Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lukisan Anak Ireng
Mentari
Aku masuk semakin dalam ke kamar Senja. Kuambil lukisan yang ditaruh dalam figura dan menatapnya sambil tersenyum. Tentu saja aku ingat lukisan di tanganku ini, aku sendiri yang membuatnya.
Waktu itu aku dan Senja masih anak-anak. Om Kusno datang bertamu bersama Senja. Senja waktu kecil terlihat amat kucel, kulitnya hitam karena sering terbakar matahari.
"Oalah, Ja, kamu tuh kalau di dekat Mentari kayak kopi dan susu. Ireng sekali kamu!" ledek Om Kusno pada anaknya sendiri.
"Ish, sama anak sendiri kok dikatai sih, No?" Bapak pun membela Senja. "Dia ireng juga karena rajin menemani kamu ke pasar untuk jualan!"
"He... he... he.... iya juga ya. Nanti, kalau Bapak sukses, kamu Bapak bayari untuk perawatan! Biar bening dan banyak yang suka sama kamu!" kata Om Kusno.
"Sudah, kita omongin bisnis saja! Biarkan anak-anak bermain!" tegur Bapak. "Tari, ajak Senja bermain di luar!"
"Ayo, Ja!" Kami memang sebaya, karena itu kami saling memanggil nama saja. Kuajak Senja si dekil itu ke halaman depan bersama Purnama. Kuberikan kertas dan crayon warna untuknya dan Purnama. "Ini!"
"Untuk apa?" tanya Senja.
"Kita melukis hari ini," jawabku.
"Melukis? Apa yang harus aku lukis?" tanya Senja lagi.
"Apa saja. Kamu boleh melukis gunung di depan sana, sawah atau kamu bisa melukis aku. Terserah kamu mau melukis apa yang penting kamu jangan menggangguku!" kataku.
"Oke!"
Siang itu kami akhirnya akur. Tidak bertengkar. Tidak membuat kedua orang tua kami harus memisahkan kami yang sering saling ejek. Tidak juga membujukku yang menangis sehabis dijahili Senja. Senja bersikap manis. Dia asyik dengan kertas dan crayon yang kuberikan, begitu juga dengan Purnama.
"Selesai!" Senja mengangkat gambarnya. Ternyata dia melukisku. Lukisannya ya ampun... jelek sekali!
"Ih, itu siapa?" tanyaku.
"Ya... kamu!" Senja tertawa terbahak-bahak.
"Bukan! Itu bukan aku. Jelek sekali lukisanmu. Masa sih, gigi aku tonggos begitu?" Aku tak terima dilukis jelek seperti itu oleh Senja. Enak saja. Aku ini cantik, Senja saja yang tak bisa melukisku.
"Memangnya lukisan kamu bagus?" balas Senja tak mau kalah.
"Bagus dong," balasku juga tak mau kalah.
"Yah... cuma lukisan pemandangan saja. Itu sih biasa. Coba, kamu lukis aku!" tantang Senja.
"Oke. Siapa takut?" Aku pun mengeluarkan kemampuanku melukis. Senja berpose dan aku melukisnya. Senja memuji lukisanku dan membawa pulang hasil lukisanku.
Tak kusangka, lukisanku masih ia simpan sampai sekarang. Tersimpan dengan rapi di dalam figura. So sweet sekali dia, meski kadang menyebalkan.
Aku kembali teringat tujuanku membangunkannya. Kutaruh kembali figura berisi lukisanku lalu berdiri di samping tempat tidurnya. Kutarik jempol kaki Senja. "Ja, bangun! Udah sore!"
"Sayang, jangan begitu," jawab Senja.
"Ih, siapa yang kamu panggil Sayang?" Kulepaskan jempol kaki Senja yang kupegang. Senja tak menjawab pertanyaanku. Kulirik Senja, ternyata dia masih tidur, ternyata Senja mengigau. Harus kukerjai dia!
Aku bergegas pergi ke dapur. Kuambil penggorengan dan centong nasi lalu kupukul penggorengan dengan centong nasi yang kencang.
Teng! Teng! Teng!
Senja terkejut dan langsung duduk tegak. "Apa? Ada apa? Kebakaran? Banjir? Maling?"
Aku menertawakan mukanya yang kaget bercampur bingung tanpa henti sampai air mataku menetes. "Ha... ha... ha... kaget nih ye?"
Senja mengambil bantal lalu melemparkannya dengan kesal ke arahku. "Dasar bini durjana! Suami sedang tidur dibangunin pakai penggorengan!"
