Aditya patah hati berat sebab Claudia—kekasihnya— memilih untuk menikah dengan pria lain, ia lantas ditawari ibunya untuk menikah dengan perempuan muda anak dari bi Ijah, mantan pembantunya.
Ternyata, Nadia bukan gadis desa biasa seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sayangnya, perempuan itu ternyata sudah dilamar oleh pria lain lebih dulu.
Bagaimana kisah mereka? Ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. Sate Ayam
Pada akhirnya, Nadia dan Aditya yang mempertanggungjawabkan pengendara itu untuk dibawa ke rumah sakit.
“Yuk, Nad. Pulang saja kita,” ajak Aditya. Setelah dia menuruti apa kata Nadia untuk membawa pria tak sadarkan diri itu ke rumah sakit sebagai bentuk tanggung jawabnya telah membuatnya terluka, Aditya pun menurut.
Orang itu masuk ke IGD dan mendapatkan penanganan yang cepat dari medis.
“Sebentar, A. Dia belum siuman, kita belum tahu siapa keluarganya. Tunggu sampai dia sadar,” jawab Nadia.
Aditya duduk di kursi tunggu itu. Menangkup wajahnya, sedangkan Nadia berdiri tidak akan tenang jika belum mendapat kabar dari dokter bahwa pasien sudah siuman dan kondisinya baik-baik saja.
Lewat dari tengah malam, dokter jaga menyatakan jika pasien sudah siuman. Nadia mengajak suaminya untuk masuk dan melihat kondisi pasien yang sudah diperban di bagian kepalanya.
Aditya muak sebenarnya, tetapi demi menemani Nadia, dia masuk ke dalam ruang rawat itu.
“Tanyain, A. Bagaimana kondisinya?” bisik Nadia, tidak mungkin dia yang menanyakan itu secara langsung.
Aditya tentu saja menolak, ia tidak suka berbasa-basi apalagi dengan sesama jenis begini.
“Ogah, Nad!”
Namun, melihat Nadia dengan wajah kecewa ia pun menghela napas panjang.
“Oi, gimana? Aman?” tanya Aditya sembari menabok kaki pasien pria yang sedang terkapar itu.
“A, yang benar. Dia baru sadar,” ujar Nadia mencubit pelan lengan Aditya.
“Ck, sok peduli banget, sih, Nad. Aman dia sudah melek begitu,” kata Aditya malas menunggui pasien yang pingsan sejak 4 jam yang lalu.
“Hem,” jawab pria yang terbaring itu sambil meringis-meringis.
Di bibir tipisnya, Aditya berbisik. "Rasain!"
Pluk. Tentu, dia mendapatkan tepukan di lengannya oleh Nadia.
"Tanyain, A. Namanya siapa?"
Aditya menoleh ke samping pada Nadia yang berdiri di sisi agak ke belakang. Bibirnya dia tarik ke atas.
"Malah ngajak kenalan," kata Aditya.
"Enggak, biar tau dia hilang ingatan atau tidak. Buat memastikan aja, A Adit bikin dia babak belur begitu."
"Sapa nama lo?" tanya Aditya.
"Woi, siapa nama? Nama. Siapa?" tanya Aditya sambil menepuk pipi pria yang berbaluk perban itu.
"Auwhh, uzak," kata si pria sambil merintih kesakitan.
"Hah? Jawab yang bener!" katanya menepuk kaki si pria.
"Rujak?" kata Aditya.
“Ojak, kayaknya Nad. Udah, ah. Yuklah, pulang.”
Nadia mendekat, menarik baju Aditya supaya mau mendekat ke pasien itu. Nadia ingin berbicara dengan pria yang terbaring itu.
Rasanya, meminta bantuan Aditya supaya berbicara yang benar tidak memuaskan hati. Malah yang ada cuma kekerasan saja.
"A Ojak, ini aku Nadia dan A Adit yang bawa kamu ke rumah sakit. Semua biaya administrasi sudah ditanggung A Adit, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Itu makanan sudah disiapin juga. Dan atas nama A Adit, saya minta maaf karena kelakukannya."
"Nad, kenapa minta maaf, sih?!"
"Dan A Ojak, lain kali kalau berkendara jangan asal nyalip apalagi salip kiri. Bahaya," lanjut Nadia.
