Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Temukan Dia
“Hai, sayang,” sapa Mada saat Rindu membuka pintu mobil lalu duduk di sebelahnya.
“Hai, juga sayangnya aku,” balas Rindu sambil senyum.
Kejadian tadi siang membuat Rindu memantapkan hati dan yakin dengan perasaan Mada. Secara terang-terangan membela dirinya di depan semua orang. Bahkan Arya pun ikut membelanya. Kalau boleh ia berbangga hati rasanya ingin terbang karena mendapatkan pengakuan sebagai calon menantu keluarga Bimantara.
“Nah, gitu dong. Perasaan aku tuh dibalas, jadi makin besar cinta aku sama kamu. Jadi gemes pengen ….”
“Pengen apa?” tanya Rindu dan raut wajahnya berubah datar.
“Hehe, pengen makin cinta,” sahut Mada.
“Ya, udah jalan. Kita pulang.”
“Kok pulang, nggak mau kemana dulu gitu? Kalau di rumah kita nggak bisa berdua, ada satpam yang kerjanya lebih dari satpam.”
“Pulang aja, aku capek. Kangen sama tante Sarah dan Om Arya.”
“Hah, gak salah? Pacar kamu tuh aku loh, Rin. Malah kangen sama orang tuaku.” Mada mulai melajukan mobilnya masih heran dengan ucapan gadis di sampingnya.
“Nggak bisa dijelaskan, yang pasti aku kangen mereka. Rasanya di sini tuh berdebar terus ingat mereka.” Rindu menepuk dada kirinya. “Aku kenal mereka belum lama, tapi sayang mereka sangat tulus. Keluarga yang membesarkan aku yang aku anggap orangtua sendiri, malah jahat.” Suara Rindu mendadak serak, tanda ia emosi dan menahan tangisnya.
Mada menepi dan berhenti di sisi jalan lalu mengusap kepala Rindu.
“Aku janji akan berikan kebahagian yang tidak pernah kamu dapatkan, begitupun keluargaku.” Melepas seatbelt lalu mendekat dan merengkuh Rindu. “Jangan sedih ya.”
Rindu mengangguk dengan wajah berada di ceruk leher Mada. Menghirup aroma parfum pria itu, terasa begitu menenangkan.
“Aku sayang kamu, Rindu.”
“Aku juga sayang, Mas Mada.”
Tok tok tok
Rindu langsung mengurai pelukan dan menghapus titik air mata di wajahnya. Petugas lalu lintas berdiri di depan jendela mobil, tepat di sebelah kanan. Mada menurunkan kaca jendela.
“Selamat sore, pak. Kenapa berhenti di sini?”
Beruntung kaca mobil Mada gelap dari luar, tidak terlihat apa yang terjadi di dalam. Bisa-bisa mereka diduga berbuat mesum.
“Oh, ini istri saya tadi sedih pak. Ingat keluarganya, jadi saya tenangkan dulu.”
“Silahkan jalan kembali, agar tidak mengganggu lalu lintas.”
“Siap, pak. Terima kasih.”
Mada terkekeh setelah menaikan kembali kaca jendela lalu perlahan melaju.
“Hampir saja kita dinikahkan kalau ketahuan pelukan. Pasti dipikir lagi mesum.”
“Lagi kamu, ngapain juga pakai berhenti mana langsung meluk. Aku ‘kan terbawa suasana.”
“Nanti deh lanjut di rumah,” usul Mada.
“Dih.”
Sampai kediaman Bimantara, Mada memarkir rapi mobilnya lalu melepas seatbelt. Rindu sudah siap turun, tapi urung karena mengingat sesuatu.
“Aku lupa, tadi ada yang datang cari kamu. Mau aku buatkan lagi janji bertemu, tapi dia menolak. Katanya mau langsung hubungi kamu.”
“Hm, siapa?” tanya Mada memastikan ponsel dan tidak ada barang lain yang tertinggal.
“Felix, iya. Felix dari Emerald.”
Mada langsung menoleh. “Om Felix datang ke kantor?”
