Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan sparing!
Suasana latihan pagi di pelataran barat Sekte Pedang Azura telah usai. Cahaya matahari menggantung rendah, mengintip dari celah pohon-pohon cemara. Para murid baru menyeka peluh dari pelipis mereka, beberapa masih duduk bersila menstabilkan napas usai mengolah qi. Namun riak yang lebih besar baru saja dimulai.
Aura keemasan yang tadi pagi terpancar dari Banxue masih membekas di udara. Meski samar, para guru dan tetua yang turut menyaksikan latihan itu menyimpan kegelisahan. Beberapa bahkan mengirim transmisi suara secara diam-diam.
"Qi seperti itu tak seharusnya muncul dari murid biasa," ujar Tetua Hua, alisnya berkerut dalam saat berjalan ke ruang pertemuan utama.
"Bukan sekadar kekuatan... itu seperti tubuh surgawi..." bisik Tetua Lang yang menyertainya.
Di ruang dalam yang dikelilingi ukiran naga dan burung phoenix, lima tetua utama telah berkumpul. Di antara mereka duduk pula dua tokoh muda Jingyan dan seorang murid elit generasi kedua yang duduk dengan kaki bersilang, matanya tajam seperti mata pedang. Dialah Mo Yanzhou.
"Kalian melihatnya sendiri," ujar Tetua Qian. "Apa pendapat kalian?"
Jingyan menyandarkan punggung, lalu berkata, "Aura itu bukan aura biasa. Qi-nya tidak liar, tapi juga bukan hasil dari teknik latihan internal umum. Rasanya... seperti tubuhnya mengalirkan langit."
Mo Yanzhou tak segera menjawab. Ia hanya menyipitkan mata. "Dia terlalu mencolok untuk murid baru. Bisa saja dia ditanam seseorang. Atau membawa sesuatu yang seharusnya tak ada di sini."
Tetua Lang menoleh. "Maksudmu dia berbahaya?"
"Belum tentu. Tapi dia harus diawasi," jawab Yanzhou tegas.
Di luar aula, Banxue baru saja mengganti pakaiannya yang basah oleh peluh. Ia tak menggubris pandangan para murid lain yang sejak latihan tadi tak henti mencuri pandang. Bahkan bisik-bisik pun tak ia hiraukan. Namun langkah kaki ringan di belakangnya tetap ia sadari.
"Kau menyita banyak perhatian hari ini," ujar suara yang tak asing.
Banxue menoleh sedikit. Jingyan berdiri di belakangnya, menyeringai kecil.
"Kau lagi," gumam Banxue datar.
"Ya, aku. Murid paling ramah yang pernah kau temui."
"Ramahlah pada orang lain."
Jingyan tertawa pelan, tapi kemudian suaranya merendah. "Kau tahu, tubuhmu tadi... tidak seperti murid biasa. Aku yakin para tetua menyadarinya. Kau harus berhati-hati."
"Aku tidak melakukan apa-apa. Qi-ku mengalir seperti biasa."
"Justru itu yang membuatnya luar biasa. Qi orang biasa tidak bersinar seperti matahari pagi, Banxue."
Banxue terdiam. Tapi di hatinya, ia tahu peringatan itu bukan omong kosong.
"Kalau suatu saat kau butuh bantuan," lanjut Jingyan dengan nada tulus, "kau boleh mencariku."
"Aku tak butuh bantuan siapa-siapa."
"Kau selalu berkata begitu. Tapi tak ada orang yang bisa berjalan jauh sendirian."
Sebelum Banxue bisa membalas, sebuah suara berat dan dingin memotong.
"Hmph. Saling bersimpati di halaman sekte? Terlalu santai."
Mo Yanzhou berdiri hanya beberapa langkah dari mereka. Tatapannya menusuk, dan ia bicara langsung pada Banxue. "Aku ingin mengujimu."
"Apa sekarang semua murid elit suka muncul mendadak?" gumam Banxue, menatap balik tanpa gentar.
"Kau terlalu menonjol. Aku tak suka misteri yang menyusup ke tempat suci seperti ini."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Sparring. Satu lawan satu. Besok pagi. Di ring pelatihan utama."
Jingyan tampak ingin menimpali, tapi Banxue lebih dulu menjawab.
"Baik. Kalau itu membuatmu diam."
Yanzhou tersenyum miring, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Udara seolah ikut menegang. Jingyan menghela napas.
"Kau membuat banyak musuh hari ini."
"Kalau mereka ingin mencoba, biarkan mereka datang. Aku tak pernah takut sejak hari sekteku dihancurkan."
"Banxue..."
"Dan kau, Fengyu," suara Banxue menegang, meski pelan. Fengyu yang baru datang terpaku di ambang koridor.
"Jangan pernah menyembunyikan hal penting dariku. Kalau kau melakukannya, lebih baik kau menjauh dari hidupku."
untuk kesekian kalinya ia memperingatkan fengyu.bahwa apapun kebohongan yang ia simpan itu akan berdampak pada kepercayaanya.
Fengyu terlihat terdiam, nyaris tertusuk oleh ketegasan itu. Tapi ia menunduk, lalu menjawab pelan:
"Aku mengerti. Aku tak ingin kehilangan satu-satunya hal yang masih bisa kupercaya."
Banxue tak menjawab, tapi ia melangkah pergi. Jingyan menatap punggungnya yang menjauh dengan senyum samar. Langkah-langkah menuju takdir baru telah dimulai.