NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jebakan Untuk Rania.

Pagi itu, cahaya matahari belum benar - benar menembus tirai ketika Rania berdiri di depan cermin. Matanya menatap kosong pada pantulannya sendiri. Ada memar samar dan gigitan kecil di sekitar bahunya, dan garis kemerahan di lehernya.

       "Bagus," gumamnya getir. "Biar aku nggak lupa siapa kamu, Niko."

Ia tak menangis. Ia hanya menatap, lama, seolah ingin menghapalnya.

Lalu ia membuka kamera ponsel. Dengan tangan yang gemetar, ia mengangkat layar, membidik satu per satu luka di tubuhnya. Biru di bahu, goresan merah di leher, memar di sekitar dada.

Satu... dua... tiga...

Ia menyimpan foto - foto itu dalam folder tersembunyi. Tanpa nama. Tapi dengan maksud yang jelas.

        "Siapa tahu... aku membutuhkannya nanti," gumamnya pelan.

Setelah itu ia berdiri tegak, mengenakan kemeja putih dan blazer gelap. Wajahnya cantik, rapi, bahkan terlihat berwibawa. Tapi ia tahu betul... di balik riasan tipis itu, tubuhnya memar. Dan jiwanya lebih parah.

Ia melangkah ke kamar Ibra, menyibak pintu perlahan.

        "Ibra," bisiknya lembut sambil duduk di sisi ranjang. Anak itu masih tidur nyenyak, memeluk guling kesayangannya. Rania membelai rambut anak tirinya itu dan mengecup keningnya hati - hati.

        "Mama pergi kerja dulu ya. Sarapan udah Mama siapin."

Ia menata roti dan telur di meja makan, menuangkan susu ke gelas kecil. Sederhana, tapi hangat.

Sementara untuk suaminya yang masih terlelap tidur, ia hanya mengetik satu pesan di WhatsApp,

       "Aku berangkat kerja. Mulai hari ini langsung di bawah Atmadja Holdings, menangani kasus kantor kamu."

Tanpa emotikon, Tanpa salam penutup.

Ia menatap layar ponsel sebentar, lalu memasukannya ke dalam tas.

Hari ini, ia tak punya waktu untuk luka. Hari ini, ia memilih bertahan. Untuk dirinya. Untuk harga dirinya yang selama ini terus diinjak - injak.

Dan mungkin, untuk hari di mana semua bukti akan menjadi senjata.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pukul tujuh kurang lima menit, Rania sudah berdiri di lobi Atmadja Holdings. Matanya menyapu ruangan dengan cepat... mewah, mengintimidasi, dan sunyi. Hanya terdengar bunyi telepon dan langkah sepatu dari kejauhan. Ia menarik napas, duduk di sofa panjang untuk menunggu.

Seorang wanita muda berkacamata dengan blazer kelabu menyambutnya. Wajahnya tenang, tapi tegas.

      "Anda Bu Rania, ya?" tanyanya sambil melirik tablet di tangannya.

      "Iya. Saya Rania."

      "Saya Shela, asisten Pak Askara khusus untuk proyek merger ini. Mari, saya antar ke ruangan Anda."

Shela berjalan cepat, Rania mengikuti tanpa banyak bicara.

Ruangan itu kecil, tapi fungsional. Ada tumpukan berkas di meja, beberapa file digital sudah terbuka di layar komputer.

      "Ini laporan keuangan perusahaan suami Anda yang diaudit dua minggu sebelum merger dibatalkan," Shela menunjuk layar.

       "Ada ketidaksesuaian angka di kuartal terakhir, dan Pak Askara ingin Anda telusuri siapa yang pertama kali memverifikasi laporan ini."

Rania mendekat. Matanya menyipit, membaca cepat.

      "Ini... tanda tangan.. saya," gumamnya ragu

      "Betul. Jadi sistem mencatat bahwa Anda yang menandatangai laporan keuangan."