“Iya. Aku salah ya, karena tawarkan dia untuk buat janji dulu. Sepertinya kalian ... ada kedekatan," ujar Rindu mendengar Mada memanggil Felix dengan sebutan om.
“Ini serius Om Felix datang dan ketemu kamu?”
“Ya, iya.”
“Dia bicara sama kamu?” tanya Mada lagi, begitu penasaran.
Rindu yang heran pun mengangguk, tidak kalah heran. “Seingatku dia tidak bisu, jadi ya bicara denganku bukan pakai bahasa isyarat.”
“Aku serius Rindu.”
“Aku juga. Pak Felix masih keluarga Bimantara, maaf ya.”
“Bukan, bukan masalah itu. Jadi dia datang mau bertemu denganku, nyatanya malah bertemu kamu dan kalian bicara?”
Rindu kembali mengangguk.
“Astaga,” ucap Mada. “Felix itu Papinya Arba.”
“Oh, begitu. Calon mertua kamu.”
“Ish, sembarangan, tapi mungkin juga sih.” Mada terkekeh lalu menggeleng.
“Dasar buaya.” Rindu keluar dari mobil meninggalkan Mada, sepertinya dia salah paham dengan ucapan pria itu.
“Siapa yang buaya, bener ‘kan Felix calon mertua gue,” gumam Mada lalu mengejar Rindu.
“Rindu, sayang. Hei, dengar dulu dong!”
“Sana temui calon mertua kamu,” usir Rindu saat Mada melangkah sejajar dengannya.
“Calon mertuaku ya Ayahmu,” sahut Mada dan Rindu langsung berhenti melangkah.
“Aku nggak ada ayah, entah dia masih hidup atau sudah pergi. Kalau berjodoh denganku, kamu nggak akan punya mertua. Masih yakin denganku?”
“Masihlah, pake ditanya. Udah dong jangan ngambek, kamu ngambek aku yang rugi. Ayo, kita temui calon mertua kamu. Udah kangen ‘kan?”
Mada merangkul bahu Rindu mengajak gadis itu ke dalam rumah.
***
Felix mengusap wajah sambil bersandar pada sofa. Ia baru saja tiba di rumah, setelah tadi mendatangi kantor Arya bermaksud menemui Mada. Namun, Rindu yang dia temui. Rival dari putrinya yang malah mengingatkan dirinya pada seseorang.
Entah mengapa senyum dan wajah Rindu mengusik hatinya. Selama ini tidak pernah peduli di mana keberadaan dan kondisi sang putri. Nyatanya sekarang ia begitu penasaran. Apalagi belum lama ini mendapat kabar kalau putrinya ada masalah dengan keluarganya.
Mengeluarkan ponsel dan menghubungi orang yang menjadi jembatan dirinya dan keluarga Meta.
“Iya, bos,” ujar seseorang di ujung sana.
“Dimana dia?”
“Siapa bos?”
“Ck, anaknya Meta. Putriku,” jawab Felix lirih sambil memijat dahinya. “Di mana dia sekarang?”
“Yanto dan Sari sudah dipenjara, kasusnya sudah lengkap. Tidak lama lagi persidangan. Di mana putri anda, saya sudah tidak urus lagi. Terakhir bos bilang biarkan saja.”
Felix menarik nafas menyadari ia begitu jahat. Mengabaikan darah dagingnya sendiri bahkan hampir dijual oleh keluarga yang membesarkan dan sekarang keberadaannya pun entah di mana.
“Siapa namanya?” tanya Felix lagi.
“Namanya Rindu, Rindu Anjani.”
Felix langsung menegakkan tubuhnya, terkejut mendengar nama yang baru saja dia dengar.
“Siapa?”
“Rindu Anjani, seperti nama Ibunya.”
Dalam hati Felix mengump4t, untuk dirinya. Apa Rindu Anjani dengan Rindu yang tadi dia temui adalah gadis yang sama.
“Temukan dia! Cari putriku.”
kamu memank luar biasa 😆