"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
.
“Wah, lama banget, ya,” keluh Doni.
“Iya, lama… Saya yakin mereka juga punya bukti, sehingga bisa tinggal di situ,” jawab Heru.
“Tapi tenang saja, kamu pasti menang,” tambahnya meyakinkan.
Tiba-tiba ponsel Heru berdering. Ia mengangkat telepon.
“Bro, maaf ya, teman saya sudah di depan. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” ucap Heru sambil memberi kode pada Doni.
Doni dan Laras terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
“Sayang, aku keluar dulu, ya,” ucap Doni.
“Mau ke mana?” tanya Laras.
“Mulutku asem, aku mau merokok sebentar,” jawab Doni.
Laras hanya menganggukkan kepala dan masih tenggalam dalam pikirannya dia tidak rela kalau rumah milik ayahnya berpindah tangan begitus saja
Di luar, Doni bertemu Heru. Dan seperti biasa mereka akan melakukan kesepakatan dibelakang layar
“Bro, kemungkinan menangnya 50%,” Heru berkata sambil menatap doni seperti sedang mengukur kekuatan doni
“Kamu bilang 70%, gimana sih?” Doni terlihat kesal dengan sikap tidak konsisten Heru, dan kalau sudah begini past heru meminta lebih,
“Ya, harus meyakinkan klien dong,” jawab Heru sambil menyalakan sebatang rokok.
“Terus, modalnya juga tidak sedikit,” tambahnya.
“Aku tidak punya modal kalau peluangnya cuma 50%,” kata Doni ragu, doni tidak bisa mengeluarkan modal dengan peluang hanya 50% dia tidak mau uang yang dia keluarkan sia-sia
“Sayang sekali, padahal nilainya hampir satu miliar,” ucap Heru sambil menghela napas berat.
“Hah… sebesar itu, ya?” Doni terkejut. Matanya membulat dia membuang punting rokok dan mulau serius menatap heru bagaimanapun uang 1 milyar bukan uang yang sedikit
“Iyalah, ini Jakarta, bro. Tanah di sini mahal,” ucap Heru.
Doni tampak tertegun, memikirkan segalanya.
“Gue benar-benar tidak ada uang,” kata Doni, enggan mengeluarkan sepeser pun.
Heru menatap Doni dengan tatapan sulit diartikan.
“Kenapa lu?” tanya Doni setelah lama Heru memandangnya.
“Lu nggak punya uang, tapi lu punya Laras,” jawab Heru pelan. Tersenyum licik dia akan mengungkapkan niat uang sudah lama dia sembunyikan
“Maksud lo?” tanya Doni, penasaran dan sedikit ragu.
Kemudian Heru membisikan sesuatu kepada Doni.
Doni mengernyitkan dahi, mencoba memahami.
“Gimana?” tanya Heru.
“Emang semahal itu Laras?” sahut Doni, masih ragu.
Mereka saling pandang, lalu berjabat tangan.
“Laras lebih mahal dari yang kamu kira,” ucap Heru dengan yakin.
Doni hanya mengangguk, sebuah ide mulai melintas di kepalanya.
Setelah itu, mereka masuk bersama ke dalam ruangan Heru, siap membahas langkah selanjutnya.
“Bu Laras, tenang saja. Saya sudah menghubungi beberapa jaksa. Sepertinya peluang kita untuk menang cukup besar,” ucap Heru.
Laras tersenyum, harapan seolah kembali muncul.
“Terima kasih, ya,” ucap Doni lembut.
Akhirnya pembicaraan selesai. Laras masih percaya Doni benar-benar tulus membantunya, padahal tanpa disadari ada kesepakatan jahat antara Doni dan Heru.
Laras, yang tidak terbiasa direpotkan masalah seperti ini, merasa kelelahan. Dan untuk saat ini laras hanya ingin pulang ke apartemen dia mau istirahat.
Angin awal Desember sangat menusuk, tapi Jakarta tetap ramai seperti biasa, kota yang tak pernah tidur. Sekitar pukul tujuh malam, para pegawai ada yang baru masuk kerja, ada pula yang baru pulang.
Doni mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedang. Seperti biasanya, sore hari Jakarta terasa macet dan padat. Di tengah kemacetan, Laras melihat seorang anak kecil berlarian membawa kopi. Anak itu tampak sangat senang. Ternyata itu Melati.