Aku masih tertawa terbahak-bahak sampai tawaku tiba-tiba menghilang saat aku melihat sesuatu. Di bagian depan celana Senja nampak sesuatu yang menonjol dan agak basah. Senja ngompol? Tapi kok....
"Idiiiihhhh... Senja jorok ih! Itu apa yang di celana kamu? Ih... ngompol juga lagi." Aku bergidik dan menatap Senja dengan tatapan jijik.
Senja mengikuti arah pandanganku. "Apa sih jorok? Ini tuh normal. Laki-laki kalau habis mimpi ya begini. Sudah sana keluar!" usir Senja.
"Mimpi? Mimpi mau pipis? Makanya sebelum tidur pipis dulu, biar tidak kebawa mimpi!" balasku.
"Bawel ya? Keluar sekarang, atau kamu nyesal?" ancam Senja.
Aku memilih keluar. Ancaman Senja pasti tidak main-main. "Iya... iya... aku keluar. Ih, anak Bapak Kusno sudah besar masih ngompol weeekkkk! Ha... Ha... Ha...."
.
.
.
"Ingat ya, kalau kamu diminta untuk membayar ini itu, jangan mau! Itu sudah pasti penipuan!" Pesan Senja sebelum aku masuk ke dalam gedung.
"Iya. Kamu sudah bilang beberapa kali, Ja," jawabku dengan sebal.
"Karena kamu agak bloon. Dikasih tahu suka nggak ngerti. Kalau sudah selesai, kabari aku!"
"Kejam banget sih aku dibilang bloon. Aku ngerti kali. Aku masuk dulu. Doakan aku diterima ya!" Kulambaikan tanganku lalu masuk ke dalam gedung. Senja tak langsung pergi, ia memastikanku masuk ke dalam gedung baru tancap gas.
Perusahaan yang kudatangi kali ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Aku diarahkan masuk ke ruang test, rupanya ada banyak yang ikut test, sekitar 50 orang. Banyak sekali sainganku.
Setelah di test, kami disuruh menunggu sebentar. Beberapa nama dipanggil untuk lanjut ke tahap berikutnya. Rupanya namaku tidak dipanggil. Kenapa? Tak ada yang bisa memberiku jawaban.
Dengan lesu, kuhubungi Senja dan memintanya menjemputku di depan gedung. Senja datang tak lama setelah kuhubungi.
"Kenapa? Tidak lolos?" Senja memberikan helm padaku.
"Iya," jawabku lemas. Kukenakan helm lalu duduk di motor.
"Banyak yang lolos?" Senja melajukan motornya dengan kecepatan agak pelan agar bisa mendengar jawabanku.
"Hampir setengahnya. Aku tak tahu kenapa aku tidak lolos. Kesal aku!"
"Ya kalau belum lolos, namanya belum rejeki. Kalau mereka tidak memberitahu, ya itu hak mereka. Kamu tak bisa menuntut perusahaan dan sistem yang mereka terapkan. Kalau kamu mau bisa menuntut ini itu, ya kamu bekerja di perusahaanmu sendiri," jawab Senja.
"Ish, sok nasehatin lagi! Kamu sendiri saja tidak bekerja di perusahaan! Kamu mana tahu betapa susahnya mencari pekerjaan!" balasku dengan ketus.
"Aku memang tak mau bekerja di perusahaan, apalagi perusahaan milik asing," jawab Senja dengan bangganya.
"Iya. Kamu lebih bangga mencari uang sumbangan masjid bukan?" balasku tambah ketus.
"Betul sekali. Mencari uang sumbangan untuk pembangunan masjid itu pekerjaan yang banyak pahalanya," jawab Senja.
"Iya deh." Malas aku berdebat dengannya. Hatiku kesal, tidak lolos tanpa alasan yang jelas.
Senja berhenti di tukang kelapa muda. "Ayo turun!"
"Kenapa minum es kelapa muda sih? Di kampung aku sudah bosan minum kelapa muda terus. Kalau mau menghiburku, beli minumannya di cafe, bukan di tempat seperti ini," protesku.
"Memang kamu punya uang untuk jajan di cafe? Pengangguran saja sok kaya, mau jajan di cafe. Sudah, ayo turun! Minum kelapa muda itu menyehatkan buat kamu yang susah terima kenyataan. Cepat, aku sudah ada janji dengan seseorang!" ajak Senja.
"Janji? Dengan siapa?" tanyaku seraya melepas helm yang kukenakan.
"Fajar. Ayo, anak itu sudah di dalam!"
Wah, ada Fajar. Kalau ada Fajar sih beda urusan. Fajar, i'm coming!
****
nazar ternyata,yg bikin tari salah faham 🤣
astagfirullah, gendheng
pantes tari ilfeel
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...