(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
...Hati Viola remuk redam dalam perjalanan menuju rumah sakit. Di dalam taksi, tatapannya kosong mengikuti riuhnya jalan raya, pikirannya berkecamuk tak menentu. Namun, denting keras ponsel membuyarkan lamunannya. Dengan gerakan cepat, diraihnya benda pipih itu dan dijawabnya panggilan yang masuk....
"Halo," ucapnya lirih.
...Belum sempat ia menarik napas, suara Nyonya Amalia yang membentak menusuk telinganya dari seberang sana....
"Dasar anak tidak berguna!"
...Viola tertunduk semakin dalam, air mata tak tertahankan membasahi ujung blazer pemberian Nyonya Rose yang kini diremasnya erat. Hanya satu kata yang mampu lolos dari bibirnya yang bergetar....
"Maaf."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kamu harus ganti semua kerugian yang sudah kamu perbuat!" pekik Nyonya Amalia, nada suaranya semakin membentak.
Deg!
...Jantung Viola mencelos, berdebar hebat menghantam rongga dadanya. Mengganti kerugian? Jangankan jumlah yang besar, saat ini di dompetnya hanya tersisa sisa tabungan yang tak seberapa. Bagaimana mungkin ia bisa membayar kerugian yang bahkan tak sengaja ia lakukan?...
"Ta-tapi... aku tidak punya uang saat ini," lirih Viola dengan suara tercekat.
"Tidak punya uang?!" bentak Nyonya Amalia tanpa ampun. "Jual dirimu sana! Pokoknya aku tidak mau tahu, dalam waktu singkat kamu harus membayar uang sepuluh miliar itu!" Sambungan telepon terputus begitu saja, meninggalkan Viola dalam keheningan yang mencekam.
"Sepuluh miliar?" gumam Viola, tubuhnya bergetar hebat membayangkan angka yang begitu fantastis.
...Belum lagi keterkejutannya mereda akibat panggilan Nyonya Amalia, ponsel Viola kembali berdering. Nama Tuan Hernan tertera di layar. Dengan jantung berdebar tak karuan, Viola segera menjawab panggilan itu....
"Halo," ucapnya dengan suara gemetar.
"Anak sialan! Apa yang sudah kamu perbuat hingga membuat rekan kerjaku marah, Viola?!" Suara bentakan Tuan Hernan menggelegar dari ujung telepon.
"Aku... aku..." Viola kehilangan kata-kata, bibirnya kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk dalam benaknya.
"Kalau sampai aku dipecat gara-gara ulahmu, jangan harap aku akan memaafkanmu dan wanita lumpuh itu!" hardik Tuan Hernan sebelum memutuskan sambungan telepon dengan kasar.
...Tangis Viola akhirnya pecah tak tertahankan, isakannya mengguncang tubuhnya. Ke mana lagi ia harus mencari pegangan? Satu-satunya tempat ia bersandar kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit....
Dengan suara tercekat, Viola berujar, "Pak... tolong putar arah."
Sopir taksi mengerutkan kening, menatap Viola melalui kaca spion dengan kebingungan. "Lho, bukannya Nona mau ke rumah sakit?"
Viola menggeleng lemah, air mata terus mengalir di pipinya. "Tidak, Pak. Saya tidak jadi ke rumah sakit. Tolong antarkan saya ke jembatan ini," pintanya sambil menunjukkan sebuah alamat di ponselnya dengan tangan gemetar.
"Baik, Nona," jawab sopir itu dengan nada khawatir, lalu segera memutar kemudi.
Aku lelah... aku tidak sanggup lagi menanggung semua ini, Mama... maafkan aku, batin Viola pilu, menundukkan kepalanya dalam-dalam, membiarkan air matanya membasahi pipinya tanpa bisa dihentikan.
...Taksi terus melaju, membawa Viola yang terisak tanpa henti di kursi belakang. Tak lama kemudian, mereka tiba di tempat tujuan....
"Nona, ki-"
"Ini ongkosnya, Pak," potong Viola cepat, menyodorkan beberapa lembar uang tanpa menatap sang sopir.
...Dengan ragu, sopir itu menerima uang tersebut. Ada banyak pertanyaan di benaknya, namun melihat betapa rapuhnya Viola, ia hanya bisa menghela napas berat dan mengambil uang itu....
"Terima kasih, Pak," ucap Viola singkat, lalu membuka pintu taksi, keluar, dan menutupnya kembali dengan gerakan pelan.
...Setelah Viola keluar, taksi itu segera melaju, meninggalkannya seorang diri di tepi jalan. Viola hanya berdiri membeku, matanya nanar mengikuti siluet taksi yang semakin mengecil dan akhirnya menghilang di kejauhan....
...Perlahan, ia berbalik dan melangkah gontai menuju ujung jembatan. Di sana, ia berhenti, menatap kosong ke langit yang mulai memanggang, seolah tak ada lagi harapan di sana....
"Aku harap... setelah ini Mama akan mengerti dan memaafkanku," bisik Viola lirih, suaranya nyaris tertelan angin. "Aku tidak punya jalan lain, Ma... rasa sakit ini... membuatku ingin segera mengakhirinya." Dengan mata terpejam erat, ia melepaskan tas yang tergantung di bahunya, membiarkannya jatuh tanpa suara.
...Tiba-tiba, bagai film yang diputar ulang, kenangan masa kecil yang bahagia menyeruak dalam benaknya. Tawa riang dirinya berlarian dikejar sang ayah, senyum teduh sang ibu yang selalu menemaninya—semua itu hadir begitu nyata, menusuk hatinya yang pilu. Isakannya semakin menjadi, namun paradoksnya, bayangan indah itu justru menguatkan tekadnya. Dengan langkah pasti, Viola berjalan maju menuju tepi jembatan dan meraih dinginnya besi pembatas....
Brak!
"Tunggu!" pekik histeris Nyonya Rose, terhuyung keluar dari mobil dan berlari sekuat tenaga ke arah Viola dengan wajah pucat pasi, di susul Tuan Finn dari belakan yang tak kalah panik berlari ke arah yang sama.
(Bersambung)