Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buket Bunga
Jae Hyun melangkah masuk ke kantornya dengan ekspresi dingin seperti biasa, tetapi pikirannya terus melayang ke rumah sakit, memikirkan keadaan Nesya. Ia mencoba mengabaikan kegelisahan di hatinya dan memfokuskan diri pada tumpukan pekerjaan yang menunggu.
Saat ia duduk di kursinya, pintu diketuk perlahan, dan Lee Joon—asisten setianya—masuk dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. "Tuan, ini dokumen merger dengan perusahaan cabang di Busan. Perlu tanda tangan Anda hari ini," ujar Lee Joon, meletakkan berkas-berkas itu di meja.
Jae Hyun mengangguk tanpa banyak bicara, mengambil pena dan mulai memeriksa isi dokumen. Namun, pikirannya terusik oleh bayangan wajah pucat Nesya di rumah sakit. Ia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan rasa khawatir yang tak wajar itu. Kenapa aku harus memikirkannya? batinnya bertanya-tanya.
Melihat atasannya yang tampak lebih pendiam dari biasanya, Lee Joon memberanikan diri bertanya, "Anda terlihat berbeda hari ini, Tuan. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?"
Jae Hyun menghentikan gerakan tangannya sejenak. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawabnya singkat, berusaha menutupi kegelisahannya. Ia kembali menandatangani dokumen dengan cepat. "Pastikan semua proses berjalan lancar. Aku tidak ingin ada kesalahan."
Lee Joon mengangguk, tetapi ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran bosnya. Jae Hyun tidak pernah seberantakan ini sebelumnya. Biasanya, ia sangat fokus dan tegas, tetapi hari ini ada kilatan emosi di matanya—sesuatu yang jarang terlihat dari pria dingin seperti Jae Hyun.
Saat Lee Joon hendak pergi, ponsel Jae Hyun bergetar di atas meja. Sekilas, ia melihat nama "Hye Jin" tertera di layar. Ia menghela napas dalam, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Apa?" sapanya tanpa basa-basi.
"Oppa, kenapa kau sulit dihubungi? Aku ingin makan malam bersamamu malam ini," suara manja Hye Jin terdengar di seberang sana. Nada suaranya penuh kepemilikan, seolah ia yakin Jae Hyun akan menurutinya.
Jae Hyun bersandar di kursinya, menatap langit kota Seoul dari jendela besar di belakangnya. Biasanya, ia akan langsung menyetujui ajakan Hye Jin tanpa pikir panjang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menahannya.
"Aku sibuk," jawabnya datar.
"Sibuk? Atau kau mulai bosan denganku?" Hye Jin tertawa kecil, tetapi ada nada cemburu yang terselip dalam suaranya. "Atau... kau sedang mengurus istri kontrakmu itu?"
Mendengar kata-kata itu, rahang Jae Hyun mengeras. "Jangan bicarakan hal yang tidak penting," tegasnya. "Aku akan menghubungimu nanti." Tanpa menunggu jawaban, ia memutus panggilan tersebut.
Ia meletakkan ponselnya kembali di meja, merasa semakin frustrasi. Kehidupan yang awalnya terencana rapi kini terasa kacau hanya karena kehadiran Nesya. Jae Hyun tak bisa memahami kenapa ia mulai memikirkan gadis itu lebih dari yang seharusnya.
Beberapa menit berlalu, dan meski ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya, bayangan Nesya tetap menghantui pikirannya. Bagaimana jika kondisinya memburuk? Apakah dia baik-baik saja tanpa ada orang di sampingnya?
Dengan gelisah, Jae Hyun bangkit dari kursinya dan meraih jasnya. "Lee Joon, aku keluar sebentar. Jika ada yang mendesak, hubungi aku," ujarnya sambil berjalan keluar ruangan tanpa menunggu jawaban.
Ia tahu ada sesuatu yang harus ia pastikan sendiri—dan itu bukan tentang merger perusahaan atau janji makan malam dengan Hye Jin. Sesuatu di dalam hatinya membawanya kembali ke rumah sakit, meski ia sendiri belum siap mengakui apa arti perasaan itu.
*
*
*
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Jae Hyun duduk di belakang kemudi mobil mewahnya, menghela napas berat. Pikirannya masih berkecamuk, memikirkan alasan mengapa ia begitu terganggu dengan keadaan Nesya. Gadis itu hanyalah istri kontraknya—hubungan mereka seharusnya murni kesepakatan. Namun, entah mengapa, ada rasa tidak nyaman yang menguasai hatinya sejak mengetahui kondisi Nesya.
