Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Bukan Pernikahan Impian
Marsha memandangi cermin di hadapannya malam itu. Gaun pengantin berbahan satin putih yang akan ia kenakan esok hari kini menggantung di sudut kamar.
Ia melangkah dengan degup jantung berdebar, menyentuh gaun pengantin yang seolah menjadi pengingat, bahwa esok hari hidupnya akan berubah.
Bukan pernikahan Impian seperti yang ia impikan sejak kecil, melainkan pernikahan yang dipaksakan demi kebahagiaan ayahnya. Semua mimpinya kandas sudah.
Kemudian, suara ketukan pelan dari arah pintu membuyarkan lamunannya. Gadis itu mengernyit, jam dinding sudah menunjukkan waktu lewat tengah malam, siapa yang berani datang?
Dengan langkah pelan, ia berhati-hati saat menuju pintu. Marsha mengintipnya dahulu sebelum akhirnya membuka pintunya.
Ia nyaris tertawa keras, seandainya saja situasinya tidak serumit ini.
Seorang pria berseragam, sambil membawa banyak bunga di kantong besar dan juga beberapa ikat mawar merah dalam pelukannya. Kendatipun, wajahnya sengaja ditutupi dengan topi hitam.
"Permisi, Mbak. Tadi pesan jasa saya 'kan ya? Saya akan mendekorasi kamarnya sekarang," cetusnya.
Suaranya yang khas membuat Marsha langsung mengenalinya. Ya, gadis itu pandai, ia tidak bisa ditipu begitu saja.
Sejenak keningnya berkerut, tetapi sesaat setelah melihat Danu melintas, Marsha langsung bereaksi.
"Oh, Yusuf. Masuk, silahkan masuk," ajak Marsha yang sengaja mengencangkan suaranya.
Gadis itu langsung menarik lengan pria berseragam, lalu menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Marsha menghela napas berat.
"Syukurlah, kamu tidak berteriak. Jantungku hampir copot, aku belum pernah sekonyol ini menyelinap ke kamar seorang gadis," ungkap Joseph yang kemudian membuka topi yang semula menutupi wajah tampannya.
Marsha melipat tangannya, dan meletakkannya tepat di depan dadanya. "Apa yang Pak Joseph lakukan? Kalau ketahuan, ini bisa jadi masalah besar. Papaku bisa sekarat, dan kita jadi skandal."
"Sudah kubilang cukup panggil Joey! Aku gak peduli, kita ketahuanpun aku gak peduli," kata Joseph cepat.
Marsha terkejut, wajahnya berubah pucat.
"Aku harus bicara denganmu. Sekarang, setelah kamu menjadi istri kakakku, kesempatan itu tidak akan ada lagi, Sya."
Keduanya saling beradu pandang. Mata keduanya sama-sama berembun. Ada ketidakrelaan yang terlukis di masing-masing guratan wajah mereka.
Marsha menghela napas, sebelum akhirnya ia memilih menjatuhkan diri dan duduk di sofa sudut ruangan.
"Kamu harus membatalkan pernikahan ini, Sya."
Jantung Marsha terpacu cepat, ia sudah menduga ini akan terjadi.
"Tidak bisa," jawabnya cepat, ia berusaha agar suaranya terdengar tegas.
Joseph mendekat, ia kemudian berlutut. Ekspresinya penuh kesedihan, ia berusaha memohon.
"Kenapa? Kalau ini sandiwara, mengapa harus dilanjutkan? Bagaimana dengan Steven, Sya?"
Marsha mengalihkan pandangan, "Karena aku harusnya melakukannya. Bukan demi aku, setidaknya ini adalah wujud baktiku untuk papa."
"Karena Giorgio lebih tampan dan mapan dariku, 'kan? Karena dia pria single sedangkan aku seorang duda?" Ada nada getir dalam setiap kalimat yang Joseph katakan.
Marsha mendongak. Menatap pria yang kini berdiri berhadapan dengannya, "Karena Papaku, Joey. Karena Papaku komplikasi."
"Aku gak pernah sepenuhnya tahu, apa alasanmu di balik semua ini, Marsha. Tapi aku ingin kamu tahu ini. Sama seperti kamu, aku juga jatuh cinta sama kamu. Sama seperti kamu, aku juga ingin kita bersama. Aku jatuh cinta, sama kamu, Sya. Cinta yang sebenarnya gak pernah aku rasakan dengan perempuan manapun, bahkan itu mantan istriku sekalipun."
