Judul: The Fatalis
Nazzares, pemuda dengan mata merah yang dilahirkan untuk memburu raksha, memegang pedang abhiseka sebagai simbol takdirnya. Bersama istrinya, Kandita, yang telah bersamanya sejak usia 15 tahun, mereka menghadapi dunia yang penuh perang, pengkhianatan, dan rahasia yang tak terungkap. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada takdir yang penuh kejutan dan plot twist yang mengubah segalanya.
The Fatalis adalah kisah aksi, intrik, dan pengorbanan yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pernikahan dan pemakaman
Di istana megah Kerajaan Majapahit di Trowulan, para Fatalis dan raja tengah menggelar rapat penting. Tiba-tiba, seorang prajurit berlari masuk ke ruangan. Napasnya tersengal, ia segera berlutut di hadapan para petinggi, membawa kabar genting tentang kejadian di Desa Gousan tadi malam.
"Maafkan hamba, Paduka yang mulia," ujar prajurit itu dengan napas tersengal.
"Hamba ingin melapor, Desa Gousan telah diserang oleh segerombolan Raksha. Dari laporan yang hamba terima, ada satu Raksha dengan tingkat ancaman tinggi yang memimpin mereka." Suaranya penuh ketegangan, menggambarkan betapa seriusnya situasi yang baru saja terjadi.
Para petinggi dan Sang Raja terkejut mendengar laporan prajurit itu.
"Apa? Bagaimana bisa?" tanya Sang Raja, tubuhnya yang tegap kini berdiri, menandakan kegelisahan yang mendalam.
"Lalu, bagaimana keadaan desa itu?" lanjutnya, suaranya lebih tegas, menuntut penjelasan lebih lanjut.
"Desa itu telah hancur lebur, tak ada yang tersisa," jawab prajurit itu dengan suara berat.
"Para Raksha juga menghancurkan pangkalan militer kita. Dari seluruh prajurit yang ada, hanya dua orang yang selamat, namun mereka terluka parah dengan kondisi yang sangat fatal." Wajahnya penuh kekhawatiran, menggambarkan betapa tragisnya serangan tersebut.
Vitjendra yang mendengar laporan itu langsung panik, pikirannya melayang kepada keselamatan Kandita dan Nazzares.
"Lalu bagaimana dengan Nazzares, murid yang ku latih? Harusnya dia ada di sana, bukan?" tanya Guru Vitjendra, suara cemas terdengar jelas di antara kata-katanya. Dia menatap prajurit itu, berharap ada kabar baik yang bisa menenangkan kekhawatirannya.
"Maafkan kami, Kapten," jawab prajurit itu dengan menunduk, suaranya penuh penyesalan.
"Hingga saat ini, belum ada laporan mengenai itu."
"Izin yang mulia, biarkan hamba pergi ke Desa Gousan," ucap Vitjendra, sambil berlutut di hadapan Raja Hayam Wuruk, memohon izin untuk segera bertindak.
"Baiklah, namun bawa beberapa pengawal untuk berjaga-jaga," jawab Raja Hayam Wuruk dengan tegas, menyetujui permohonan itu.
"Biarkan saya menemani Kapten Vitjendra, yang mulia," ucap Komandan Druvh, menawarkan diri dengan sikap hormat.
"Saya juga akan ikut, bersama Kapten Vitjendra, yang mulia," tambah Kapten Ahtreya, turut menyatakan kesediaannya.
"Baiklah, sepertinya tiga orang fatalis sudah lebih dari cukup," kata Raja Hayam Wuruk, matanya tajam menatap mereka.
"Sekarang, aku perintahkan kalian pergi ke Desa Gousan. Selamatkan apapun yang masih bisa diselamatkan."
"Siap, yang mulia!" jawab mereka serentak, suara mereka penuh tekad.