Rania menegang. "Tapi saya tidak pernah merasa menandatangani ini... ini... "

       "Saya tidak di sini untuk menyelidiki itu, Bu Rania. Hanya menyampaikan permintaan Pak Askara," potong Shela dengan nada datar. "Beliau ingin Anda buatkan kronologi untuk rekap investigasi internal. Deadlinenya hari Jumat."

      "Hari ini sudah Kamis," Rania mengangguk. "Saya bisa mulai sekarang."

Shela mengangguk ringan, lalu menoleh. "Oh, satu lagi. Pak Askara sudah berada di kantor sejak pukul setengah tujuh. Kalau laporan kronologinya sudah selesai, Anda bisa melapor langsung, tapi sesuaikan dulu dengan jadwal beliau melalui asistennya."

Rania menahan ekspresinya, sedikit terkejut.

       "Sudah datang?" gumamnya. "Sepagi itu?"

Shela menatap layar tablet di tangannya, lalu berkata datar, "Pak Askara memang selalu datang paling pagi. Tapi beliau juga tidak suka kalau ada yang datang terlalu cepat,"

Rania mengerutkan alis. "Terlambat salah, terlalu cepat juga bukan hal bagus?"

Shela mengangguk tipis. "Beliau tidak suka pegawai terlihat seperti sedang berusaha mencari muka. Tepat waktu, itu kuncinya."

Rania mengangguk pelan, menyimpan komentar di dalam kepalanya.

      "Terima kasih, saya akan mulai sekarang.."

Shela melirik jam tangannya. "Saya akan kembali jam sembilan. Kalau ada perkembangan atau pertanyaan, sampaikan lewat email, bukan WhatsApp, bukan lisan."

       "Noted."

Saat Shela keluar dari ruangan, Rania duduk. Matanya menatap layar, lalu tumpukan berkas di depannya. Matanya berpindah cepat dari satu angka ke angka lain, berusaha menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan yang... Ia tahu pasti... disusun dengan niat menyembunyikan sesuatu. Dan tanda tangannya.. tanda tangan palsu itu, Rania terus menelusuri kemungkinan orang - orang yang mampu melakukan itu.

Menjelang siang, terdengar ketukan pelan di pintu. Rania menoleh. Seorang pegawai kafe muncul dari balik pintu kaca, pegawai yang kemarin sore ia tolong. Membawa nampan berisi kopi panas dan dua potong roti panggang. Aroma mentega dan kopi langsung menyusup ke ruang kerja kecil itu.

      "Maaf menganggu, Kak.. saya bawakan cemilan," ucap pegawai itu dengan senyum gugup.

Rania mengerutkan alis, menatap kopi itu sejenak, lalu menggelang pelan. "Maaf, Mas..." Rania sekilas melihat papan nama di seragam pegawai kafe, "Mas Naren... tapi saya tidak pesan."

Namun pegawai itu tampak bersikeras. "Gratis dari saya Kak, ucapan terima kasih."

Wanita cantik itu kembali menggeleng, "Kemarin sudah, cukup sekali saja Mas." tolak Rania lagi lembut.

      "Naren saja."

      "Ya?"

      "Panggil saya Naren saja."

Rania mengangguk pelan, "Terima kasih untuk kopinya, Naren. Tapi sungguh.. tidak perlu repot - repot."

Naren meletakkan nampan di depan Rania. "Hanya sedikit hadiah untuk kebaikan yang besar."

Rania menghela napas pelan. Ia menatap roti itu... dan rasa lelah yang menggantung di pelipisnya membuatnya akhirnya mengangguk kecil.

      "Baiklah. Terima kasih," katanya singkat.

Naren tersenyum lega, "Kalau butuh tambahan.. datang saja ke kafe, Kak.. Kapan saja."

      "Rania..."

      "Ya?"

      "Panggil saja Rania."

Pemuda itu tersenyum, lalu pamit.

Rania menatap cangkir kopi yang masih mengepul, sebelum kembali ke tumpukan file di hadapannya.

...****************...

