Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Saat mereka melanjutkan pendakian menuju Gunung Agung, Kakek Badra tiba-tiba berhenti dan memejamkan matanya. Raka, Maya, dan Sinta ikut berhenti, saling pandang dengan bingung.
"Kakek, ada apa?" tanya Maya khawatir.
Kakek Badra tidak langsung menjawab. Wajahnya tampak sedikit tegang, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mereka. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya perlahan, dan tatapannya tampak menerawang, seolah-olah ia sedang melihat ke masa lalu.
"Aku teringat… sebuah penglihatan," kata Kakek Badra dengan suara pelan. "Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali melihatnya." Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita.
Kilasan Balik
Di sebuah kuil kuno yang megah, jauh sebelum reruntuhannya ditelan oleh waktu, seorang pemuda berdiri di hadapan seorang tetua bijaksana. Pemuda itu adalah Badra muda, usianya kala itu hampir sama dengan Raka sekarang. Tetua di hadapannya adalah seorang penjaga kuil yang disegani, seorang yang telah mengabdikan hidupnya untuk mempelajari rahasia para Dewa Naga.
"Badra," kata Tetua itu dengan suara tenang, "kau memiliki potensi yang besar dalam dirimu. Hatimu tulus, dan kau memiliki rasa hormat yang mendalam pada keseimbangan alam. Suatu hari nanti, kau akan memainkan peran penting dalam menjaga warisan para Dewa Naga."
Badra muda merasa terhormat dengan kata-kata tetua itu. Ia telah lama bermimpi untuk menjadi seorang penjaga kuil, untuk mempelajari rahasia kitab-kitab kuno dan melindungi tempat suci ini dari segala macam kejahatan.
"Aku siap mengabdikan diriku, Tetua," jawab Badra muda dengan penuh semangat.
Tetua itu tersenyum. "Bagus. Sekarang, dengarkan baik-baik. Akan datang suatu masa kegelapan, ketika seorang naga jahat bernama Kaldor akan mencoba menguasai dunia. Ia akan mencari kekuatan Kitab Dewa Naga untuk mencapai tujuannya."
Badra muda terkejut mendengar nama itu. Ia pernah mendengar cerita tentang Kaldor, naga yang dulunya mulia namun kemudian jatuh ke dalam kegelapan.
"Apa yang harus kita lakukan untuk menghentikannya, Tetua?" tanya Badra muda khawatir.
Tetua itu menunjuk ke sebuah lukisan dinding kuno yang menggambarkan dua kitab suci yang bersinar terang. "Kitab Dewa Naga terbagi menjadi dua bagian. Yang satu akan menjadi kunci, yang akan memilih seorang pewaris dengan hati yang murni. Yang lainnya adalah sumber kekuatan utama, yang hanya bisa dibuka oleh pewaris tersebut."
Tetua itu melanjutkan, "Kaldor akan berusaha merebut kedua bagian kitab itu. Tugasmu, Badra, jika saatnya tiba, adalah untuk membantu sang pewaris menemukan jalan menuju kuil ini dan membimbingnya untuk memahami kekuatan kitab tersebut."
Tetua itu kemudian memberikan sebuah jimat kecil kepada Badra muda. Jimat itu terbuat dari kayu dengan ukiran simbol naga yang melingkar. "Jimat ini akan melindungimu dari pengaruh jahat Kaldor. Dan suatu hari nanti, kau akan bertemu dengan sang pewaris. Kau akan mengenalinya dari tanda lahir di tangannya, tanda sisik naga yang berkilauan."
Tetua itu juga memperingatkan Badra muda tentang pengkhianatan yang mungkin datang dari orang-orang terdekat mereka. "Kegelapan bisa merasuki hati siapa saja, Badra. Berhati-hatilah dengan siapa kau percaya."
Kilasan Balik Berakhir
Kakek Badra membuka matanya dan menatap Raka dengan tatapan yang dalam. "Aku melihatmu dalam penglihatan itu, Nak," katanya dengan suara pelan. "Tanda lahir di tanganmu… jimat yang diberikan tetua itu padaku… semuanya sesuai dengan apa yang aku lihat di masa lalu."
Raka, Maya, dan Sinta terdiam, tercengang mendengar cerita Kakek Badra. Jadi, Kakek Badra telah mengetahui tentang takdir Raka sejak lama. Dan peringatan tentang pengkhianatan… Apakah itu berarti ada seseorang di antara mereka yang tidak bisa dipercaya? Rasa curiga dan ketidakpastian kembali menghantui pikiran Raka.