Ketika mereka meninggalkan aula, Yang Mulia Hayam Wuruk terdiam sejenak. Amarah dan penyesalan menguasainya. Ia mengepalkan tangan, lalu menghantamkan tinjunya ke sandaran singgasananya yang megah. Suara dentuman itu menggema di ruangan yang kini sunyi.
"Seharusnya setiap pangkalan militer memiliki setidaknya satu seorang Fatalis untuk berjaga," pikirnya dengan penuh emosi.
Tatapannya tajam, menyiratkan penyesalan yang mendalam atas kelalaiannya sebagai pemimpin.
kembali ke desa gousan..
Kandita terbangun dari pingsan panjangnya, napasnya tersengal. Pedang Abhiseka masih erat tergenggam di tangannya, seolah menjadi satu-satunya penopang harapan. Sakit terasa di sekujur tubuhnya, luka-luka membakar setiap gerakan. Dengan kaki yang terluka parah, ia mencoba berdiri, lalu melangkah perlahan menuju desa.
Tap... tap... tap...
Langkahnya pelan, tertatih di tengah kegelapan. Matahari mulai terbit di kejauhan, tetapi bayang-bayang kehancuran Desa Gousan tetap menghantui pikirannya.
"Pemandangan macam apa ini?" Lirih kandita, suaranya bergetar ditengah kesunyian yang mencekam.
Dengan langkah tertatih, ia menyusuri desa yang kini tinggal puing puing. Matanya tidak kuasa membendung air mata saat melihat mayat-mayat bergelimpangan, bercak darah yang mengotori tanah, dan bangunan hancur tak bersisa. Asap hitam masih mengepul dari sisa-sisa kobaran api tadi malam, bercampur dengan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang.
Segala hal disekitarnya menciptakan suasana yang mengerikan, seperti neraka yang menyelimuti bumi. Hatinya terhimpit rasa duka dan kemarahan yang bercampur menjadi satu.
"Kakak!!! Aaaaaaaa... Kakak... Ayah... aah... Ayah... sudah..." Samsul terisak, suaranya patah-patah, mencoba mengucapkan sesuatu di tengah tangisnya. Matanya yang sembab penuh dengan ketakutan dan kesedihan.
Kandita terdiam, tubuhnya membeku sejenak. Ia tak perlu mendengar sisa kata-kata Samsul untuk tahu apa yang ingin disampaikan adik kecilnya itu. Hatinya hancur, tetapi ia menahan tangisnya. Dengan langkah cepat, ia meraih Samsul dan memeluknya erat, mencoba melindunginya dari rasa sakit yang tak tertahankan.
"Sudah... jangan menangis, Samsul," bisik Kandita pelan, meski hatinya sendiri remuk. Pelukan itu menjadi satu-satunya perlindungan yang bisa ia berikan di tengah kehancuran yang melingkupi mereka.
Warga yang selamat dari insiden itu hanya segelintir wanita dan anak-anak. Wajah-wajah mereka pucat, tubuh gemetar di bawah bayang-bayang kehancuran. Para pria, hampir semuanya telah gugur, kemungkinan besar tewas saat berusaha melawan Raksha tingkat rendah.
Mereka bertempur hingga napas terakhir, mempertaruhkan segalanya untuk melindungi desa mereka. Namun kini, hanya kenangan dan kehancuran yang tersisa, menyisakan luka mendalam bagi mereka yang masih hidup.
"Baiklah, pergilah ke tempat Ibu sekarang," ujar Kandita lembut namun tegas, menatap adik kecilnya yang masih terisak. Samsul mengangguk perlahan, meski langkahnya berat meninggalkan kakaknya.
Setelah memastikan adiknya menjauh, Kandita meraih ramuan dari ikatan di pinggangnya. Tangannya gemetar saat membuka balutan kain yang menutupi lukanya. Luka itu menganga, masih berdarah, tetapi ia tak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, ia menuangkan ramuan tersebut langsung ke lukanya.
