"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sad night.
‘Pagi, Sel. Udah sarapan belum?’
‘Sel, sibuk nggak? Bisa bantuin aku bentar?’
‘Sel, sini, ada jajanan.’
‘Sel, kita mau pesan makan. Kamu mau pesan juga nggak?’
‘Sel, kita duluan ya. Bye.’
‘Sel….’
‘Sel….’
‘Sel….’
Sora benar-benar memenuhi permintaan Tama untuk tidak mengabaikan Giselle di kantor. Apapunlah, asal Tama senang saja. Setelah malam itu, Sora selalu berusaha mengingat Giselle. Apa-apa, dia pasti melibatkan perempuan itu dalam setiap hal yang terjadi di dalam ruangan. Baik hal penting maupun yang tidak.
Hanya saja, dia tidak bisa melakukan hal serupa kepada Tama. Sekeras apapun dia ingin kembali seperti dulu, selalu gagal. Terlalu sulit mengingat apa yang terjadi saat ini. Dia memilih untuk tetap menjaga jarak dengan laki-laki itu dan berkomunikasi seadanya saja.
Tentu saja Kayla heran melihat perubahan sikap Sora ke Giselle. Sudah pasti ada yang tidak beres. Suatu hari, Tama dan Giselle tidak ada di kantor. Dita memaksa Sora bercerita kepada mereka semua tentang apa yang sedang dia sembunyikan. Kepada Kayla, Julian, Axel dan Jo.
“Jujur, Ra. Pasti ada apa-apa ‘kan?” Kayla sangat yakin kalau dia tidak salah.
“Apaan, Kayyy? Gue nggak paham maksud lo.”
“Akhir-akhir ini lo open banget ke Giselle. Kenapa tiba-tiba kayak itu?”
Sora terkekeh menutupi rasa bingung yang kini melanda. Dia tidak mungkin jujur kalau Tama sudah menekan dirinya tentang ini ‘kan? Nanti teman-temannya semakin membenci pria itu. Sora sama sekali tidak ingin membuat imej Tama semakin jelek.
“Nggak kenapa-kenapa, Kay. Gue baru sadar aja, kalau gue nggak punya alasan untuk menjaga jarak dengan dia. Itu sedikit nggak adil by the way. Karena dia anak yang baik.” Sora berdalih.
Karena sudah cukup mengenal Sora, Kayla semakin yakin kalau perempuan itu sedang menyembunyikan sesuatu. Namun dia memilih untuk menghormati pilihan Sora. Di hari-hari berikutnya, Kayla juga terpaksa ikut membuka diri terhadap Giselle. Karena misalkan Sora mengajaknya ikut makan, ya kali Kayla menolak tidak setuju 'kan?
Tapi tidak ada perubahan yang signifikan dari Axel dan Jo. Kedua orang itu tetap punya caranya sendiri untuk menyikapi Giselle yang diduga sudah banyak mempengaruhi Tama. Dia adalah penyebab Tama semakin jauh dari mereka.
Hari berganti minggu. Tidak ada yang aneh selain Tama yang mulai sering masuk ke unit apartemen Sora. Seenaknya. Laki-laki itu sama sekali tidak mengembalikan kunci yang pernah dia ambil. Malah dia simpan dan dia pakai untuk masuk ke dalam unit itu, kapan saja dia mau.
“Lo ngagetin, tau nggak, Tam?!” Seperti sekarang contohnya. Sora baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Seingatnya, tadi dia sudah mengunci pintu. Tapi lihatlah sekarang. Laki-laki itu malah sudah duduk di sofa ruang tamunya sambil bermain game yang ada di gadget.
“Gue lapar.”
BUK!
Sora melempar bantal sofa ke arahnya. “Ini bukan apartemen lo, Tama! Stop masuk ke unit gue seenak jidat lo!”
“Gue punya kuncinya. Berarti ini unit gue juga,” jawab laki-laki itu santai, seakan tidak ada beban. Matanya masih menempel lekat ke layar ponsel.
“Lo emang sinting! Serah lo deh! Gue malas ngeliat muka lo!” Padahal tadi dia keluar karena lapar dan ingin memanaskan sesuatu yang ada di kulkas. Namun mood-nya langsung anjlok lantaran ada si kunyuk ini. Perempuan itu berbalik dan berniat kembali masuk ke dalam kamarnya.
Namun tangan kirinya tau-tau ditarik hingga pinggulnya terjatuh di atas sofa. Lebih tepatnya, di space kosong yang tercipta di antara kedua paha Tama. Dalam artian, dia ada di depan tubuh laki-laki itu.
Ya, kini kedua tangan Tama kembali menyatu, memegang ponsel yang ada di depan dadanya. Laki-laki itupun menjulurkan dagu melewati pundak Sora. Secara tidak langsung, Tama sedang memeluknya ‘kan?
“Lima menit lagi game gue beres.”
“Lo emang minta digiling, Tam! Awas ah! Gue nggak suka!” Sora memberontak. Otomatis permainan laki-laki itu terganggu. Sampai akhirnya Tama memutuskan melempar ponsel dan memeluk pinggang perempuan itu erat-erat. Sora semakin berdebar dan kacau.