Melati terlihat ceria sambil memberikan kopi dan minuman dingin kepada para pembeli. Di belakangnya, Riko sibuk membuat es dan kopi, wajahnya terlihat kerepotan mengatur pesanan.
Meskipun lelah, Melati tetap tampak bahagia membantu ayahnya berdagang di tengah hiruk-pikuk kota besar. Melati tampak ceria melayani para pembeli kadang dia berlari kesana kemari bermain dengan teman-temannya tidak ada wajah kecewa.
“Tuh, kalau kita membesarkan Melati, nasib kita akan sama kayak Riko,” ucap Doni, membuyarkan lamunan Laras.
Laras terperanjat sejenak.
“Iya, Sayang. Untung saja kita tidak membesarkannya. Kalau kita membesarkannya, kita akan sial seperti mereka,” jawab Laras dingin.
Namun di dalam hatinya, ada perasaan bersalah yang berusaha ditepis. Bagaimanapun juga, ia meyakini Melati adalah bagian dari masalah dan beban hidupnya.
“Andai Melati tidak ada, Bapakku pasti masih ada.”
“Andai Melati tidak ada, aku tak harus repot-repot bersengketa dengan Paman Arsyad.”
Itulah isi pikiran Laras yang terus bergelayut dalam benaknya.
Kendaraan mereka melaju perlahan, mengikuti arus yang mulai lancar setelah kemacetan sedikit terurai. Suasana hening menemani perjalanan mereka, namun pikiran berat tetap membebani hati Laras dan Doni,kendaraan ada, tempat tinggal diapartemen, tapi yang adalah keruwetan hidup, berbebda dengan riko dan melati kendaraan tidak ada tinggal hanya dikosan sempit tapi mereka tampak ceria seperti tidak mempunyai beban hidup.
Akhirnya sampailah mereka di apartemen
Laras duduk disofa melihat televisi. Doni duduk disamping laras, laras bersandar dibahu doni
“Sayang, kalau urusan ini jadi panjang begini, kan jadi terhambat kamu pergi ke Jepang,” ucap Laras dengan penuh penyesalan.
“Ke Jepang? Emang kapan aku mau mengajak kamu ke Jepang? Kalau aku ke Jepang, aku tidak akan pernah mengajak kamu,” pikir Doni dalam hati.
“Sayang…” ucap Riko lembut.
“Aku nggak rela harta warisan kamu diambil orang lain. Aku sudah minta tambahan cuti pada atasan, dan dia mengizinkannya,” jawab Doni berbohong.
“Baik sekali atasan kamu, Sayang,” ucap Laras dengan kelembutan.
“Kamu memang pintar, pandai, dan yang jelas, kamu kekasihku,” tambah Laras sambil tersenyum.
,,
..
Setelah diusir dari kosannya, Riko mulai mencari kosan di sekitar Jakarta Pusat, tepatnya di Kebon Melati, Tanah Abang. Itu permintaan Melati, karena dia ingin melihat Monas. Namun, di sekitar Monas tidak ada pemukiman, mayoritas adalah perkantoran pemerintah dan swasta. Pilihan paling dekat dan terjangkau adalah Kebon Melati, selain harganya juga murah.
Melati tampak sudah tertidur pulas.
Satu per satu, Riko mengeluarkan baju miliknya dan Melati, lalu merapikannya dengan hati-hati.
Kosan itu disewa dengan harga Rp400.000 per bulan. Kamar mandi digunakan bersama, dan kamar yang mereka tempati sangat sempit.
Jangan tanya apakah masih ada atau tidak, di Jakarta segala sesuatu ada, dari barang mahal hingga barang mewah. Asal tahu celahnya, semuanya bisa didapat.
Meski hidup penuh perjuangan, Riko tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk Melati, sambil berharap hari-hari mereka kelak lebih baik..
Riko memandang Melati yang tampak kelelahan.
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu,” ucap Riko dengan suara penuh haru.
Ia pun mulai merenung, bertanya dalam hati, “Sekarang aku harus usaha apa, ya?”
“Dagang lagi di kosan? Ah, aku trauma. Bagaimana kalau gas meledak lagi? Aku yakin ada yang berbuat buruk padaku,” gumamnya.