Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Munafik
"Kamu... Anak haram kaisar, kan?"
Suasana terasa begitu sunyi dan mencekam, hanya terdengar percikan api di perapian. Elena meneguk ludahnya dengan kasar.
"Mata itu... Bagaimana kamu bisa mendapatkannya kalau bukan darah daging kaisar itu sendiri?"
"Sa-saya... Saya tidak mengerti apa yang anda katakan ...." Elena berusaha tetap tenang. Namun, cengkraman di pipi Elena mengeras hingga membuatnya sedikit meringis.
"Tidak perlu menutupinya. Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar," ucap Viona sambil tersenyum lebar. Lalu ia kembali mengelus kepala Elena dan berkata lagi, "Kalau kau adalah anak dari kaisar." Matanya menyipit hingga menyerupai bulan sabit. Mata violetnya seakan memancarkan sinar bahaya di dalam ruangan yang remang-remang ini.
Elena tidak bisa berkelit lagi. Walau perapian dinyalakan, entah mengapa suhu di ruangan itu terasa dingin hingga menusuk tulang punggungnya. Elena kembali menelan ludahnya dengan kasar lalu bertanya, "A-apa yang anda inginkan dari saya ...?"
Seakan itulah yang sejak tadi di tunggu oleh Viona, ia langsung terlihat begitu senang. "Sesuatu yang aku inginkan darimu? Astaga, aku tidak mungkin memalak anak perempuan yang manis. Tapi, jika kamu memaksa... Apa kamu mau mengabulkan satu permintaanku?" Ucapannya terdengar seperti dia adalah orang yang sangat baik hati sehingga tidak tega melakukan sesuatu yang keji. Tapi, Elena sudah mengetahui watak dari Selir Pertama. Ia tidak akan tertipu seperti Elena yang di novel.
"Apa yang ... Bisa saya bantu?" tanya Elena dengan hati-hati.
"Jadilah pelayan untuk Pangeran Kedua."
Elena menekukkan alisnya. Alurnya mulai berjalan kembali....
Alur di dalam novel mulai kembali ke jalur yang seharusnya, hanya saja ini terjadi lebih awal.
Kematian ibu juga terjadi lebih awal ... Dan mungkin malah lebih buruk ...?
Elena kembali terpikirkan dengan kejadian semalam hingga tidak merespon ucapan Viona, membuatnya sedikit geram hingga memaksa Elena untuk menghadap wajahnya.
"Kenapa kamu berani memalingkan wajahmu? Apa kamu menolak?" tanyanya dengan dingin. Nadanya terasa menusuk hingga tenggorokan Elena.
"Sa-saya ... Ma-maafkan saya ...."
Viona melepaskan cengkeramannya di wajah Elena dan berjalan ke belakang, duduk di kursi kayu sambil menyilangkan kakinya.
Elena berniat untuk tidak menerimanya, tapi mengingat sifat dari Selir Pertama ... Itu menjadi sesuatu yang lebih sulit dari yang seharusnya, dan kejadian semalam terasa begitu janggal.
Saat dikejar-kejar dalam pelariannya, pertanyaan kenapa terus muncul berulang kali di kepala Elena.
Kenapa ini bisa terjadi?
Kenapa waktunya lebih cepat?
Kenapa mereka mengejarku?
Kenapa... Hanya aku yang tersisa?
Hal itu terus memenuhi isi kepala Elena hingga ia tenggelam di dalam sungai. Harapan hidupnya sudah hilang ketika berpikir semuanya tidak ada harapan. Tapi, ketika ia terbangun di tempat ini kepalanya menjadi lebih jernih.
Kejadian janggal itu, sebenernya siapa yang menyuruh mereka mengincarku?
Karena hal ini tidak pernah tertulis di novel, aku tidak tahu siapa dalangnya.
Elena kembali melirik ke arah Viona dengan hati-hati. Apakah Selir Pertama? Tapi selama ini aku hidup damai di pelosok desa. Aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun yang berkaitan dengan istana.
"Apa kamu sudah selesai mempertimbangkannya?" Viona memecah pikiran Elena dengan nada yang terdengar bosan. Ia menghela napas sambil menatap Elena, menunggu respon Elena yang sudah pasti tidak menerima penolakan.
Elena menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jantungnya berdegup keras dan berkata dengan gugup, "Sa-saya akan melakukannya ...." Tidak ada pilihan untuk menolak.
Viona tersenyum dengan puas. Ia langsung berbisik kepada Lyra dan setelah itu ia langsung menghilang di balik pintu kayu itu.
"Baiklah. Kamu bisa istirahat disini untuk malam ini, karena besok akan ada upacara yang sangat meriah di istana. Saat itulah aku akan meminta izin pada Kaisar untuk menjadikanmu pelayan pribadi Pangeran Kedua," ucapnya. Elena hanya bisa menggigit bibirnya dengan gelisah.
"Omong-omong, siapa namamu?"
"E-Elena ... Tidak ada nama belakang."
Viona duduk di samping Elena lalu memegang bahu Elena dengan sedikit kuat. "Baiklah, Elena. Sekarang kamu telah mati."
"Apa?" Elena begitu terkejut hingga kehilangan kata-katanya.