“Tam, kalau Giselle tau ini, gue bisa ada dalam masalah." Dia mengingatkan baik-baik, dengan suara yang mulai bergetar. Ah, apakah pertahanan Sora akan runtuh? Pelukan Tama membuatnya kembali mengingat cinta yang bertepuk sebelah tangan.
“Hanya seperti ini, Ra. Seperti ini saja, sudah cukup.”
Sora tidak mengerti. Namun yang dia rasakan Tama semakin membuatnya sesak dan tidak bisa bernapas. Laki-laki itu mencium leher serta menghirup aroma tubuhnya dengan agresif.
Sora menyerah. Dia pasrah. Perempuan itu membiarkan Tama melakukan apapun yang dia mau, asalkan setelah itu harus segera keluar dari unit ini.
Hingga belasan menit berlalu, wanita itu menyadari pelukan Tama mengendor. Kini titik beban berpindah ke pundaknya yang terasa semakin berat, karena laki-laki itu tertidur di atas sana. Sora menghela napas. Tama memang menyusahkan!
Dengan hati-hati dia menopang pipi pria itu dan melepaskan diri perlahan. Kemudian dia merebahkan tubuh Tama dengan susah payah. Pria tampan ini benar-benar tidur dengan lelap. Sora hanya bisa geleng-geleng kepala.
Apakah Sora harus menormalisasi Tama yang akhir-akhir ini langganan tidur di sofa miliknya? Setidaknya hal seperti ini hampir terjadi setiap malam sejak gathering itu. Tama suka tidur di sini, dan saat Sora bangun pagi-pagi, dia sudah kembali ke sebelah tanpa berpamitan.
Benar-benar membuat Sora kebingungan. Kadang perempuan itu malah tidak tau kapan dia masuk dan kapan dia keluar. Apakah ini normal? Apakah ini wajar kalau dibiarkan begitu saja? Sungguh, Sora sangat khawatir kalau sampai Giselle tau.
Sora masuk ke kamar untuk mengambil bantal dan selimut. Tentu saja dia tidak ingin pacar Giselle ini kedinginan. Diangkatnya kepala Tama untuk mengganti batal sofa dengan bantal biasa. Kemudian dia menyelimuti pria itu dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Sebelum kembali ke kamar dan menguncinya, Sora duduk di atas karpet sambil memeluk lututnya. Posisinya persis di depan wajah Tama yang terlihat begitu tenang. Tidak apa-apa ‘kan kalau dia sedikit serakah? Dia ingin menikmati pemandangan ini selagi orangnya tidur. Selagi orangnya tidak sadarkan diri.
Sora menyentuh poni yang menjuntai di depan kening Tama dan menyibaknya pelan ke atas. Duhhh, hanya seperti ini saja perasaan wanita itu sudah diserbu rasa haru. Dia sangat merindukan laki-laki ini. Dia sangat ingin kembali ke masa-masa dimana Giselle belum ada. Dia rindu Tama yang dulu. Dia rindu kebersamaan mereka berdua. Dia rindu dunia Tama hanya seputar Sora seorang.
Tanpa sadar netra gadis itu berkaca-kaca. Rasa sedih yang begitu mendalam, kembali menggerogoti hati Sora sampai rasanya begitu sakit. Cinta sepihaknya kepada Tama membuat hari-harinya terasa berat.
Kadang dia begitu iri kepada Giselle yang merupakan orang baru dalam kehidupan Tama, namun sangat beruntung mendapat hati laki-laki itu. Sora iri. Jealous. Bolehkah dia berharap, suatu saat keberuntungan itu berpindah pada dirinya? Apakah itu mustahil?
Saat Sora menarik nafas, suara hidungnya yang mulai berair juga ikut terdengar. Saat itu juga, dia sadar kalau dia sudah terbawa suasana. Ck. Sadar, Sora! Sekalipun Tama sedang tidur, dia tetaplah milik Giselle!
Perempuan itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Namun, sebelum itu, bisakah dia memberikan good night kiss seperti dulu? Sekali saja. Tidak apa-apa ‘kan? Toh Tama sedang tidur. Dia tidak akan sadar.
Dengan hati-hati, Sora mengecup pelipis Tama yang sedang tidur dalam posisi miring. Dia tidak berani menekan bibirnya. Hanya menempel dan itupun hanya beberapa detik saja.
“I love you, Tam,” bisik Shanon teramat pelan. Dia yakin, bahkan roh Tama pun tidak mungkin bisa mendengarnya.
Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menjauhi sofa. Sebelum masuk ke dalam kamar, tidak lupa dia mematikan lampu ruang tamu supaya Tama bisa tidur dengan nyenyak.
Bunyi pintu yang tertutup menjadi tanda kalau Sira sudah tidak ada di ruangan itu. Saat itu pula, kedua mata yang sejak tadi terpejam, mulai terbuka secara perlahan. Sedikit mengerjap karena air mata Shanon sempat mengetahui bulu matanya.
Tama sama sekali tidak tidur.
***