Seorang mafia kelas kakap, Maxwell Powell nyaris terbunuh karena penghianatan kolega sekaligus sahabatnya. Namun taqdir mempertemukannya dengan seorang muslimah bercadar penuh kharisma, Ayesha, yang tak sengaja menolongnya. Mereka kemudian dipersatukan oleh Allah dalam sebuah ikatan pernikahan gantung karena Ayesha tak ingin gegabah menerima lamaran Maxwell terhadapnya. Kehidupan seorang muallaf dengan latar belakang kehidupan gelap seorang mafia mengharuskan sang gadis muslimah yang nyaris sempurna ini harus menguji dulu seberapa mungkin mereka kelak bisa membangun rumah tangga Islami yang seutuhnya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurliah Ummu Tasqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12. Pengakuan
Semuanya terdiam dan melihat Maxwell tak mengerti, kecuali Ayesha dan Ahmed.
Keduanya memang sudah mengetahui sedikit banyak tentang masalah Maxwell dan siapa dia sebenarnya.
Dalam perjalanan pulang, karena rasa penasaran yang tak terbendung, Ayesha sempat searching untuk menyelidiki siapa Maxwell sebenarnya. Dan dia sangat terkejut. Dari beragam sumber yang ditelusurinya, Maxwell adalah seorang milyarder yang menjalankan multi bisnis nasional dan internasional dan disinyalir oleh beberapa artikel yang menulis bebas tentangnya sebagai seorang pebisnis illegal yang licik juga bertangan besi. Selain itu ia terkenal sebagai seorang manusia berdarah dingin dan si pembenci wanita. Dibesarkan sebagai anak adopsi oleh seorang milyarder yang tak pernah terdeteksi oleh media siapa istri maupun ibunya. Hanya nenek Maxwell dari pihak ayah angkatnya saja yang sempat terendus oleh media jati dirinya namun itupun hanya sesaat karena tidak berapa lama media mengenalnya, ia kemudian wafat karena sakit gula di usia 90 tahun. Ayesha menarik nafas sejenak. Ia memejamkan matanya sesaat. Sementara, Maxwell nampak hendak mengatakan sesuatu.
“Baiklah, ini saatnya saya harus mengatakan tentang diri saya yang sebenarnya. Saya mohon maaf karena menggunakan nama samaran. Saya tidak bermaksud menipu Anda semua, karena saya pikir tidak hendak melibatkan Anda dalam bahaya karena saya, tapi saat ini ternyata bahaya itu akhirnya datang juga, dan sudah masanya saya harus jujur.” Maxwell berhenti sejenak.
“Saya adalah Maxwell. Seorang pebisnis dari Australia. Sebuah negara yang dari benua sebelah yang saya rasa kalian semua mengetahuinya. Saya seorang pebisnis segala jenis bisnis, baik yang legal maupun illegal. Mungkin dalam bahasa agama kalian, halal dan haram telah saya lakukan semua.”, Maxwell teringat dengan bahasa buku yang dibacanya semalam.
“Saya berada di sini karena kehendak alam. Kata Ayesha ini kehendak Tuhan. Maaf saya selama ini seorang atheis, tapi entahlah nantinya saya akan menjadi apa, tergantung perjalanan hidup saya nantinya seperti apa. Bisa jadi Tuhan Ayesha akan sudi memberikan cahayaNya sehingga jalan ini akan menjadi terang”
Maxwell menghela nafas lagi. Entah kenapa ia bisa berkata jujur kali ini. Ia melirik ke arah Ayesha yang ternyata sedang menatapnya juga. Pandangan mereka bertemu dan seketika Ayesha menundukkan pandangannya. Ada debaran aneh di hati wanita itu. Maxwell mengalihkan pandangannya ke depan dan matanya memandang jauh entah kemana sambil bercerita.
“Saya dibesarkan di lingkungan yang keras. Kecuali mengejar uang dan harta yang banyak, tak ada lagi tujuan hidup saya yang lain. Sehingga perusahaan-perusahan yang saya miliki dan semua harta yang saya punya adalah sesuatu yang dikejar juga oleh orang lain. Saya ini juga orang yang biadab. Saya juga seorang pembunuh dan suka menyuruh orang lain untuk membunuh. Sama dengan Joeris, penghianat yang mencoba membunuh saya tempo hari. Dia dan anak buahnya dengan cerdas membawa saya menjauh hingga sampai di negeri ini hanya karena ingin membunuh saya dengan aman dan tanpa jejak. Karena kalau dengan cara biasa saja di Australia, maka orang yang terkenal seperti saya ini akan menyusahkan mereka. Namun Tuhan Ayesha berkehendak lain dan saya beruntung dan harus berterima kasih padaNya karena telah mengutus Ayesha untuk menolong saya, mempertemukan saya dengan seorang bidadari beserta keluarganya yang hangat ini.”