"Heeeggggkkkk!" Kandita menggertakkan giginya, menahan rasa perih yang luar biasa. Tubuhnya bergetar seiring nyeri yang menjalar, tapi ia tak membiarkan kelemahan menguasainya. Perlahan, ia menutup matanya, mengatur napas, dan mulai berkonsentrasi. Energi mistisnya mengalir, menyatu dengan tubuhnya, berusaha mempercepat penyembuhan luka yang merongrong kekuatannya.
Setelah beberapa saat, luka di tubuh Kandita mulai mengering. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ia kini mampu berjalan dengan normal. Tanpa membuang waktu, ia bergegas mencari Nazzares, melangkah cepat sambil terus menoleh ke kanan dan kiri, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan calon suaminya itu.
Langkahnya membawanya ke tepi desa, tepat di dekat sungai yang dulu menjadi tempat para warga mencuci pakaian. Namun, pemandangan di sana kini berbeda. Kehancuran menyelimuti area itu. Pohon-pohon tumbang, tanah berlubang, dan jejak-jejak pertarungan terlihat jelas. Tempat itu kini sunyi, hanya menyisakan bekas pertempuran sengit antara Nazzares dan para Raksha tadi malam.
Hati Kandita berdegup kencang. "Nazzares! di mana kau?" gumamnya, penuh kegelisahan, sambil terus menyusuri tempat itu dengan tatapan tajam.
Ditempat nazzares..
Di tengah hamparan tanah luas di tepi sungai, Nazzares duduk membeku. Tubuhnya kaku, tak bergerak sedikit pun. Di hadapannya terbaring mayat ayahnya, kulitnya mulai memutih, dingin oleh waktu.
Pikirannya kosong. Tatapannya hampa, menatap tanpa benar-benar melihat. Hatinya seperti tak lagi berdetak, terselimuti kehampaan yang tak tertahankan. Hanya kekosongan dan keheningan yang mengisi dirinya, seperti malam tanpa bintang.
Satu-satunya keluarga yang ia miliki kini telah tiada, direnggut dengan cara yang begitu kejam. Rasanya seperti dunia telah meninggalkannya, meninggalkan ia sendirian dalam kesunyian yang menyesakkan.
Kandita yang melihat zares dari kejauhan dengan berlutut. Tanpa pikir panjang dia berlari ke arah calon suaminya itu dengan rasa cemas dan tangisan.
Langkah kandita terhenti tepat seketika saat ia mendapati nazzares duduk berlutut membeku didepan mayat abail. Tubuhnya bergidik melihat kondisi mayat itu begitu mengerikan, penuh luka dan darah mengering.
Kandita menutup mulutnya sendiri, menahan tangis yang nyaris pecah. Matanya memerah, air mata mengalir tanpa henti, tetapi ia tak ingin nazzares mendengar tangisan nya.
"mmmhh" : kandhita menahan tangis
Ia mengurungkan niatnya untuk memeluk kekasihnya itu, takut menyentuh luka yang jelas terlihat di hati nazzares.
Ia berlutut perlahan dibelakangnya, tubuhnya gemetar. Namun, air mata yang tak tertahankan akhirnya mengalir deras. Ia menangis dalam keheningan, berbagi duka tanpa berkata sepatah kata pun.
tiga hari kemudian..
Di tengah desa yang kini hancur, terbentang barisan kayu yang tersusun rapi, siap menyambut tubuh-tubuh yang tergeletak tak bernyawa, disusun satu per satu. Upacara pemakaman dimulai. Api akan menyambar tubuh-tubuh itu yang terbaring di atas tumpukan kayu, satu demi satu.
Zares menggenggam obor di tangannya, matanya kosong menatap tubuh ayahnya yang tertutup kain putih, tubuh yang kini akan dijadikan abu. Dengan langkah pelan, dia mendekati tumpukan kayu, hatinya dihantui rasa kehilangan yang tak terkatakan.