Rasa terkejut dan kebingungan terpancar di wajah Raka dan Maya. Sinta, yang mengenal Kakek Badra lebih lama, menatap pria tua itu dengan tatapan penuh tanya.
"Jadi, Kakek sudah tahu tentang ini semua?" tanya Sinta dengan nada sedikit tidak percaya.
Kakek Badra mengangguk perlahan. "Aku telah menunggu saat ini tiba selama bertahun-tahun. Tetua itu adalah guruku, dan aku telah bersumpah untuk mengikuti wasiatnya."
"Dan kenapa Kakek tidak memberitahu kami sebelumnya?" tanya Raka, merasa sedikit bingung. "Tentang takdirku… tentang kitab ini…"
"Waktunya belum tepat, Nak," jawab Kakek Badra dengan lembut. "Kebenaran hanya akan terungkap pada saat yang tepat. Terlalu dini memberitahumu bisa membahayakanmu dan misimu."
"Peringatan tentang pengkhianatan…" gumam Maya, tatapannya beralih ke sekeliling mereka. "Apakah itu berarti… salah satu dari kita…?"
Kakek Badra menghela napas. "Kegelapan bisa bersembunyi di tempat yang tak terduga, Nak. Kalian harus berhati-hati dan mempercayai naluri kalian. Tapi jangan biarkan rasa curiga membutakan kalian dari persahabatan dan kesetiaan yang sejati."
Suasana di antara mereka menjadi sedikit tegang. Kata-kata Kakek Badra tentang pengkhianatan membuat mereka saling memandang dengan curiga. Raka melirik Maya dan Sinta, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan atau niat jahat di wajah mereka. Maya melakukan hal yang sama, menatap Raka dan Sinta dengan tatapan menyelidik. Sinta sendiri tampak sedikit gelisah, sesekali melihat ke belakang seolah-olah ada seseorang yang mengikuti mereka.
Ketegangan itu terasa begitu kuat hingga perjalanan mereka terasa lebih berat dari sebelumnya. Mereka melanjutkan pendakian dalam diam, pikiran masing-masing dipenuhi dengan pertanyaan dan kecurigaan. Hutan di sekitar mereka tampak lebih gelap dan lebih mengancam dari sebelumnya, seolah-olah aura ketidakpercayaan telah meracuni lingkungan sekitar mereka.
Saat mereka semakin mendekati puncak gunung, jalan setapak menjadi semakin terjal dan berbahaya. Mereka harus berhati-hati dengan setiap langkah mereka. Tiba-tiba, saat mereka melewati sebuah celah sempit di antara bebatuan, sebuah batu besar jatuh dari atas, tepat di jalur yang baru saja mereka lalui. Mereka bertiga tersentak kaget dan menatap ke atas, mencari tahu siapa atau apa yang menjatuhkan batu itu. Namun, tidak ada siapa pun terlihat.
"Itu pasti ulah pengikut Kaldor," kata Sinta dengan nada khawatir. "Mereka pasti masih mengejar kita."
"Atau…" gumam Maya pelan, tatapannya tertuju pada Kakek Badra, "mungkin ada 'teman' di antara kita yang tidak ingin kita mencapai puncak."
Kakek Badra menghela napas berat, tampak sedih dengan kecurigaan yang muncul di antara mereka. "Aku mengerti ketakutan kalian," katanya dengan suara lembut. "Tapi percayalah, aku tidak akan pernah mengkhianati kalian. Aku telah mengabdikan hidupku untuk melindungi warisan para Dewa Naga."
Raka menatap mata Kakek Badra, mencoba mencari kebohongan atau niat jahat. Namun, yang ia lihat hanyalah kejujuran dan kesedihan. Ia merasa bersalah karena telah meragukan pria tua itu.
"Aku percaya pada Kakek," kata Raka akhirnya, memecah keheningan yang tegang. "Kita harus saling percaya jika ingin berhasil dalam misi ini."
Maya dan Sinta saling bertukar pandang, lalu mengangguk setuju. Mereka tahu Raka benar. Rasa curiga hanya akan melemahkan mereka. Mereka harus tetap bersatu dan saling mendukung, apa pun yang terjadi.
Dengan semangat yang baru, mereka melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Agung. Jalan setapak semakin menantang, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka tahu Pedang Sinar Naga mungkin menjadi harapan terakhir mereka untuk mengalahkan Kaldor. Dan meskipun bayangan pengkhianatan masih terasa di udara, mereka memilih untuk saling percaya dan terus maju bersama-sama.