Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Legenda Acalopsia
Semburat keperakan yang terpantul dari sisi langit seperti pantulan air mata bahagia. Jalan tanah yang terpisah dari perkebunan Tallava mulai menanjak, membelah ladang liar dan padang bunga yang tak terawat.
Sion berjalan di sisi kiri, memikul dua buntalan kain. Di kanan, Sissel dengan rambut merahnya yang berayun lembut diterpa angin pagi. Wajah mereka penuh semangat yang sulit dijelaskan.
“Jalan ini tampaknya jarang dilalui,” gumam Sion sambil melangkah di antara rumput tinggi yang menyapu betis.
Sissel mengangguk. “Tidak banyak yang mau ke Syrren. Tempat itu terlalu sepi… dan mungkin karena ada mestiz sepertiku,” guraunya.
Sion hanya menanggapi dengan senyuman. Ia memperhatikan langit, dedaunan, batu-batu besar di sisi jalan. Burung-burung kecil berwarna perak yang menukik rendah—semua terasa baru sekaligus menyegarkan. Bukan karena ia belum pernah melihat alam, tapi karena inilah kali pertama ia berjalan sebagai dirinya sendiri, meski dengan identitas palsu.
Hari pertama perjalanan terasa cepat. Mereka berhenti saat matahari tergelincir, di pinggir aliran sungai kecil yang jernih. Sissel menggelar kain dan membuka bungkusan bekal: roti panggang isi rempah, telur rebus, dan buah anggur kering.
“Kau yakin tak menyelipkan daging di salah satu ini?” goda Sion.
“Jika aku punya daging, aku sudah makan itu duluan dan tidak akan membaginya denganmu!” sahut Sissel sambil memanyunkan bibirnya. Ada sedikit rasa kesal mendengar protes dari lelaki yang ia bagi makanan. Sion tertawa mendengar responnya.
Mereka makan bersama di atas bebatuan dengan kaki menjuntai ke air. Setelah itu, melanjutkan perjalanan hingga senja datang membawa kabut tipis yang menyelimuti langit.
Ketika malam mulai turun, mereka menemukan sebuah gua kecil di balik rerimbunan akar dan batu-batu besar. Tempat itu cukup luas untuk dua orang. Dindingnya berlumut, tapi kering. Suara angin teredam. Aman dan hangat.
Sion memungut ranting-ranting kering dan menyusunnya menjadi api unggun kecil untuk menghangatkan tubuh. Cahaya jingga menari di wajah mereka, membuat mata Sissel tampak berkilau keemasan. Lagi-lagi Sion terkesima dengan aura menari yang tampak dari wanita itu. Ia berusaha mengabaikannya.
Sissel bersandar di dinding gua, menggigit sepotong roti lagi. “Apa kau tahu bagaimana dunia kita ini bisa ada?”
Sion menoleh keheranan mendengar pertanyaan tiba-tiba yang Sissel ajukan kepadanya. “Kenapa kau menanyakannya?”
“Ya… aku hanya penasaran,” jawab Sissel Santai.
Sion meraih beberapa batang kayu untuk memperbesar nyala api di hadapan mereka. “Menurut cerita yang aku dengar, dunia kita berasal dari tetesan air mata manusia yang memohon kepada Lumelith di dunia bawah. Dunia tempat mereka tinggal terlalu banyak kerusakan dan dosa.”
“Tangisan mereka yang penuh harapan naik ke langit, bersama doa-doa yang mereka panjatkan siang dan malam. Air mata mereka menguap, berkumpul menjadi awan, mengalir seperti embun suci... dan Lumelith, yang Maha Pengasih, menjadikannya tanah.”
Sissel diam sembari menyimak cerita Sion sungguh-sungguh. Matanya melembut.
Sion melanjutkan, “Tuhan menempatkan arwah orang-orang baik dari dunia bawah ke dunia suci ini, memberkati mereka dengan tubuh bercahaya dan memberi nama baru: elf. Mereka hidup damai di tanah yang bersinar, dunia yang mereka harapkan.”
“Tapi kalau begitu,” potong Sissel, “dari mana datangnya orc?”
Sion menarik napas. Ia sangat membenci untuk membahasnya. Makhluk hina itulah yang membuat seluruh keluarganya binasa.
“Itulah ironi dari semua kisah penciptaan... Tak semua yang hidup dalam cahaya bisa menghindari bayangannya sendiri.”