"Pletak... pletek... wussshhh..."
Api berkobar, merambah dan membakar barisan mayat itu dengan dahsyat, sementara keheningan menyeruak, hanya dipecah oleh isak tangis yang hancur dari para keluarga yang ditinggalkan. Kandita mendekat, merangkul Zares dengan penuh kasih, menenangkannya dengan pelukan yang tak ingin dilepaskan. Dalam dekapan itu, Zares tak mampu menahan lagi, tangisnya pecah, tubuhnya gemetar dalam pelukan yang hangat itu.
satu minggu kemudian setelah insiden..
Pernikahan Zares dan Kandita dilaksanakan di kuil desa yang kini hanya menyisakan reruntuhan. Di antara dinding-dinding yang rapuh, pernikahan mereka menjadi simbol harapan baru setelah kehancuran yang menyelimuti. Iring-iringan warga yang tersisa berjalan pelan, mengikuti langkah mereka yang penuh makna. Di tengah kerumunan, tampak ibu kandita dan adiknya serta kakaknya, yang baru saja kembali setelah mendengar kabar tersebut.
Wajah mereka yang penuh kecemasan kini berubah menjadi harapan, meski masih menyimpan luka yang mendalam.
Para Fatalis, yang datang, serta seorang pandita yang didatangkan dari kota Serabi, telah siap memimpin upacara.
Di tengah keheningan dan keindahan yang terpancar dari kuil yang hancur, pandita itu mulai membaca mantra-mantra sakral, mengiringi pernikahan yang begitu sederhana namun penuh makna. Zares dan Kandita saling berpandangan, di antara keramaian dan kesedihan yang tak terucapkan, mereka tahu bahwa ini adalah permulaan baru, meski dunia di sekitar mereka masih belum pulih.
"Hei apakah perlu menikah dengan upacara seperti ini?" Ucap druvh kepada ahtreya.
"Ya untuk orang pedesaan terpencil upacara seperti ini masih dipercaya" jawab ahtreya.
"Aku terkejut usia mereka masih 15 tahun". Ucap druvh
"apa! manusia sangat wajar jika menikah diusia belia seperti itu? Jangan samakan dengan ras lain"
5 hari setelah pernikahan..
"Hei, jika melihat bekas pertempuran di area ini, pasti pertarungan yang terjadi sangat hebat," ucap Druvh, sambil melangkah perlahan bersama Ahtreya, memeriksa setiap sudut yang masih meninggalkan jejak kekerasan.
"Ya... aku pun berpikir seperti itu," jawab Ahtreya, matanya menyusuri reruntuhan dan darah yang masih membekas.
"Namun, apakah benar jika murid Kapten bisa sekuat itu?"
"Mungkin saja," jawab Druvh, tetap tenang meski rasa heran masih tergambar di wajahnya.
"Kapten telah melatihnya hampir dua tahun lamanya. Itu bukan waktu yang singkat."
Ahtreya mengangguk, merenung sejenak. Semua yang mereka lihat menunjukkan betapa dahsyatnya pertempuran ini, dan murid Kapten, meskipun muda, tampaknya sudah cukup kuat untuk bertarung dengan raksha ancaman level tinggi.
Sementara itu, ibu, kakak, dan adik Kandita berpamitan untuk meninggalkan desa. Sang kakak, Jumanto, berniat membawa ibunya kembali ke Trowulan dan menetap di sana, jauh dari kehancuran yang kini menyelimuti desa yang pernah mereka huni.
"Adik, aku pergi dulu ya... Cepatlah menyusul kedatanganmu bersama suamimu. Kami akan menunggumu di Trowulan," ucap Jumanto dengan suara yang berat, namun penuh harapan.
"Iya, kakak. Aku juga ingin melihat keponakanku. Pasti dia sangat tampan, seperti ayahnya," jawab Kandita, tersenyum meskipun di matanya ada kesedihan yang tak terucapkan.