"Ini tentang Papaku, beliau sakit. Dan Papa butuh penerus perusahaan. Aku gak mungkin bisa, papa gak mau semua kerja kerasnya jatuh pada anak sambungnya yang sukanya mabok, dan main perempuan setiap malam. Papa memikirkan kelangsungan nasib karyawannya jika sampai perusahaan hancur. Dan yang bisa bantuin papa cuma Gio," terang Marsha panjang lebar.
"Aku juga bisa, Sya! Kamu tahu itu!" seru Joseph, menegaskan tentang kemampuannya dalam dunia bisnis.
"Tapi papaku memilih Gio," sahut Marsha.
Joseph langsung meraih buku jemari Marsha, lalu menggenggamnya erat, lalu meletakkannya tepat di depan dadanya.
"Kamu memilih untuk menyerahkan dirimu?" tanya Joseph, ingin memastikan.
Marsha tersenyum kecil, tetapi matanya mulai basah.
"Bukan pengorbanan, ini bentuk tanggung jawabku sebagai seorang anak."
Hening. Keduanya saling diam. Hanya napas mereka yang saling terdengar.
Joseph menatapnya sejenak, kemudian ia memberanikan diri berbisik, "Lalu bagaimana dengan Steven? Dia benar-benar menyukaimu, dia menyayangi kamu, Sya? Apa kamu tega sama dia?"
Marsha menelan ludah. Ada rasa nyeri di ulu hatinya, saat Joseph menyebut nama Steven.
Rasanya ia seperti ditikam, dan tepat mengenai jantungnya. Sesak, dan menyakitkan.
"Aku tidak bisa fokus memikirkan SSteven saat ini, maaf. Terlalu banyak yang dipertaruhkan."
Joseph menatapnya lama, seperti sedang mencari gambaran kebenaran dari sorot mata lawan bicaranya. Tapi kenyataannya tidak ada. Hanya kebenaran pahit yang membentang di antara keduanya.
Lalu, ia mencoba memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya dengan suara lirih, "Bolehkah aku menciummu, dan memelukmu. Sekali ini saja, sebelum kamu sepenuhnya menjadi istri kakakku."
Marsha mengerjap, seolah tak yakin dengan apa yang diinginkan oleh Joseph.
"Apa?" tanyanya, canggung.
"Peluk aku, Sya. Dan biarkan aku mencium kamu sekali ini saja. Untuk yang terakhir kalinya."
Seketika, Marsha tiba-tiba merasa dadanya sesak. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia menepisnya, atau bahkan melangkah menjauh. Tetapi tidak, ketika Joseph membentangkan kedua tangannya, ia berlari dan menangis.
Tangisan yang membuat suaranya berubah serak, karena kepedihan yang tertahan.
Pelukan itu, pelukan terakhir mereka yang terasa begitu hangat. Pelukan yang membuat dua insan merasakan keputusasaan, dan kepedihan yang mendalam.
"Tolong kubur dalam-dalam perasaan kita masing-masing setelah ini. Carilah perempuan lain, menikahlah, dan berbahagialah," pinta Marsha dengan tatapan sendu.
Joseph tidak menjawab.
Aktivitas mengharukan itu hanya sebentar. Menit setelahnya, Joseph kembali berbisik, "Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu 'kan?"
"Ya, aku sangat tahu. Terimakasih ya, sudah memilihku untuk kenangan pahitnya."
Joseph melepaskan pelukannya perlahan, lalu ia mengangkat wajah Marsha dengan buku jemarinya, hingga keduanya saling bertatapan mata. Sentuhan lembut yang membuat jantung Marsha berdebar kencang.
Keduanya tahu, jika ini adalah malam perpisahan.
"Bolehkah aku menciummu?" Suara Joseph mirip seperti kalimat permohonan seseorang yang sedang putus asa.
Marsha memejamkan matanya. Lalu mengangguk pelan.
Joseph menunduk, menyentuh bibir Marsha dengan telapak tangannya. Tidak ada gairah yang menggebu, yang tersisa hanya kesedihan dan keinginan yang tidak terwujud. Ciuman itu sangat singkat, tetapi meninggalkan bekas pada keduanya.
Setelah itu, Joseph langsung melangkah mengambil kembali topi miliknya, ia bergegas menutupi wajahnya kembali. Kemudian, ia melangkah pergi.
Tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Tepat di depan pintu, ia menoleh sejenak.
"Selamat tinggal, Sya. Setelah ini ... mungkin kita akan sama-sama asing setelah beberapa waktu lalu pernah menjadi saling."
Marsha menangis dalam diam. Ia tak mampu lagi menahan bulir bening yang mengalir deras melewati pipinya.
Dan sebelum Marsha bisa menjawab, Joseph sudah melangkah pergi meninggalkan Marsha yang masih larut dalam kesedihan.
Bersambung....