NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.12 - Hari Guru yang Kacau

“Hm?”

Lail memandang ke sekeliling, karena banyak siswi membawa totebag. Satu siswi bahkan bisa membawa lebih dari satu. Belum lagi kotak yang dibungkus kertas kado.

Wih, ada acara apaan nih?

Lail berhenti di lorong samping lapangan, menaruh tas di sana kemudian berbaris di lapangan. Sebab bel masuk sudah berbunyi kala kakinya baru menginjak gerbang sekolah. Walau Lail penasaran, dia tak bisa bertanya kepada siapapun sebab Bening dan Nylam belum datang. Azara? Nah, bocah itu izin tidak masuk hari ini.

Bening yang baru datang buru-buru meletakkan tasnya di samping tas Lail dan masuk barisan. Dia berdiri di belakang Lail, “Kenapa ada banyak kotak kado di depan kelas?”

“Gak tau, justru tadinya aku mau nanya ke kamu.” Lail menggeleng pelan.

Kegiatan upacara akan dimulai sebentar lagi. Para petugas dan guru sudah di posisi masing-masing. Siswi-siswi juga sudah berbaris sesuai urutan kelas mereka.

Upacara tidak berjalan khidmat, semua karena ada beberapa siswi yang terus mengobrol dan ketawa-ketiwi. Sudah bukan kasus baru, terutama para kakak kelas yang merasa superior.

Rupanya setelah upacara, para siswi tidak dibubarkan ke kelas masing- masing. Siswi yang barusan membawa bingkisan pun membawa kotak besar itu ke tengah lapangan. Lail semakin dibuat bertanya-tanya, begitu juga Bening dan Nylam.

“Lo beli hadiah gak, Sha?” tanya Amanda pada Shakila.

Shakila menggelengkan kepalanya. Dia pikir orang lain sudah membelinya. Shakila pikir Welda sudah menyiapkannya dari rumah karena dia mengatakan seperti itu di grup chat. Ekspresi semua siswi kecuali Lail, Nylam dan Bening berubah panik.

“Kan lo yang megang uang kas!” panik Isvara.

“Hadiah apa dah?” tanya Lail pada Giselle yang kebetulan ada di sampingnya.

“Hadiah buat hari guru.” Jawab Giselle.

Lah? Emang wajib bawa ya?

Lail cukup terkejut kalau di sekolah ini, tradisi memberikan hadiah di hari guru sudah terbentuk cukup lama. Ia kira hanya mereka yang mau saja yang perlu bawa. Tidak sampai dijadikan acara setelah apel pagi seperti ini. Karena di SMP-nya dulu, hal semacam ini tidak dijadikan tradisi wajib. Murid harus seroyal itu ‘kah?

Lail tahu kalau guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi beda kasus kalau kejadiannya seperti ini. Seolah murid dipaksa memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih kepada sang guru.

Entahlah, pola pikir Lail mungkin berbeda dari kebanyakan guru di sini apalagi murid-muridnya yang melanjutkan tradisi itu.

“Para wali kelas boleh berdiri di paling depan sesuai urutan kelas.” Ucap seorang guru mapel menggunakan mikrofon.

Huh?

Lail memandang ke depan, para wali kelas termasuk Pak Juan sudah berdiri berbaris di lapangan. Lail meringis, padahal kelasnya tidak menyiapkan apa pun untuk Pak Juan. Melihat para tahun pertama yang lain membawa bungkusan besar, kelas 1-7 semakin panik.

“Siapa aja beli kue geh! Nih, uangnya!” Shakila yang adalah bendahara kelas meminta salah satu dari mereka untuk membeli hadiah dadakan untuk wali kelas.

Lail dan Bening tidak mengajukan diri, sebab mereka saja tak punya motor. Berjalan kaki ke toko kue akan memakan waktu yang lebih lama. Nylam pun sama, karena pagi ini dia berangkat menumpang motor Giselle.

“Gue gak bisa, motor gue di tengah. Ribet kalo mau ngambilnya.” Giselle menolak menawarkan diri. “Tuh motor si Nay, motor dia mah di pinggir.” Giselle kemudian menunjuk Shanaya.

Shanaya bergegas menolak, “Motor gue juga di tengah.”

“Lah? Terus siapa yang mau beli?” Milda mendadak geram karena alasan Giselle yang motornya tak bisa diambil. “Minimal ada usaha lah! Pinggirin kek motor yang lain.” Ketus Milda, kemudian menarik Jelika kembali ke kelas.

Shakila hendak protes karena Milda dan Jelika malah ke kelas. Tidak sampai di sana, ternyata Shanaya dan Hanin pun malah mengikuti mereka dari belakang. Sekarang tersisa sebelas, dikurangi Lail, Bening dan Nylam yang tak bawa motor, sisa delapan lagi. Namun justru mereka semua pun sama tak bawa motor, hanya ada Giselle. Kebetulan Isvara dan Khalila tak naik motor hari ini.

“Gis, cepet geh!” desak Shakila.

“Gak bisa woy! Motor gue di tengah!” Giselle bersikeras.

