Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Aku percaya kalau Aiden masih mencintaiku. Hanya saja dia orangnya tertutup dan tidak suka memamerkan kemesraan di depan orang lain," kata Rachel dengan nada tenang dan penuh keyakinan. Wajahnya menampilkan keanggunan seorang nyonya besar, tetapi tatapan matanya menyiratkan kobaran api kemenangan.
Di tengah hiruk-pikuk pesta yang masih berlangsung di sekeliling mereka, Rachel dan Hillary berdiri seolah membentuk panggung drama pribadi. Aura tegang begitu kental terasa.
"Buktinya, dia masih sering mendatangiku … untuk bercinta," lanjut Rachel dalam bisikan rendah yang hanya bisa didengar oleh Hillary. Senyumnya terangkat penuh kemenangan. "Bahkan tadi siang, setelah seminggu 'libur' karena dirawat di rumah sakit, kami sempat bercinta lagi."
Sambil berkata demikian, Rachel menarik sedikit kain gaunnya yang menutupi bagian dada atas. Hanya sebentar, cukup untuk menunjukkan jejak merah samar, tanda gairah yang tak terbantahkan. Padahal itu karena digaruk olehnya karena gatal.
Wajah Hillary seketika memerah. Bukan karena malu, tetapi karena kemarahan dan rasa cemburu yang membuncah tanpa bisa ditahan. Rahangnya mengeras, dan giginya saling bergesekan menahan emosi. Mata wanita itu menatap Rachel tajam, seolah ingin menelan lawannya hidup-hidup.
Rachel menyeringai. Senyum penuh kepuasan mengembang di wajahnya. Tatapan merendahkan, seperti seekor kucing yang baru saja menang atas tikus yang sombong.
"Ternyata selama ini Hillary benar-benar suka menindas Rachel. Tapi, lihat sekarang, aku bukan Rachel yang dulu," batin Rachel, dadanya terasa lapang penuh semangat kemenangan.
Hillary mendengus, berusaha mengembalikan kendali emosinya. Namun, kata-kata Rachel telah menampar egonya dengan keras.
"Sepertinya Aiden hanya memperlakukanmu sebagai pemuas nafsunya saja," balas Hillary dengan nada tinggi. Matanya menyipit penuh kebencian. "Karena di hatinya, hanya ada Sandra!"
Rachel tertawa kecil, suara tawanya seperti dentingan bel kristal yang mengejek. Dia tahu dan sekarang dia merasakan, kalau perasaan Aiden pada Sandra sudah padam. Rachel bisa melihat jelas, tidak ada gairah atau cinta di mata Aiden saat menatap Sandra. Yang ada hanya kebosanan dan jarak.
"Bagaimana kalau kita buktikan saja?" tantang Rachel dengan suara datar, penuh kepercayaan diri. "Apakah Aiden masih punya perasaan cinta untuk Sandra atau tidak?"
Senyum sinis Hillary berubah menjadi seringai licik. Api di matanya membesar.
"Oke," jawabnya tajam. "Akan aku pastikan kalau Aiden benar-benar cinta mati kepada Sandra … dan akan menceraikan mu!"
Tatapan mereka saling bertemu, seperti dua pedang yang beradu di udara. Tidak ada yang ingin mundur seakan ada aura panas di antara mereka.
Rachel menegakkan punggung. Dengan suara dingin, ia berkata, "Jika terbukti Aiden tidak mencintai Sandra, aku harap kalian—kamu dan Grandma—tidak akan pernah lagi mengganggu hidup kami."
"Dan jika ternyata Sandra memang wanita yang dicintai Aiden … maka saat itu juga, kalian harus bercerai!" potong Hillary, suaranya seperti cambuk, matanya menyala penuh kepastian.
Rachel mengangguk, pelan tapi mantap. "Deal."
Perjanjian itu tidak sekadar pertaruhan harga diri, tetapi taruhan besar dalam kehidupan rumah tangga Rachel dan Aiden. Di tengah pesta yang gemerlap, dua wanita itu telah memulai babak baru perang dingin yang akan membakar tak hanya perasaan, tapi juga masa depan.
Sementara itu, Aiden melangkah masuk ke toilet pria. Ruangan itu sunyi, hanya suara keran air dan langkah sepatunya yang menggema. Setelah menyelesaikan urusannya yang tidak sampai tiga menit, dia membasuh tangan dengan cepat, menatap pantulan wajah Rachel di cermin. "Kenapa aku merasa makin kacau?" batinnya, sebelum menarik napas panjang dan melangkah ke pintu.
Baru saja daun pintu terbuka, langkahnya terhenti mendadak. Di hadapannya berdiri Sandra yang berbalut gaun mewah dan elegan yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Bibir merahnya tersungging menggoda dan matanya menyimpan niat tersembunyi.
"Aiden, aku menunggu kamu," ucap Sandra dengan suara mendayu. Nada suaranya seakan angin malam yang menggoda, licik dan lembut.