"Anak perempuan bernama Elena telah tiada, dan anak laki-laki bernama El telah lahir. Mulai sekarang kamu akan hidup sebagai El selama sisa hidupmu, dan kita perlu menyembunyikan mata merah muda itu. Mata itu hanya bisa kamu gunakan untuk membuat Pangeran Kedua naik tahta, tidak ada yang lain," jelas Viona.
"Dan juga, untuk jaga-jaga. Aku sudah membuatmu menelan sebuah sihir agar kamu tutup mulut tentang identitas aslimu. Jika kamu berusaha membicarakannya dengan siapapun ...." Jari ramping Viona berjalan menelusuri perut hingga dada Elena. "Saat itulah tubuhmu akan meledak."
Elena yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Ia terjebak. Nyawanya berada di tangan Selir Pertama. Lalu, apakah ini alasan Elena di dalam novel begitu mematuhi Selir Pertama hingga akhir hayatnya?
Ternyata bukan Elena yang bodoh, melainkan ia terpaksa melakukannya.
...★----------------★...
Setelah malam panjang itu, pagi pun tiba dengan berita yang menggemparkan seluruh istana. Berita akan kematian Permaisuri sudah tersebar hingga ke pelosok desa.
Banyak para bangsawan berbondong-bondong ke pemakaman Permaisuri. Namun, tidak ada yang benar-benar berduka. Rumor tentang Permaisuri yang sudah kehilangan kasih sayang sang Kaisar membuatnya sudah tidak memiliki arti dalam politik istana. Jadi, dari pada berduka, orang-orang lebih terlihat bersuka cita terhadap kematian Permaisuri apalagi faksi bangsawan yang memihak Selir Pertama dan Pangeran Kedua.
Selir Pertama, Viona. Berjalan menggunakan gaun hitam dengan tudung transparan berwarna hitam. Ia mendekati peti mati dimana sang Permaisuri terbaring dengan wajah pucatnya di dalam. Viona memberikan satu buket bunga Krisan putih yang ia letakkan di samping tubuh Permaisuri.
"Semoga anda tenang disana." Ia berdoa seperti orang yang begitu taat pada ajaran agama, dan hal itu mengundang simpati semua orang yang ada disana.
"Selir Pertama sangat baik hati,"
"Bagaimana bisa Permaisuri masih berpikir buruk tentang Selir Pertama.
"Pantas saja Kaisar sangat menyayangi Selir Pertama."
"Lalu, apakah setelah kepergian Permaisuri. Selir Pertama akan diangkat menjadi Permaisuri baru?"
"Benar juga! Mungkin saja?"
"Itu pasti lebih baik."
Banyak sekali sanjungan yang di dapatkan oleh Viona di ruang pemakaman itu. Diam-diam ia tersenyum dengan begitu puas, dan menatap tubuh kaku Permaisuri dengan tatapan merendahkan. Seakan ingin mengatakan bahwa pemenangnya adalah dia.
Namun, tiba-tiba suara bisik-bisik itu berhenti, di gantikan dengan suara langkah kaki yang ringan.
Sebuah sepatu pantofel hitam di sandingkan dengan kemeja hitam. Rambut hitam dan mata biru safirnya yang terlihat lelah, ia berjalan sambil membawa setangkai bunga Lily putih di tangannya.
Seakan hanya ia saja yang disana, ia tidak memperdulikan tatapan heran dari para bangsawan.
"Apa aku boleh menemuinya?" tanya anak itu dengan tatapan kosongnya. Manik biru yang sudah kehilangan cahayanya itu membuat Viona begitu bahagia.
"Pangeran Pertama! Bagaimana anda bisa sampai disini? Apa anda baik-baik saja? Anda terlihat tidak sehat," ucap Viona dengan pura-pura begitu khawatir.
Altheon hanya diam tanpa merespon sama sekali. Tidak ada yang ia katakan lagi pada Selir Pertama. Ia akhirnya melewati Selir Pertama begitu saja, mendekati peti mati sang Ibu.
Ia melampirkan bunga Lily putih kesukaan sang Permaisuri di jari jemarinya yang sudah terasa dingin itu.
Tidak ada satupun tetesan air mata yang jatuh ketika melihat tubuh kaku Ibunya, membuat orang beranggapan hati Pangeran Pertama begitu dingin dengan ibu kandungnya sendiri.
"Jadilah kuat di tempat yang tidak diketahui orang lain. Jangan memperlihatkan kelemahanmu... Dan bahagialah, Theo."
Pesan dari Permaisuri sebelum ia dikirim jauh ke desa pelosok membuatnya. menyembunyikan seluruh air matanya. Ia mengerti.
Tapi ini begitu berat ibu... Kenapa kamu meninggalkanku? Aku merasa kesulitan jika tidak ada kamu....
"Pangeran, saya benar-benar terkejut saat mendengar berita kematian Permaisuri. Saya merasa sedih untuk anda, " ucap Viona sembari mengusap air mata palsunya.
Altheon hanya bisa menatap dengan tidak suka pada Selir Pertama. Ia tahu bahwa semua yang ia katakan adalah kebohongan. Ia berbohong demi citra baiknya di depan publik.
Menjijikan.
Tidak tahan dengan drama yang dibuat oleh Selir Pertama, Altheon langsung pergi dari ruang pemakaman, meninggalkan bisikan jelek tentang dirinya.
Hari itu adalah hari paling membahagiakan bagi Viona. Seluruhnya berjalan sesuai dengan rencananya.
To Be Continued