“Ya udah gue aja yang beli sama Manda ke toko kue di perempatan.” Welda pasrah, dia mengambil sejumlah uang di tangan Shakila dan menarik Amanda untuk membeli kue.

“Ikut!” Khalila turut serta dengan mereka.

Isvara akhirnya memutuskan kembali ke kelas menyusul Milda dan Shanaya. Pengumuman dari mikrofon kembali terdengar, kini dua siswi diminta membawakan kado dan hadiah lain ke lapangan, berdiri tepat di depan wali kelas. Shakila berlalu menuju lapangan.

Tersisa Lail, Nylam, Bening dan Giselle di samping lapangan. Mereka berdua duduk dengan perasaan kesal dan marah. Terutama Giselle yang dihardik Milda barusan. Rasanya dia tak ingin sekolah saja hari ini.

“Apaan sih itu si Milda, marah-marah mulu! Kesel gue. Kenapa yang kena malah gue, si Shanaya juga gak bawa motor tapi kenapa yang disembur cuma gue?” Giselle nyaris melemparkan ponselnya ke dalam got di depan mereka.

“Aku juga gak suka, muka dia tuh gak bisa santai. Padahal dia juga gak usaha sama sekali.” Timpal Nylam yang juga geram. Nylam tahu kalau motor Giselle susah diambil. Meminggirkan motor juga perlu tenaga.

“Tau jing, kesel gue!” sambung Bening.

Bening yang biasa sabar dan pasrah pun tak bisa menahannya lagi. Semua kesalahan karena tak ada usaha dilimpahkan kepada mereka. Bagaimana dengan pasukan oranye yang lain? Seolah-olah haram jika berada di sisi yang berseberangan dengan mereka.

“Udahlah, mereka mah emang gitu.” Lail berupaya menenangkan.

“Tapi La, kesel anji*g! Apa-apa kalo salah ke kita.” Bening mengeluarkan keluh kesahnya. Lail ingat sakit hati Bening karena dijauhi pasukan oranye hanya karena satu hal sepele.

“Udah males aku ngeliat muka mereka.” Nylam mendengus.

Lail hanya bisa tersenyum tipis mendengar keluhan ketiganya. Dia juga sebenarnya ingin mengeluh, tapi kehilangan poker face di khalayak ramai adalah pantangan baginya.

“Oh, weh.” Lail menoel Nylam di sampingnya. Kemudian menunjuk Shakila yang berada di tengah lapangan bersama Pak Juan. Tangannya mengisyaratkan kalau mereka berempat harus ke tengah lapangan juga. “Dia nyuruh kita ke lapangan? Bukannya cuma dua orang doank ya?”

“Gak jelas emang.” Sambar Bening.

Lail pun membalasnya juga dengan isyarat tangan. Menggunakan kedua jarinya, berkata kalau yang boleh ada di sana hanya dua orang saja. tapi Shakila nampak tak peduli, dia terus memaksa memanggil mereka berempat menuju lapangan.

“Apa sih? Gak jelas! Udah gini aja butuhnya mah ke kita.” cela Bening.

“Coba ayo ke sana.” Ajak Lail pada Nylam, Bening dan Giselle. Mereka pun pasrah mengikutinya.

Sampai di lapangan, mereka berempat berdiri di belakang Shakila yang fokus dengan layar ponselnya. Dia sedang nge-chat Amanda yang tengah membeli kue bersama Welda dan Khalila.

“Tenang aja, Sha. Kalau gak tenang malah kacau semua.” Ujar Lail menenangkan.

“Gak bisa tenang gue, kont*l!” hardik Shakila.

Akhirnya Lail mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Shakila kalau badmood amat sangat menyebalkan. Dia tidak bisa santai. Seakan-akan semuanya salah mereka berempat karena tidak menyiapkan hadiah. Padahal mana Lail tahu kalau ini hari guru. Terlebih lagi mereka wajib membawa hadiah.

“Kenapa kalian semua baris di sini, yang dibutuhin dua orang aja.” Pak Juan mengingatkan, beliau baru sadar kalau ada lima muridnya yang berbaris dengan tangan kosong.

TUHKAN!

Lail keluar dari barisan diikuti Nylam lalu Bening. Giselle meminta Zeira untuk berbaris berdua bersama Shakila yang suasana hatinya sedang kacau. Zeira mengangguk, baiklah, dia tak punya pilihan lain.

Baru saja Lail mau duduk di tempat semula, matanya menangkap sosok Welda yang membawa kotak kue ditemani Amanda dan Khalila. Di tangga juga, rupanya teman sekelas yang tadi ke kelas sudah turun dan berjalan ke lapangan. Mungkin mereka sudah di-chat kalau kuenya telah datang.

Dasar.

Zeira mengayunkan tangannya, mengajak mereka berempat untuk ikut mengejutkan Pak Juan. Tapi hanya Bening dan Giselle yang ikut. Nylam sudah terlanjur kesal, Lail tak bisa meninggalkan anak itu sendiri sebab Nylam meraih keras lengannya. Lail menatap Nylam, gadis itu menggeleng pelan. Baiklah, Lail hanya akan menatapnya dari jauh.