Aiden memicingkan mata. "Mau apa kamu?" tanyanya ketus. Nada bicaranya dingin, nyaris seperti semburan es.
Saat menjadi Rachel, dia sering sekali dibakar cemburu setiap kali wanita ini muncul. Sandra, dengan segala aura menggoda dan dukungan dari Nenek Hilda dan Hillary, telah lama menjadi duri dalam rumah tangganya.
Sandra melangkah lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Aiden. "Bagaimana kalau kita habiskan malam ini bersama?" bisiknya penuh bujuk rayu.
Mata Aiden membelalak, terpaku. Napasnya tercekat. Kata-kata Sandra terasa seperti pukulan telak di dada. "Apa-apaan ini? Apa selama ini Aiden benar-benar berselingkuh? Apakah semua dugaan ku–Rachel–selama ini bukan hanya rasa cemburu semata?"
"Brengsek kau, Aiden!" batinnya, mendidih oleh kemarahan. "Rupanya kalian benar-benar sering melakukan ini di belakangku."
Belum sempat berpikir lebih jauh, tangan Sandra mulai bermain nakal di dada Aiden. Sentuhannya menjalar seperti racun, sementara matanya menatap penuh hasrat. Bibirnya perlahan mendekat, bersiap mencuri ciuman.
Aiden menepisnya dengan cepat. Dorongan tangannya membuat Sandra sedikit terhuyung mundur dua langkah ke belakang.
"Rachel sedang menunggu aku," ucap Aiden dingin, tanpa menoleh lagi. Langkah kakinya lebar, penuh kemarahan dan kejijikan yang tak tertahankan.
Dada Aiden bergemuruh. Emosi meledak di dalamnya seperti gunung berapi. Dia ingin mengutuk dirinya sendiri—dan Aiden asli—atas semua perlakuan yang tak pantas kepada Rachel. Cinta bukan hanya soal tubuh, tapi juga tentang rasa hormat dan kesetiaan.
Begitu Aiden kembali ke ballroom, pandangannya langsung mengarah pada Rachel. Wanita itu sedang duduk dikelilingi oleh beberapa pria, semua tampak serius dan kagum saat berbincang dengannya.
"Sedang apa dia?" batin Aiden dengan dahi mengernyit. Ada rasa asing yang muncul, bangga sekaligus cemburu.
"Ternyata Nyonya Salvador tertarik dengan bisnis permata. Bagaimana kalau kita melakukan kerja sama?" tanya Andreas Marlon dengan senyum lebar. Matanya memandangi Rachel seolah wanita itu adalah permata itu sendiri.
Belum sempat Rachel menjawab, matanya sudah menangkap sosok Aiden berdiri di tepi sofa. Seketika ekspresinya berubah lega.
"Ah, Aiden! Mereka mengajak aku untuk berbisnis. Bagaimana kalau kita ikut serta?" tanya Rachel, suaranya terdengar manis dan ceria, tapi matanya menyiratkan isyarat khusus—kode untuk menyelamatkan momen itu.
Aiden mengangguk cepat dan melangkah lebih dekat. "Asalkan istriku senang, aku akan mendukung," jawabnya, senyum tipis menghiasi wajah.
Ucapan itu membuat para pria di sekeliling Rachel menoleh takjub. Mereka saling berpandangan—Tuan Aiden tersenyum? Sang pria dingin yang selama ini nyaris tak pernah menunjukkan emosi di hadapan umum.
"Wah, ternyata Nyonya Salvador begitu dicintai oleh Tuan Aiden," puji salah satu pengusaha perhiasan dengan nada hangat.
"Berarti rumor yang beredar selama ini tidak benar?" tanya Andreas Marlon penasaran.
Sebelum Aiden sempat merespons, Sarah Bone dan putrinya Patricia datang menghampiri mereka dengan senyum bersahabat.
"Mungkin karena Nyonya Salvador jarang terlihat di acara publik, makanya orang-orang mengira seperti itu," kata Sarah.
"Iya," timpal Merry Marlon, istri Andreas, dengan santai. "Sebaiknya di masa yang akan datang, Nyonya Salvador harus rajin ikut perkumpulan dan bersosialisasi dengan para Nyonya di kota ini. Supaya lebih akrab."
Rachel menelan ludah. Kalimat itu terdengar seperti tantangan terselubung. Sementara Aiden, yang belum sempat membaca reaksi sang istri, langsung menanggapi dengan antusias.
"Akan aku usahakan biar Rachel bisa ikut banyak kegiatan," ujar Aiden dengan nada serius.
Mata Rachel membelalak. Bibirnya terbuka sedikit, tak percaya dengan kalimat itu. Dalam hati, dia menjerit. "Apa?! Ikut kegiatan para nyonya?! Gila ... yang benar saja!"
Namun, demi menjaga citra di depan para tamu, Rachel hanya mengangguk kecil dan menyembunyikan kekesalan di balik senyum ramah yang terasa dipaksakan.
***
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