Dengan hati yang penuh perasaan, adik dan ibunya pun saling berpelukan, melepas kepergian mereka. Di pelukan itu, ada cinta, ada kerinduan, dan ada doa yang tulus untuk masa depan yang lebih baik. Meskipun mereka harus berpisah, mereka tahu bahwa ikatan keluarga takkan pernah bisa terpisahkan, meski dunia di luar sana telah berubah menjadi begitu rapuh.
disisi lain..
"Kau sudah yakin dengan pilihanmu, Zares?" tanya Guru Vitjendra dengan tatapan serius, memandang muridnya yang kini berdiri dengan tekad bulat di depannya.
"Iya, Guru. Aku akan menetap di sini selama satu tahun penuh sebelum memasuki akademi, untuk menimba ilmu di sana," jawab Zares dengan keyakinan yang tercermin dalam suaranya.
"Baiklah, aku akan menunggumu. Selama seminggu ini, kami sudah membantu memperbaiki rumahmu, meski masih jauh dari kata layak. Pangkalan militer pun telah dibersihkan oleh pihak kerajaan, meski hanya menyisakan puing-puingnya. Kini, kawasan ini mungkin akan dihapus dari peta Kerajaan Majapahit, mengingat sudah tidak ada lagi penghuninya," jawab Guru Vitjendra, suaranya penuh dengan keprihatinan.
Zares mengangguk pelan
"Baik, Guru. Apa yang bisa aku lakukan di sini adalah menanam pohon di seluruh area desa ini. Aku ingin desa ini dipenuhi pohon. Itulah yang bisa aku lakukan untuk menghormati orang-orang yang menjadi korban. Aku juga akan menanam pohon dengan abu mereka. Setidaknya, orang-orang baik yang mengorbankan nyawa mereka bisa tetap hidup didesa dalam sebuah pohon yang rimbun."
Guru Vitjendra tersenyum lembut mendengar jawaban muridnya.
"baiklah, keinginanmu sangat mulia. Namun, cepatlah, Zares. Teruslah menjadi kuat dan jadilah Fatalis kerajaan, agar kau bisa menemukan jati dirimu."
"Baik, Guru," jawab Zares, dengan suara yang penuh tekad, merasa semakin siap menghadapi tantangan yang akan datang.
Sore hari menjelang para Fatalis kerajaan akan kembali menuju kerajaan dan melaporkan semuanya ke raj hayam wuruk
"Hati hati guru, tunggu aku satu tahun lagi" ucap zares melihat Fatalis sudah menaiki hewan mistis mereka dan terbang pulang.
Beberapa hari kemudian..
Zaresh sedang memperbaiki rumahnya yang rusak paska kehancuran yang diakibatkan penyerangan raksha. dengan berbekal alat-alat yang diberikan oleh gurunya yang dibeli dari kota serabi, dia mulai memperbaiki rumahnya dan mengganti semua struktur kayu yang sudah tidak layak pakai.
Sementara itu, di area yang dulunya penuh dengan kehidupan, Kandita mulai menanam pohon-pohon baru. Dengan benih-benih yang dibelikan oleh Guru Vitjendra dari kota Serabi, ia menanam satu persatu dengan penuh hati-hati. Setiap lubang yang digali menjadi saksi akan keinginannya untuk menghormati mereka yang telah pergi.
Di setiap lubang tanah, Kandita dengan lembut menaburkan abu mendiang, campuran dari mereka yang gugur dalam kehancuran desa. Setiap butir abu yang jatuh di tanah menjadi doa, sebuah penghormatan yang mendalam kepada jiwa-jiwa yang telah mengorbankan hidup mereka. Pohon-pohon itu tidak hanya akan menjadi saksi bisu, tetapi juga tempat untuk mengenang mereka yang telah tiada, yang kini akan hidup kembali dalam bentuk kehidupan baru, tumbuh dengan kuat dan rimbun.
