NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:361
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sedikit tak suka

Matahari tampak malu-malu untuk keluar dari tempatnya, tetapi gadis cantik itu sudah berada di pasar bersama pembantunya. Oline tampak tak terbiasa dengan cuaca sedingin ini, dia merapatkan jaketnya, jika saja dia tahu kalau pagi buta seperti ini cuaca akan sangat dingin di desa ini dia lebih baik memilih tidur, bersembunyi di balik selimut empuknya yang lumayan tebal.

Perkampungan ini memang berada di dataran tinggi dekat dengan pegunungan dan bukit-bukit, wajar saja cuaca sangat dingin jika pagi menjelang.

Oline memilih bahan-bahan adonan kue, dia berniat membuat aneka cemilan untuk teman-teman nanti siang, sebenarnya dia tidak tahu jam berapa nanti Vanya dan Devanka datang kerumahnya tetapi Oline sudah lebih dulu berinisiatif untuk membuat makanan ringan.

Oline kembali merapatkan jaket yang ia kenakan, udara dingin ini seperti menusuk-nusuk hingga ke tulang belulangnya, entah sudah beberapa kali dia bersin-bersin karena cuaca dingin ini.

“Non tidak apa-apa?”

“Enggak kok, Bi.”

Mereka kembali melihat-lihat isi pasar yang masih lumayan ramai dengan ibu-ibu serta anak-anak kecil yang bermain di sekitaran tempat orang berjualan.

“Non cantik itu siapa?” tanya seorang wanita paruh baya kepada pembantu Oline.

“Oh itu, keponakannya Tuan Bara,” jawabnya singkat.

“Cantik sekali ya ....” sambung ibu-ibu yang lain.

Pipi Oline merona mendengar pujian ibu-ibu di pasar tersebut.

“Liburan di sini?”

“Tidak, non Oline sekolah di sini. Katanya setelah lulus dia akan di kuliahkan di luar negeri,” jelas sang pembantu.

“Wah ... hebat atuh, sampai ke luar negeri sekolahnya.”

“Biasa orang berduit mah gitu, pendidikan harus tinggi,” timpal yang lain.

Oline dan pembantunya hanya tersenyum lalu pamit undur diri untuk pulang, mereka pulang naik mobil. Oline tidak berani pulang dengan jalan kaki karena pasti pamannya akan marah besar jika mengetahuinya.

Memang di rumah itu ia diperlakukan layaknya tuan putri, tetapi karena ayahnya mendidik dia dengan tegas, yang jika dia menginginkan sesuatu harus berjuang terlebih dahulu untuk mendapatkannya, Oline menjadi tidak terbiasa, dia juga tidak ingin merepotkan orang lain jika menginginkan sesuatu, tetapi pamannya akan menegur jika Oline melakukan apapun sendiri.

“Kalau kau masak sendiri lalu apa gunanya ada pembantu di rumah ini,” ucap Bara saat itu, ketika dia tidak sengaja memergoki Oline dengan pisau dan bawang di tangannya.

Semenjak itu Oline di larang pergi ke dapur, menurut Bara itu adalah pekerjaan seorang pembantu, dan Oline dilarang keras untuk mendekat apalagi menyentuhnya. Oline hanya di suruh untuk sekolah, belajar, dan pergi berbelanja itu saja, tetapi Oline yang tidak terbiasa berdiam diri akan melakukan pekerjaan rumah jika Bara sedang tidak ada di rumah. Meski pembantu rumah tangga tersebut sering melarangnya karena takut Tuannya—Bara tahu semuanya.

Setelah sampai di rumah, Oline langsung menuju dapur untuk membuat kue yang dia inginkan, sang pembantu menawarkan dirinya tetapi Oline menolak begitu saja. Terpaksa pembantu itu membuat sarapan seperti biasanya.

“Kau sedang apa?” tanya Bara mengangetkan Oline dan sang pembantu.

Pembantu itu merasa ketakutan, dia takut tuannya akan marah melihat sang ponakan yang masak sendiri, menyadari hal itu Oline langsung menenangkan sang pembantunya.

“Ini inisiatif aku sendiri, membuat kue untuk cemilan teman sekolah yang sebentar lagi ingin belajar kelompok di sini.”

“Bukannya kemaren aku udah minta ijin ya sama paman, eh Bara,” ucapnya gugup, ketika melihat ekspresi wajah datar Bara ketika tak sengaja ia panggil dengan sebutan paman.

