmi?”

Ardan menatap Raisa yang masih memegang sepotong coklat di tangannya. Wajahnya kembali dingin.

“Kalau mau bicara, kita ketemu. Jangan bawa-bawa Raisa di telepon.”

 

Dan di situlah Raisa sadar—badai berikutnya baru saja datang.

 

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!