Dari jauh, mereka mengejutkan Pak Juan dengan kue dadakan itu penuh rasa bahagia dan haru. Cukup bertentangan dengan ekspresi mereka beberapa saat lalu. Bening dan Giselle di sana juga terpaksa berekspresi bahagia agar Pak Juan tidak melihat kejanggalan di antara mereka.

Yang selanjutnya lebih mengejutkan lagi. Mereka semua kembali ke kelas termasuk Lail dan Nylam. Dan apa yang terjadi? Mereka semua bersenang-senang seakan keributan sebelum membeli kue tak pernah terjadi. Shakila dan Milda yang paling berbeda.

Luar biasa bagaimana suasana hati mereka berubah dengan cepat setelah menjadikan hari ini sebagai hari terburuk bagi Lail dan yang lainnya. Untung saja Azara tidak masuk hari ini. Karena pasti dia akan menangis karena disalah-salahkan oleh mereka berdua.

Dan karena ini adalah hari guru, sekolah setelah apel pagi tampak bebas. Sebagian besar siswi langsung pulang. Lail, Nylam, Bening dan Giselle adalah siswi kelas 1-7 yang pulang paling terakhir.

Semua keluh kesah mereka keluarkan sembari menendang halus meja-meja si pelaku pembuat kesal. Nylam, Bening dan Giselle memuaskan diri memprotes mereka karena mereka sudah pulang duluan. Lail diam mendengarkan.

Setelah puas memprotes dan mengeluh, Nylam dan Giselle pergi ke tempat parkir. Lail dan Bening yang pulang menggunakan angkot berjalan ke gerbang depan.

Selama perjalanan pulang, Bening terus curhat atas keresahannya pada pasukan oranye beserta siswi lain yang dikendalikan oleh mereka. Lail takzim mendengarkan sambil mengiyakan dalam hati. Dia juga sama kesalnya dengan Bening.

Tapi di sisi lain, dia juga resah dengan tradisi wajib sekolah ini yang memaksa murid memberikan hadiah kepada guru di hari guru. Pola pikir mereka diatur sedemikian rupa sampai satu sekolah punya pikiran yang sama.

Padahal menurut Lail, hadiah terindah dari murid kepada gurunya adalah ketika mereka mampu memahami setiap ilmu yang mereka berikan dan tak pernah mendapat kertas bimbingan yang legendaris itu.

Ampun deh...

...****...

“Bray, beliin aku espresso.” Kakak Lail, Delia menjulurkan kepalanya masuk ke celah pintu kamar Lail. Dia tidak tahan melihat adiknya yang sedang senggang. Kan rugi kalau tidak disuruh-suruh.

“Gak mau.” Lail menjawab cepat, dia membaringkan badannya ke kasur, mencari posisi enak untuk menonton film. Badannya terlalu lelah setelah kejadian tadi pagi.

“Ish, cepetan. Ada upahnya nih!” paksa Delia.

Lail mengintip ke arah kakaknya yang memegang selembar uang dua puluh ribu. Wajah Lail seketika cemerlang. Dia menaruh ponselnya dan bangkit dari tempat ternyamannya, bergerak cepat menyambar uang yang dipegang Delia.

“Bilang dari tadi donk!”

“Gini aja baru cepet. Mata duitan.” Cibir Delia.

“Di dunia ini gak ada manusia yang gak butuh duit, bro.”

“Ye... kamu mah disuruh jilat tai ayam kalau dikasih 1M pasti mau.”

“Lagian manusia mana yang bakal nolak? Disuruh jilat tai ayam doank bukan disuruh makan tainya juga.” Lail tak mau kalah.

Lail hanya mengikat rambut pendeknya dan langsung siap keluar. Mungkin kalau itu Delia, dia harus bersiap setidaknya lima menit sebelum menampakkan diri ke dunia luar. Betapa percaya diri adiknya keluar dengan penampilan macam itu.

Lail langsung meluncur ke kafe favorit Delia yang berjarak 600 meter dari gerbang masuk perumahan. Kalau ditambah dengan jarak dari gerbang ke rumahnya, total jarak bisa lebih dari 1 kilometer. Yah, hitung-hitung olahraga, lagi pula dia akan mendapat dapat upah setelah membeli espresso.

Namun angan-angan jajan dari kembalian membeli espresso hancur seketika. Terkutuklah Delia, dia tak mengatakan kalau harga satu gelas espresso adalah 16.000 rupiah. Itu berarti upah Lail hanya 4.000 rupiah.

Ayolah! Total pulang-pergi itu 2 kilometer lebih tapi upahnya hanya segini saja? Wah, keterlaluan sekali! Mana Lail tidak membawa uang tambahan. Dia juga tidak menyelipkan uang di dalam case ponsel.

Lail akhirnya pergi ke warung madura dan membeli sebatang es krim yang variannya sesuai budget. Lain kali dia takkan mau ketika disuruh kakaknya membeli kopi lagi. Minimal upah itu 5.000 rupiah. Di zaman sekarang 4.000 perak bisa dapat apa?

Pengen kubuang aja nih kopi!

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!