Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan
Kabut tipis menyelimuti hutan lebat di bawah. Pepohonan menjulang tinggi dan suara binatang malam sesekali terdengar di antara dedaunan yang bergoyang tertiup angin.
Di balik semak belukar, sosok berbalut hitam berdiri diam seperti bayangan. Tidak ada suara langkah, tidak ada jejak pendaratan. Bahkan dedaunan pun seolah tak berani berdesir saat dia menyentuh tanah.
Alex Chu telah tiba.
Ia berdiri tenang di balik sebuah batu besar, mengamati langit malam yang perlahan dipenuhi bayangan parasut yang turun satu per satu. Cahaya merah kecil di helm para prajurit berkedip di antara pepohonan. Suara perintah terdengar samar dari alat komunikasi mereka.
Beberapa menit kemudian, satu demi satu anggota tim mendarat dengan bunyi duk! khas berat tubuh yang mendarat di tanah basah. Beberapa langsung sigap membentuk formasi bertahan, senjata terangkat, mata menyapu area sekitar.
Kapten Leng Yuran mendarat paling akhir. Dengan gerakan terlatih, ia menggulung parasut dan memberi kode tangan kepada anggota tim untuk menyebar.
Namun tepat saat ia hendak mengambil alat pemindai jarak dekat dari tasnya, matanya menangkap sosok tak asing berdiri diam di sisi kiri formasi — nyaris seperti bayangan.
> “...Alex Chu?”
Matanya menyipit. Ia yakin betul tadi, pria itu belum memakai parasut bahkan ketika dirinya sendiri melompat dari pesawat. Lalu bagaimana mungkin…
> “Tunggu… kapan kau sampai di sini?” tanyanya, nada suaranya ragu.
Alex menoleh perlahan, seperti tidak terganggu oleh tatapan heran semua orang. Ia masih berdiri santai, satu tangan di saku celana militernya, satu tangan lagi menggenggam pisau kecil yang sudah disarungkan kembali.
Matanya tenang, tidak tergesa.
> “Beberapa menit yang lalu,” jawabnya datar.
Leng Yuran terdiam.
> “Dan… parasutmu…?” tanyanya lagi, kali ini nyaris berbisik.
Namun Alex hanya menatapnya sebentar lalu mengalihkan pandangan. Tidak ada jawaban. Tidak ada penjelasan. Seolah pertanyaan itu tidak penting untuk dijawab.
Beberapa prajurit saling pandang. Salah satu dari mereka berbisik,
> “Apa dia… teleportasi?”
Yang lain menggeleng cepat, menahan tawa yang bercampur cemas.
> “Gila kau… mana mungkin. Tapi…”
Tapi tak ada penjelasan yang bisa menjawab kenyataan bahwa Alex Chu — yang tadi terlihat santai di pesawat tanpa persiapan — kini sudah berada di tanah lebih dulu dari mereka semua. Bahkan titik pendaratannya… nyaris sempurna. Tidak ada luka. Tidak ada tanda kelelahan.
Leng Yuran sempat ingin bertanya lagi, namun akhirnya ia hanya mendesah.
> “Terserah…”
Ia membalikkan badan dan mengatur formasi.
> “Semua tim, bergerak! Tim 1 ke utara, Tim 2 ikuti saya!”
Seluruh pasukan kembali fokus.
Namun di dalam hati, tak seorang pun bisa mengabaikan misteri yang baru saja mereka saksikan.
Alex Chu bukan hanya prajurit.
Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari itu. Sesuatu yang bahkan tak masuk dalam laporan militer, bahkan dalam imajinasi mereka.
Dan malam itu, di tengah hutan yang asing dan misi berbahaya yang belum mereka jalani, satu hal menjadi sangat jelas—
Mereka bukan lagi pasukan elit terkuat di sini.
Ada seseorang di antara mereka yang berdiri di puncak rantai kekuatan.
Dan dia bahkan… tidak membutuhkan parasut.
Kapten Leng Yuran memimpin di depan, dengan dua anggota tim di sisi kanan dan kiri sebagai penjaga formasi. Senjata di tangan mereka terangkat, mata tajam menyapu setiap semak dan bayangan yang mencurigakan. Mereka sudah terlatih untuk menghadapi kondisi ekstrim, namun malam ini terasa berbeda.
Ada tekanan di udara yang tidak biasa.
Di belakang barisan, Alex Chu berjalan tanpa suara. Tubuhnya tegak, langkahnya stabil, tidak tergesa, tidak pula gugup. Tidak seperti yang lain, dia tidak menoleh ke kiri atau kanan. Matanya bahkan setengah terpejam, seperti orang yang sedang bermeditasi, atau justru... bosan.
Salah satu prajurit menoleh ke belakang, memperhatikan sosok Alex.
> “Apa dia... beneran ngerti ini misi serius?” bisiknya ke rekannya.
Rekannya hanya menggeleng pelan.
> “Diam.
Mereka kembali berjalan. Setiap langkah terasa berat karena ketegangan.
Namun Alex Chu... tetap tenang.
Langkah kakinya tidak meninggalkan jejak lumpur. Bahkan suara ranting patah pun tak pernah terdengar dari arah jalannya.
Prajurit di tengah tim mulai merasa risih. Bagaimana bisa seseorang berjalan begitu santai seolah sedang berwisata malam?
Kapten Leng Yuran sesekali menoleh ke belakang, menahan keinginan untuk menegur lagi. Tapi setelah melihat tatapan kosong Alex yang seolah tak peduli dunia, dia hanya bisa menarik napas dalam.
> “Terserah kau,” gumamnya pelan.
Beberapa binatang malam melintas cepat, menyebabkan sebagian prajurit kaget dan bersiaga. Namun Alex Chu bahkan tidak mengangkat alis.
Mereka menyeberangi sungai dangkal, airnya dingin menggigit, membuat kaki sebagian prajurit bergetar. Tapi langkah Alex tak berubah, air nyaris tidak menyentuhnya seolah-olah permukaan itu padat di bawah pijakannya.
Mereka naik ke sebuah tanjakan, medan mulai menanjak dan semakin sulit dilalui. Batu-batu besar dan akar pohon membuat sebagian prajurit tersandung. Nafas mulai berat.
Tapi suara langkah Alex tetap konstan. Ringan. Nyaris tak terdengar.
Kapten Leng Yuran mulai merasa ada yang aneh. Sosok itu terus berada di belakang mereka... namun entah kenapa, dia selalu menjaga jarak yang sama. Tidak pernah tertinggal. Tidak pernah menyusul.
Seperti... bayangan.