dapat orderan make up tunangan malah berujung dapat tunangan.Diandra Putri Katrina ditarik secara paksa untuk menggantikan Cliennya yang pingsan satu jam sebelum acara dimulai untuk bertunangan dengan Fandi Gentala Dierja, lelaki tampan dengan kulit sawo matang, tinggi 180. Fandi dan Diandra juga punya kisah masa lalu yang cukup lucu namun juga menyakitkan loh? yakin nggak penasaran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gongju-nim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
012. Jebakan Jodoh
Diandra yang masih syok hanya diam tak berkutik begitu juga yang lain. Fandi yang ikut tersiram juga, menatap tajam wanita itu. Wanita itu adalah kakak Hilda, sepertinya beberapa sanak keluarga Hilda masih ada yang tidak terima keputusan Fandi.
"Apa-apaan sih mbak?!" Fandi membentak wanita itu dengan suara nyaring. "Kamu nggak apa-apa Di?" Nada bicara Fandi berubah menjadi lembut kembali pada Diandra.
Dilihatnya Diandra yang basah kuyup karena disiram menggunakan air satu gelas. Ukuran gelas dirumah makan ini tergolong besar, bahkan ada beberapa pengunjung yang tidak sanggup untuk menghabiskan minuman pesanan mereka karena terlalu kekenyangan.
Diandra masih tidak bergeming, gadis itu tidak menjawab pertanyaan Fandi. Sisilia yang minumannya masih banyak membalas perlakuan wanita itu dengan berbalik menyiramkan minumannya. Wanita itu berteriak, lalu menatap tajam Sisilia.
"Apa lu?!" Sisilia bertanya garang.
Wanita yang tidak diketahui namanya itu hendak maju untuk menyerang Sisilia, namun Randu dengan sigap menghadang dan mendorong wanita itu dengan sedikit tenaga membuat wanita itu hampir saja tersungkur.
"Ga usah kasar ya mas!" Wanita itu membentak sambil menunjuk wajah Randu.
"Mbak yang duluan, saya cuma ngelindungin cewek saya!" Randu membentak balik wanita itu dan maju satu langkah ke depan.
Melihat Randu yang seperti mulai tersulut emosi, Sisilia segera menarik lengan lelaki itu. Sisilia sedikit memeluk Randu dari belakang, dirinya takut jika Randu menyerang wanita yang terus terusan berteriak tak jelas itu.
"Ceweknya mas nyiram saya! Jelas saya nggak terima!" Wanita itu menunjuk Sisilia.
"Tapi mbaknya duluan yang nyiram temen saya! Wajar kalo temen saya juga nyiram mbak!" Ferdinand balas menunjuk wajah wanita itu.
"Lu diam ya bencon*g!" Wanita itu balas menunjuk Ferdinand tak mau kalah.
"Eh, gue bencong gini tau etika ya! Nggak kayak elu!" Ferdinand mulai terlihat tersulut emosi.
Githa dan Sisilia tak melerai Ferdinand karena mereka tau jika sahabatnya itu tidak akan menyerang duluan kalau tidak diserang duluan. Sementara Diantara sudah didekap erat oleh Fandi. Bajunya sedikit menerawang dibagian dada, Fandi tidak bisa melepaskannya jaketnya karena masih ada beberapa bawahannya disini. Baginya, tubuh Diandra bukanlah tontonan gratis bagi banyak orang. Jika bisa, Fandi hanya ingin dirinya saja yang melihat.
"Udah ya mbak, saya nggak ada lagi urusan sama kalian. Saya dan Hilda sudah selesai, izinkan saya melanjutkannya hidup." Fandi berkata dengan nada memohon, dirinya sudah lelah.
Tiga hari terakhir banyak sekali nomor baru yang menghubungi dirinya, mereka semua adalah keluarga Hilda. Sudah di blokir namun masih saja ada nomor baru lagi yang mengiriminya pesan. Lama-lama Fandi merasa muak, dirinya hanya ingin bebas dari keluarga itu.
Dulu, semasa berpacaran dengan Hilda, keluarga Hilda selalu membebaninya dengan berbagai masalah mereka yang berkaitan dengan pihak kepolisian. Mulai dari sepupu Hilda yang kerap tertangkap karena balap liar, pamannya yang terus terusan tertangkap menggunakan narkoba, urusan SIM serta SKCK, dan masih banyak hal lain lagi.
Bahkan dulu orang tua Hilda menelpon Fandi hanya untuk meminta tolong lelaki itu mengurus ini, mengurus itu, tanpa pernah sekalipun bertanya bagaimana kabar dirinya. Fandi bukannya tidak pernah menolak, tentu dirinya pernah menolak karena merasa tak enak dengan rekan-rekannya yang lain. Namun orang tua Hilda seperti tutup mata dan telinga dengan pendapat Fandi, mereka akan menyuruh Hilda untuk meminta Fandi melakukan hal itu tanpa henti sampai lelaki itu bilang iya.
