Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang Yang Terbuka
Satu bulan telah berlalu sejak ritual pemutusan kutukan dilakukan. Kehidupan Prayitno dan keluarganya perlahan kembali normal. Aryo kini bisa tertawa dan bermain seperti anak-anak lain, tanpa mimpi buruk atau suara gaib yang memanggil dari balik dinding malam.
Nurul mulai menanam sayur di pekarangan rumah baru mereka di desa sebelah. Rumah itu sederhana, jauh dari kota, namun penuh kehangatan. Tak ada lagi bayangan yang menyelinap di balik jendela. Tak ada lagi suara langkah tengah malam. Kehidupan bahagia yang selalu diidamkan oleh Prayitno sedari dulu. Kini ia begitu bahagia saat melihat istri dan anaknya bisa menikmati hidup dan lebih bahagia meskipun ia masih belum bisa merasakan kebahagiaan itu.
Karena bagi Prayitno, malam tetaplah sunyi yang menyimpan rahasia. Bayang-bayang itu masih terus mengikutinya.
Ia sering duduk di beranda sambil menatap langit. Di dalam hatinya, ia tahu apa yang ia alami bukan akhir, melainkan sebuah jeda. Dunia ini terlalu dalam untuk dimengerti sepenuhnya. Meskipun begitu ia mencoba untuk bersikap tenang dan tersenyum di depan istri dan anaknya seolah semuanya telah berubah.
Ia semakin merasa kesepian setelah kematian Kyai Amin. Hanya pria itulah yang mengerti keadaannya. Ia bisa menceritakan semua yang ia alami kepadanya. Namun sekarang tak ada lagi tempatnya bercerita atau meminta nasihat.
Sebelum Kyai Amin meninggal, beliau sempat berpesan padanya.
“Kutukan bisa diputus, tapi akar kegelapan akan selalu mencari tanah baru untuk tumbuh. Waspadalah dia bisa datang kapan saja.”
Ia tahu benar semuanya belum berakhir. Apalagi ia masih sering memimpikan bayang-bayang hitam di lorong gelap.
Pada suatu malam, Aryo datang menghampiri Prayitno dengan mata polosnya.
“Ayah, kenapa rumah kita nggak punya bayangan?”
Prayitno tersenyum kecut. Ia tahu, anaknya punya kepekaan yang ia sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aryo memang berbeda, ia tahu jika bocah itu memiliki indra keenam seperti yang diucapkan oleh Kyai Amin.
“Apa karena rumah ini sedang dilindungi atau mungkin sedang diamati oleh seseorang,” ucapnya pelan.
Prayit tersenyum kemudian mengusap lembut kepalanya.
"Karena rumah ini di lindungi," jawabnya berusaha memenangkan bocah tujuh tahun itu
Pandangan Aryo seketika berpindah pada langit-langit. Netranya seolah menangkap ada sesuatu yang sedang mengamatinya. Ia bisa merasakan kekuatan gaib yang ada di sekitarnya.
"Nenek itu masih memperhatikan kita," ucapnya lirih
Telunjuknya menunjuk ke langit-langit.
Prayit mendekati bocah itu dan berjongkok di depannya
"Tidak ada siapa-siapa Le,"
Aryo menggelengkan kepalanya, ia kemudian menyuruh Prayit berdiri dan mengajaknya keluar.
Ia menujuk kearah langit malam yang tampak cerah bertaburan bintang-bintang.
Di antara bintang yang berkelap-kelip, tiba-tiba awan gelap berkumpul berubah bentuk menjadi wajah wajah Mariani.
"Dia sekarang ada di sana!" tunjuk Aryo
Prayit bisa melihatbya meskipun hanya sekilas saja, lalu menghilang.
Ia merasakan tubuhnya meremang saat membayangkan wajah nenek Mariani. Bagaimanapun juga wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Ia tak mau lagi berhubungan dengannya.
"Sebaiknya kamu tidur le, sudah malam," Prayit kemudian mengajak bocah itu masuk ke kamarnya.
"Ayah aku tidak mau tidur sendirian, aku takut. Nenek itu suka datang saat aku tidur,"
Aryo memegangi tangan ayahnya dengan erat.
"Jangan takut, malam ini ayah akan menemani mu,"
Aryo tersenyum senang, ia pun segera memejamkan matanya saat mendengar suara ayahnya melantunkan sholawat dan lagu-lagu religi.
Keesokan paginya seorang warga menyampaikan sebuah kejadian aneh yang terjadi di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Merbabu.
Sebuah Desa yang tak jauh dari tempat Prayit tinggal.
Seorang bocah bernama Raka, ditemukan dalam keadaan kerasukan setelah bermain di kebun belakang rumahnya. Tubuhnya kaku, matanya melotot, dan dari mulutnya keluar kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa Kuno.
“Sak durunge peteng njedhul, lawang kudu kabuka. Tumbal anyar wis lahir.”
(Sebelum kegelapan bangkit, gerbang harus terbuka. Tumbal baru telah lahir.)
Seorang warga tampak fasih menirukan apa yang diucapkan oleh bocah itu.
Tubuh Prayit bergetar hebat mendengar ucapan itu. Kalimat itu sama persis dengan yang diucapkan oleh almarhum putranya Danang.
"Apakah kutukan itu akan kembali," pikirnya
Warga desa Merbabu menjadi panik. Mereka kemudian memanggil seorang dukun sepuh bernama Mbah Gondo, yang segera mengenali bahwa yang merasuki tubuh bocah itu, bukan arwah biasa.
Sementara itu, di desa tempat Prayitno tinggal, Aryo kembali menggambar simbol-simbol aneh di tembok kamarnya tanpa sadar. Ia seperti orang tidur, namun tangannya bergerak sendiri. Goresan-goresan itu mirip dengan rajah di altar pesugihan lama, hanya saja kini bentuknya lebih kompleks dan mengarah pada sesuatu yang lebih besar.
Prayitno yang melihatnya mulai curiga. Ia kembali mencari kitab warisan Kyai Amin dan mendapati catatan baru yang belum pernah ia baca. Dalam catatan itu, tertulis,
“Jika tumbal utama berhasil meloloskan diri, gerbang akan mencari darah serupa di tempat lain. Pesugihan sejati tidak pernah menghilang. Ia hanya berpindah bentuk.”
Saat itulah, ia mulai sadar perjuangannya belum berakhir.
Keesokan paginya, seorang pria datang dari jauh membawa pesan dari Mbah Gondo. Ia membawa sehelai kain berlumur darah yang menggambarkan matahari berdarah dikelilingi bayangan. Di baliknya tertulis:
“Dia sudah kembali. Gerbang Timur telah terbuka.”
jd ngeri