Ia menatap Sissel, lalu berkata, “Sebagian elf terlalu tamak. Mereka menginginkan kekuasaan yang lebih. Mereka tak puas sebelum bisa menjadi Tuhan.”
“Mereka mencari kekuatan dari luar, bersekutu dengan iblis. Sayangnya, tubuh suci elf tidak bisa memuat kegelapan. Ketika mereka menerima kekuatan gelap, tubuh mereka rusak. Auranya hilang tergantikan dengan kegelapan. Mereka membusuk dari dalam, berubah menjadi makhluk berlumpur… busuk… dan penuh kebencian.”
“Mereka tidak bisa hidup di dekat cahaya lagi. Mereka lari ke pegunungan, bersembunyi di gua-gua paling kelam Acalopsia. Lalu … mereka mulai melahirkan kegelapan baru.”
Sissel masih menatap api, wajahnya penuh renungan. “Aku tak pernah mendengar kisah itu sedetail ini,” bisiknya. “Kau tahu banyak hal, Sion.”
Sion tersenyum kecil. “Semua aku dengar dari cerita Paman Barja.”
“Hm, pamanmu itu sangat luas wawasannya.”
Sion yang sedang memutar kayu di atas api menoleh. “Paman memiliki banyak teman. Termasuk salah satunya yang bekerja di istana sebagai penjaga gerbang.”
Sissel memeluk kedua kakinya. “Aneh … Mengapa kebaikan selalu melahirkan kebalikan yang begitu mengerikan?” gumamnya.
Sion mengangkat bahu. “Mungkin karena cahaya yang paling terang akan menimbulkan bayangan yang paling gelap.”
Malam kian larut. Bintang-bintang menari di atas langit Acalopsia yang bersih. Api mulai meredup, hanya menyisakan bara dan sinar hangat. Sissel tertidur lebih dulu, tubuhnya dibalut selimut dari jubah tipis.
Sion duduk bersandar, masih terjaga.
Ia menatap wajah temannya itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat Sissel bukan sebagai Mestiz yang ditindas, bukan sebagai gadis keras kepala yang suka membantah, melainkan... sebagai wanita.
Wajahnya diterangi cahaya api, memperlihatkan gurat pipi yang lembut. Alis yang tenang dan bibir yang sesekali bergerak pelan seperti sedang berbicara dalam mimpi.
Ada kehangatan yang tumbuh diam-diam di dada Sion. Rasa yang tak pernah ia izinkan muncul perlahan menyelinap masuk seperti kabut di pagi hari. Sissel yang dulu hanya tampak sebagai sosok pendiam dan terluka kini berubah di matanya. Semakin lama bersama, semakin ia menemukan sisi-sisi indah yang tersembunyi di balik kerasnya suara dan tajamnya tatapan.
Ia tersenyum samar. Di dalam dirinya ada getaran yang tak ia kenali. Sebuah kekaguman yang mulai tumbuh … diam-diam mengakar … tak ia undang, tapi juga tak sanggup ia tolak.
“Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku mulai memperhatikannya begini,” batinnya lirih. “Dia bukan hanya kuat, dia juga indah... dan … aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”
Ia mengalihkan pandang sebentar, mencoba menenangkan dirinya sendiri, lalu menatap lagi. Dan semakin ia menatap, semakin ia tenggelam dalam perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Sion memejamkan mata. Tapi yang tergambar di balik kelopaknya bukan langit atau api—melainkan Sissel.
Ketika malam membuat mereka terlelap, dalam keheningan yang tenang itu, ada suara kecil dari luar gua. Ranting yang patah. Langkah yang berhati-hati.
Bayangan bergerak cepat di balik semak.
Dua elf muda berwajah gelap dan bertudung, melongokkan kepala. Mereka melihat api, lalu melihat dua buntalan yang disandarkan di dinding.
Dengan gerakan cepat dan terlatih, mereka menyusup masuk, meraih bungkusan makanan, dan membungkusnya dengan kain. Salah satu dari mereka mencuri roti dan buah, yang lain menyambar kantung ramuan. Mereka menahan napas saat Sion menggerakkan kepala—tapi tidak bangun.
Lalu, mereka menghilang secepat datangnya, meninggalkan gua yang hanya menyisakan kehangatan dari api.