Bisa dikatakan dulu Fandi sedikit bodoh, dan setelah dipikir-pikir, mereka hanya menginginkan gelar Fandi saja, hanya menginginkan seragam Fandi saja, hanya menginginkan koneksi yang Fandi miliki saja. Mereka tidak pernah benar-benar menginginkan diri Fandi.
"Nggak bisa kayak gitu ya Fan, Hilda bahkan nggak keluar dari kamar beberapa hari ini. Makan pun nggak pernah. Sedangkan kamu, malah enak-enakan disini bareng perempuan nggak tau diri ini." Kakak Hilda berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Diandra.
"Saya?" Diandra menunjuk dirinya sendiri. "Ibu bilang saya tidak tau diri?" Dibagian mana saya tidak tau diri?"
Diandra berkata dengan pelan didekapan Fandi sepertinya wanita itu sudah mulai tersadar dari rasa syok nya. Perlahan dirinya melepaskan dekapan erat Fandi, tidak perduli bagian dadanya sendikit terekspos. Fandi tentu tak sedikitpun mengendurkan dekapannya, semakin Diandra pemberontak, semakin kuat pula dekapan lelaki itu.
"Masih nanya?! Jalan sama suami orang kayak gini itu apa kalau bukan nggak tau diri?!" Kakak Hilda kembali menunjuk Diandra. "Satu lagi, saya masih muda, bahkan belum menikah. Enak aja situ manggil 'ibu'. Saya nggak setua itu ya!"
Kakak Diandra merasa tak terima dengan Diandra yang barusan memanggil dirinya 'ibu' itu. Dirinya hanya berusia beberapa tahun diatas Fandi. Punya anak saja belum, jelas dirinya tidak ingin dipanggil ibu.
"Belum nikah, tapi badan udah kayak emak-emak anak dua. Bahkan emak-emak aja bodynya masih aduhai. Lah ini?" Githa mulai beraksi, dirinya mulai emosi dengan wanita yang sepertinya keluarga Hilda ini.
"Apa lu bilang!!" Kakak Hilda hendak maju untuk menjambak Githa namun langsung dihadang Ferdinand dan Randu yang berada di barisan paling depan dan paling dekat dengan wanita itu.
"Santai dong, emang bener juga." Githa kembali berkata dengan nada yang sama santainya seperti tadi, namun sukses membuat kakak Hilda naik pitam.
Wanita itu hendak kembali menyerang Githa dan dihadang oleh Ferdinand dan Randu lagi, membuat kakak Hilda semakin mengamuk. Jerry juga tak tinggal diam, lelaki itu maju dan ikut menghadang amukan kakak Hilda, lalu memberi kode pada Fandi untuk pergi dari sana. Fandi yang melihat kode dari Jerry segera membawa Diandra sebelum suasana semakin kacau, beberapa pelanggan yang ingin masuk juga terlihat berhenti di depan pintu masuk karena takut melihat amukan kakak Hilda yang membabi buta itu.
Tiga orang lelaki yang menahan wanita itu bahkan hampir kewalahan karena badan kakak Hilda yang sedikit gempal. Tenaganya bukan main, seperti banteng yang tengah mengamuk. Randu dan Jerry yang rajin ke gym saja mengaku sedikit kalah dengan tenaga kakak Hilda ini.
"Mundur yang, nanti kamu kena." Jerry sedikit berteriak pada Githa yang berada tak jauh di belakangnya.
Ferdinand, Jerry, dan Randu mati-matian mengerahkan tenaga agar kakak Hilda tidak bisa mengejar Fandi yang membawa Diandra pergi dari sana. Wanita itu semakin mengamuk dan berteriak tak kala melihat Fandi yang mendekap erat Diandra, bahkan Diandra sepertinya sengaja membalas pelukan Fandi agar wanita itu semakin menjadi. Dan hal itu sukses membuat kakak Hilda semakin meradang.
"Kalian yang ada disana, bantuin! Jangan bengong aja!" Randu meneriaki beberapa anggotanya yang duduk terdiam menatap mereka.
Beberapa anggota tim Fandi, Jerry, dan Randu yang masing-masing berjumlah dua orang. Mereka yang sepertinya sedang makan siang disana tentu saja segera membantu atasan mereka menahan amukan kakak Hilda yang bukan main tenaganya itu. Lalu lintas juga sedang sedikit ramai sehingga Fandi dan Diandra lama untuk menyebrang jalan menuju ke kantor mereka.