Maxwell diam sesaat. Ia kini menunduk menatap karpet lembut yang didudukinya. Terbayang kehangatan dan ketulusan yang ia rasakan selama beberapa minggu tinggal di rumah yang ia tempati selama pemulihan di tempat tinggal Ayesha ini.
Ia melanjutkan ucapannya sambil menatap ke semua orang yang duduk termangu khusyuk mendengarkannya. Kakek dan Ahmed nampak tersenyum dan seperti memberi kekuatan pada Maxwell untuk meneruskan pengakuannya. Sementara Ayesha hanya menunduk dalam-dalam. Hatinya bergemuruh. Entahlah kenapa. Sepertinya akan ada hal besar yang sebentar lagi akan ia dapatkan. Begitulah firasatnya. Hatinya seketika dipenuhi zikir untuk menyiapkan diri.
“Awalnya saya mengutuki Joeris dan sekutunya karena membuat saya terluka parah dan membuat saya terdampar di negara antah berantah ini, yang sebelumnya cuma saya dengar namanya disebut-sebut para pejabat dan politikus. Tapi sekarang saya malah harus mengucapkan terimakasih pada mereka, karena sekarang saya bisa melihat dunia lain yang tak pernah saya rasakan sedikitpun di sepanjang hidup saya. Ia adalah pandangan positif, kasih sayang dan kepedulian. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada kalian semua di sini karena telah merawat saya hingga sembuh. Dan khususnya pada Ayesha, saya minta maaf sebesar-besarnya pada Anda karena sayalah nyawa Anda terancam, dan saya tak tahu apa yang akan saya rasakan jika hari ini saya tidak bisa melihat Anda kembali. Saya pasti akan menyesal seumur hidup. Dan saya tidak tahu apa yang saya punya dalam hati ini terhadap Anda. Karena terus terang, terpaan hidup membuat saya sebelumnya membenci semua wanita di dunia ini dan bahkan memandang jijik terhadap mereka semua kecuali terhadap nenek saya. Namun ini sangat berbeda ketika saya memandang Anda. Saya sepertinya…”, Maxwell tercekat sesaat.
“Saya…menyukai Anda, Nona Ayesha. Maaf kalau saya terlalu terbuka di sini. Tapi saya lega. Karena setelah ini mungkin saya akan kembali ke negara saya dan saya tidak mau menanggung rasa yang menyiksa ini terlalu lama”.
Maxwell kian menundukkan kepalanya. Ia tak sanggup menatap orang-orang di depannya. Tapi perasaannya benar-benar ringan saat ini. Seperti ada beban berat yang terlepas seketika. Ia tak peduli balasan apa yang akan didapatkannya karena keterusterangannya saat ini.
Semua orang di sekitar Maxwell terkejut, apalagi orang yang dituju. Ayesha meremas tangannya sendiri secara spontan. Ia tak menyangka Maxwell senekat itu menyatakan perasaannya padanya di tengah keluarganya. Sementara mereka baru saja kenal dan situasi saat ini benar-benar tidak nyaman untuk membicarakan tentang lamaran. Eh lamaran? Yang benar saja. Maxwell cuma mengatakan menyukainya. Tidak lebih. Ah Maxwell, nekat sekali Anda. Anda bahkan masih seorang atheis. Gumam Ayesha dalam hati. Ia menggeleng pelan. Sementara kakek dan Ahmed melirik Ayesha yang tak berkutik. Ali dan Bibi Leida juga saling berpandangan dan melihat ke arah Ayesha. Semuanya jadi hening. Sangat hening. Sampai bunyi detak jarum di dinding pun bisa terdengar jelas. Maxwell seperti terpaku di bumi. Dia kehilangan kepercayaan diri yang selama ini bahkan tidak akan ada seorang pun yang mengenalnya akan mengira seorang Maxwell bisa gugup seperti ini. Dia menggenggam erat tangannya sendiri seraya menunggu eksekusi. Dan akhirnya …
“Ayesha. Kau mendengarnya bukan? Sekarang giliranmu menjawabnya. Kami serahkan sepenuhnya pada keputusanmu”, kakek berusaha bersikap bijaksana. Kini kondisi pun beralih menuntut Ayesha bersuara.
Perlahan Ayesha menarik nafasnya. Dalam hati ia mengucapkan Basmallah sebelum mulai bersuara.