"Nah, iya. Dengerin noh, cari mati aja, lu."
Aditya langsung menarik lengan Nadia untuk keluar dari ruangan itu. Namun, di depan pintu ruangan, Nadia berhenti dia mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Cari apa?”
“Uang, buang ongkos taksi dia. Barangkali gak bisa bawa motor sendiri, A.”
Aditya memutar bola matanya. Sikap Nadia benar-benar berlebihan menurutnya.
Nadia mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan, dia meminta Aditya menemaninya untuk kembali ke dalam ruangan itu.
Namun, Aditya mendahului. Dan dia masuk ke dalam ruangan itu sambil merogoh sakunya, mengeluarkan dompet dan menarik beberapa lembar uang seratus ribuan yang dia letakkan di atas nakas.
“Sudah simpan uangmu. Ayo, pulang.” Aditya menggenggam tangan Nadia supaya cepat-cepat pergi, sedangkan di tangan Nadia masih tenggenggam uang akan akan dia berikan sebelumnya.
Sepanjang jalan menuju tempat parkir itu, Aditya yang sadar jika tengah menggenggam sebuah tangan, dia mengeratkan genggaman pada tangan yang terasa sangat lembut, kecil, dan hangat itu.
Kruyukkk....
Di tengah perjalanan, perut Nadia terdengar keroncongan. Itu karena terakhir kali makan ialah siang tadi saat dia makan bekal yang dibawanya sendiir dari rumah.
“Kamu lapar,” ujar Aditya. Bukan sedang bertanya, tetapi sebuah pernyataan yang tidak memerlukan jawaban.
Nadia yang malu langsung meremas perutnya yang berbunyi nyaring.
“Mau makan apa?” tanya Aditya menawarkan.
“Jangan terserah,” ujarnya menginstruksi jangan sampai yang keluar dari mulutnya ucapan terserah.
“Sate ayam, A.”
“Good!” lekas Aditya mencari tempat makan yang menjual sate ayam.
Sebagai seorang manager hotel, soal kuliner bahkan destinasi liburan di kota itu sudah bukan menjadi hal asing karena menjadi hal wajib jik ada pengunjung hotel yang meminta guide untuk berwisata berkeliling kota.
Ia cukup tahu restauran mana yang menjual menu satai ayam. Satu tempat yang dia tuju, sebuah restauran andalan berbintang yang menjual sate ayam terenak.
Nadia melongo saat Aditya memarkirkan mobil di sebuah restauran.
“Kok ke sini, A?”
“Katanya mau makan sate ayam?”
Nadia meringis. Maksudnya, ia ingin makan satai ayam yang mudah didapat di pinggir jalan, bukan masuk restauran yang pasti harganya bisa berkali-kali lipat.
Memang enak, Nadia akui jika itu satai ayam terenak yang pernah dia makan. Namun, sekali suapan ia akan berpikir dua kali bisakan sisa yag tidak habis ia bawa pulang karena Aditya memesan dua porsi beserta makanan pendampingnya.
Harganya untuk satu porsi mencapai ratusan ribu, nyaris sejuta. Nadia langsung membuka dompetnya saat pelayan memberikan bill.
“Ngapain?” tanya Aditya yang melihat Nadia menyodorkan uang beberapa lembar pecahan berwarna merah setelah Aditya membayarnya dengan menempelkan kartu dan pelayan telah pergi.
“Bayar makanku, A.”
Aditya menatapi uang itu. “Dipikir aku miskin?”
“Ih, bukan begitu. Tapi kan ini mahal, dan A Adit lagi gak ada kerja, bagaimana jika nanti ...” Nadia berhenti, ia takut akan menyinggung perasaaan Aditya.
“Meski aku pengangguran sekarang, bukan berarti aku gak bisa ngasih makan kamu sebagai nafkah, Nad. Simpan uang itu.”
Nadia langsung menarik mundur tanganya dana memasukkan kembali uang itu ke dalam tasnya.
“Lain kali aku gak akan minta makan sate ayam lagi kalau begini,” ujar Nadia di dalam hati. Ia tidak neyangka makan sate ayam saja harus bayar ratusan ribu untuk satu porsi.
semangat /Determined/
ayuk Up lagiih hehee
aditi Aditia kocak beud masak masih amatiran