“Memangnya Bibi tidak bisa membuat kue?” tanyanya kepada Bibi.

Matanya dengan tajam menatap wanita paruh baya tersebut.

“Tetapi aku ingin membuatnya sendiri tanpa bantuan Bibi, lagi pula Bibi 'kan harus membuat sarapan untuk kita,” jawab Oline cepat.

Dia tahu keringat dingin sudah memenuhi sekujur tubuh wanita yang berada tepat di sampingnya tersebut, itu membuat Oline tidak tega melihatnya.

“Membuat kue apa?”

“Brownies.”

Bara tampak mengangguk menandakan ia mengerti.

Tepat setelah baru saja selesai sarapan, satpam Bara masuk mengabarkan ada dua teman Oline yang berkunjung ingin belajar kelompok bersamanya. Tentu saja Bara langsung menyuruh mereka masuk, mereka duduk di ruang tamu, tak lama setelahnya Oline datang dan turut bergabung dengan teman dan pamannya.

Bara menatap tajam ke arah Devanka, menyadari tatapan yang tidak enak dari Bara, Devanka langsung menundukkan kepalanya guna menghindari tatapan dingin Bara. Entah karena apa, Bara tidak seperti tidak suka kepada Devanka. Sedangkan hari ini Vanya terlihat banyak terdiam yang membuat Oline merasa curiga atas sikapnya yang tidak biasa.

“Mau mulai sekarang?”

“I—iya,” jawab Vanya dengan terbata.

“Mungkin grogi karena ada paman Bara,” pikir Oline.

“Aku ingin belajar!” ucapnya tegas kepada Bara.

“Lalu?” tanya Bara tak mengerti atau sedang pura-pura tidak mengerti.

“Aku ingin belajar bertiga,” ucapnya takut-takut sambil menggigit bibir bawahnya.

Bara mengangkat salah satu alisnya, sebenarnya dia mengerti arah pembicaraan keponakannya ini.

“Kau mengusirku?”

“Bu—bukan begitu,” jawab Oline merasa bersalah.

“Ok baiklah, selamat belajar.”

Bara berlalu pergi meninggalkan ketiga remaja tersebut, sebelum pergi matanya terus saja mengawasi Devanka yang masih menundukkan kepalanya.

Acara belajar kelompok hari itu berjalan tanpa ada candaan yang menghiasi, mungkin mereka terlalu serius atau mungkin juga mereka mempunyai masalah pribadi, tetapi Oline menangkap ekspresi ketakutan dan rasa khawatir dari raut wajah Vanya, pasalnya sepanjang mereka belajar Vanyalah yang kurang fokus atau lebih tepatnya tidak fokus, dia lebih banyak melamun meski pada saat Oline menawarkan brownies buatannya sendiri.

“Kamar mandinya dimana?” tanya Vanya.

Oline menunjukkan letak kamar mandi di rumah itu.

Karena tak kunjung kembali Oline berinisiatif menyusul Vanya ke kamar mandi, tetapi di sana Oline melihat Vanya sedang melamun di depan cermin, Oline menepuk pundak Vanya, Vanya terlonjak kaget dan berkeringat dingin. Itu semakin membuat Oline curiga.

“Kamu kenapa?”

Vanya hanya menggeleng.

“Gak papa, kok.”

Oline menatap mata Vanya, terlihat kebohongan di sana. Tetapi Oline tidak ingin mencampuri masalah Vanya, jika Vanya sendiri tidak mau bercerita kepadanya. Dia sadar mereka baru mengenal satu minggu yang lalu, belum saatnya Vanya terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Itulah yang dipikirkan Oline saat ini.

Oline kembali menemui kedua temannya yang sudah membereskan buku-buku yang mereka bawa tadi dan memasukkannya kembali ke dalam ransel masing-masing.

“Habiskan dulu browniesnya.”

“Ini kamu yang buat?” tanya Devanka.

“Iya,” jawab Oline singkat.

“Enak sih, cokelatnya gak bikin eneg,” puji Devanka.

“Benarkan Vanya?” tanya Devanka kemudian meminta persetujuan dari Vanya yang masih terlihat melamun.

“Vanya!” kata Devanka setengah berteriak sambil menjentikkan jarinya di depan Vanya.

Entahlah apa yang sedang Vanya pikirkan saat itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!