Kandita mengusap peluh dari dahinya, namun ia tidak berhenti. Setiap pohon yang ditanam adalah janji untuk menjaga kenangan mereka tetap hidup, meskipun dunia telah berubah dan desa yang dulu riuh kini hanya tinggal kenangan. Dalam kesendirian dan keheningan, pohon-pohon itu akan tumbuh, membawa kedamaian dan harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.
Rumah Zares yang terletak di lereng bukit dekat air terjun mulai terancam oleh tanah yang terkikis. Dengan kekuatan fisiknya, Zares mulai mengumpulkan bebatuan besar dan menanamkannya di lereng untuk memperkokoh tanah di sekitar rumahnya. Setiap batu yang ia pasang berfungsi sebagai perisai, mencegah tanah terkikis lebih jauh dan melindungi rumahnya dari ancaman alam. Meski lelah, Zares terus bekerja dengan tekad, memastikan rumahnya tetap berdiri kokoh.
Satu bulan kemudian..
Satu bulan berlalu, dan rumah Zares kini telah selesai diperbaiki, layak untuk dihuni kembali. Kawasan desa yang dulunya hancur kini mulai dipenuhi pohon-pohon kecil yang tumbuh subur, memberikan harapan baru. Bahkan gerbang masuk desa, yang dulu menjadi penanda, kini sudah sepenuhnya dihancurkan oleh Zares. Sebagai gantinya, ia menanam rumput batu dan pohon-pohon, dengan tujuan agar jalan itu suatu saat nanti akan tersamarkan, menjadi bagian dari alam yang kembali hidup. Semua perubahan ini adalah upaya Zares untuk menyembuhkan luka desa dan menghormati mereka yang telah pergi.
"Sudah satu bulan, sayang. Kita disini. aku bahagia sekali bisa menghabiskan waktu bersamamu" Ucap kandita dengan penuh senyuman
"Emmmm.. ya kita sudah menjadi suami istri sekarang, kemanapun aku pergi aku ingin kau tetap disampingku" ucap zares ke kandita
Suatu ketika, Kandita sedang merawat pohon yang mulai layu, jauh dari rumah Zares. Saat ia tenggelam dalam pekerjaannya, suasana sekitar tiba-tiba menjadi hening. Angin berhenti berhembus, dan udara terasa lebih dingin. Tiba-tiba, kabut tebal muncul perlahan dari dalam hutan, menyelimuti tanah di sekitar kandita.
Dengan gerakan lembut, kabut itu menyibakkan dirinya, memperlihatkan sosok seorang perempuan cantik dengan rambut panjang yang terurai. Perempuan itu melangkah pelan mendekati Kandita, wajahnya tampak tenang dan penuh kedamaian. Kandita tertegun sejenak, merasakan aura yang sangat berbeda dari sosok itu.
Perempuan itu berhenti beberapa langkah di depannya, menatapnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan.
"Aku adalah roh penjaga Hutan Timur Blora," ucapnya dengan suara yang lembut namun jelas, seolah-olah suara itu menyatu dengan angin di sekitar mereka.
"Aku datang untuk melihat siapa yang menanam pohon-pohon ini, yang akan menjadi penanda kehidupan di desa yang telah hancur."
Kandita menundukkan kepala, merasa terhormat dan sekaligus penuh rasa penasaran.
“Aku dan suamiku hanya ingin menghormati mereka yang telah pergi dan menjaga apa yang masih ada. Aku menanam pohon-pohon ini untuk mengenang mereka.”
Roh penjaga itu tersenyum, matanya menyiratkan kebanggaan.
"Kau memiliki hati yang baik. Pohon-pohon ini akan tumbuh kuat, dan dengan mereka, kenangan yang kau simpan akan abadi."
Bersambung...
yuk mampir juga dinovelku jika berkenan