Belum habis kopinya, pintu kembali diketuk. Kali ini bukan pegawai kafe. Seorang pria muda dengan kemeja abu - abu rapi dan tablet digital di tangan masuk setelah Rania mempersilakan.

      "Selamat siang, Bu Rania. Saya Dion, asisten langsung Pak Askara."

Rania menatap pria itu dengan tenang, "Siang, ada yang bisa saya bantu?"

      "Saya diminta mengantar Ibu ke lokasi proyek apartemen. Pak Askara ingin Ibu melihat langsung beberapa hal yang menjadi sumber permasalahan."

Rania meletakkan kopinya. "sekarang?"

       "Ya, mobil operasional sudah menunggu di lobi. Ini sangat penting, Ibu," kata Dion, sopan tapi tak memberi ruang untuk menunda.

Rania hanya mengangguk dan mengambil tasnya.

Perjalanan menuju proyek apartemen berlangsung dalam diam. Sopir tak banyak bicara. Dan Dion tampak sibuk memeriksa data di tabletnya. Sementara Rania hanya menatap ke luar jendela, pikirannya melayang ke banyak hal... termasuk kemungkinan buruk yang bisa terjadi bila ini tak segera diselesaikan.

Sesampainya di lokasi, Dion langsung mengajaknya menyusuri area proyek setengah jadi.

      "Proyek ini awalnya dijanjikan menggunakan marmer impor untuk area lobi," jelas Adi sambil menunjukkan satu area kosong dengan ubin lokal kualitas menengah. "Tapi kenyataannya, yang datang material lokal dengan grade jauh di bawah. Bahkan ada laporan bahwa materialnya mudah retak hanya dalam hitungan minggu."

Rania menatapnya tajam tapi tak berkata - kata.

       "Ini belum termasuk masalah lain, Bu. Denah unit tidak sesuai, beberapa pemilik sudah mengeluh karena luas unit mereka lebih kecil dari perjanjian. Dan," Dion membuka file di tabletnya, " vendor untuk kelistrikan diganti sepihak tanpa persetujuan pihak Atmadja. Kami bahkan tidak diberika salinan kontrak baru."

Mereka terus melangkah, hingga tiba di satu ruangan terbuka tempat para mandor dan tenisi biasa berkumpul.

       "Pak Askara ingin Ibu mulai mengaudit bagian ini. Secara legal maupun teknis. Semua dokumen proyek ada di ruang site manager, kami sudah siapkan."

Rania mengangguk, rahangnya mengeras.

      "Boleh saya minta catatan vendor lama dan vendor baru?"

      "Tentu, Bu. Akan saya siapkan dalam satu jam."

Rania melangkah masuk ke dalam ruang sempit yang dijadikan kantor proyek. Bau semen dan debu menusuk hidung, tapi ia tak gentar. Bukan soal nyaman atau tidak, ini soal menyelamatkan dirinya sendiri.

Dan jika ini memang kesalahan Niko dan kantornya, maka ia siap untuk menanggung nama buruk, asalkan bukan penjara.

Di ruangan yang sumpek itu, hanya ada satu meja kayu lapuk, kipas angin berdengung pelan di pojok ruangan, dan tumpukan map yang disusun seadanya. Rania duduk di kursi besi yang dingin, membuka satu per satu dokumen yang sudah disiapkan Dion.

Rania membuka lembar pertama: daftar vendor bahan bangunan. Ia langsung mengenali satu nama... PT Gradasi Nusantara. Perusahaan kecil itu pernah dikaitkan dengan kantor Niko. Yang mencurigakan, harga yang tercantum hampir dua kali lipat dari harga pasaran.

Ia membalik halaman. Surat perubahan vendor listrik.

Tanda tangan dibawahnya...

Rania.

Jelas pemalsuan tanda tangan lagi.

Rania menggenggam map erat. Sudah dua dokumen yang membuktikan kalau tanda tangannya dipalsukan... dan kini, Rania tahu siapa pelakunya.

Niko.

(Bersambung)....

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!