Ponselnya bergetar di kursi penumpang. Nama Hye Jin kembali muncul di layar. Ia menatapnya sekilas, tetapi untuk pertama kalinya, ia mengabaikan pesan itu. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu hal—Nesya.
Di tengah perjalanan, mobilnya berhenti di lampu merah di depan sebuah toko bunga kecil di pinggir jalan. Biasanya, ia tak pernah memedulikan hal-hal sepele seperti bunga, apalagi untuk seseorang yang hanya terikat dalam hubungan palsu. Tapi kali ini, hatinya terasa berat jika menemui Nesya tanpa membawa sesuatu. Tanpa berpikir panjang, ia memarkir mobil dan masuk ke dalam toko bunga tersebut.
"Selamat siang, Tuan. Apa Anda ingin membeli buket bunga untuk seseorang spesial?" sapa seorang penjaga toko dengan ramah.
Jae Hyun terdiam sejenak, matanya menyapu deretan bunga segar yang berwarna-warni. Ia tak tahu bunga apa yang disukai Nesya. Entah kenapa, ia memilih buket bunga lili putih yang terkesan sederhana tetapi anggun—seperti Nesya.
"Bungkus ini," katanya singkat, menyerahkan buket itu kepada penjaga toko. Saat penjaga bunga membungkusnya, pandangan Jae Hyun jatuh pada rak kecil di sebelah kasir yang berisi kartu ucapan. Ia mengambil satu tanpa berpikir panjang dan menuliskan kalimat singkat dengan tulisannya yang tegas:
"Jangan keras kepala, cepat sembuh."
Tanpa menulis namanya, ia menyelipkan kartu itu di antara bunga-bunga lili yang sudah dibungkus rapi, lalu membayar dan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, langkahnya terasa lebih ringan meskipun hatinya tetap diliputi kebingungan. Ia berjalan menuju ruang rawat Nesya, membuka pintu perlahan. Di dalam, ia melihat gadis itu masih tertidur dengan wajah pucat. Ada selang infus di lengannya, membuatnya terlihat lebih rapuh dari biasanya.
Jae Hyun meletakkan buket bunga di meja samping tempat tidur tanpa mengeluarkan suara. Ia menatap wajah Nesya yang tertidur lelap. Tatapan dinginnya melunak sejenak. Dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa ia terus memikirkan gadis ini lebih dari yang seharusnya.
Saat ia hendak berbalik pergi, suara lirih menghentikan langkahnya. "Jae Hyun...?"
Ia menoleh dan mendapati Nesya membuka mata perlahan, menatapnya dengan bingung.
"Kau sudah bangun," ucapnya datar, meskipun ada kelegaan dalam nada suaranya.
Nesya mencoba duduk, tetapi ekspresi kesakitan langsung terlukis di wajahnya. Melihat itu, Jae Hyun tanpa berpikir panjang melangkah mendekat dan membantunya duduk lebih nyaman di ranjang.
Pandangan mata Nesya jatuh pada buket bunga lili di samping tempat tidurnya. Alisnya mengernyit heran. "Ini... darimu?" tanyanya ragu.
Jae Hyun berpura-pura acuh, menyelipkan tangannya di saku celana. "Aku hanya kebetulan lewat. Jangan salah paham," jawabnya dingin.
Namun, Nesya tersenyum tipis—senyum yang membuat Jae Hyun merasa aneh di dadanya. Dengan hati-hati, ia mengambil buket bunga itu dan menemukan kartu kecil yang tersembunyi di antara kelopaknya. Setelah membacanya, senyum di wajahnya semakin melebar.
"Terima kasih," ucap Nesya lirih, tetapi tulus.
Jae Hyun hanya mengangguk kecil. "Jangan keras kepala lagi. Kalau ada yang sakit, bilang. Aku tidak mau repot di masa depan," ucapnya dengan nada tegas, meski di balik kata-kata kasarnya, ada kepedulian yang terselubung.
Ia berbalik hendak pergi, tetapi suara pelan Nesya menghentikannya lagi. "Kenapa kau peduli, Jae Hyun? Bukankah kita hanya... pura-pura?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Jae Hyun terdiam di ambang pintu. Ia ingin menyangkal, tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Tanpa menjawab, ia melangkah keluar, meninggalkan Nesya yang masih memegang bunga lili di tangannya dengan tatapan bingung.
Di luar kamar, Jae Hyun bersandar sejenak di dinding, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya—sesuatu yang bahkan tak berani ia akui. Dan semua itu, entah kenapa, dimulai sejak gadis berhijab itu hadir dalam hidupnya.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak