Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Bertemu Anak kandung yang tidak diketahui
Alina tersenyum melihat putranya yang kini asyik bermain mandi bola bersama Leon.
"Om, curang! Lemparnya sekali banyak!"
"Terserah Om lah," balas Leon sambil kembali melempar bola-bola kecil ke arah bocah itu.
Aeris berlarian ke sana kemari, berusaha menghindar.
Drttt!
Alina tersentak saat ponsel di tas-nya bergetar. Ia meraihnya dan melihat layar.
"Mama?" gumamnya.
"Halo, Ma?"
"Halo, sayang. Mama cuma mau nanya kabar kamu sama cucu mama. Kalian baik-baik aja, kan?"
"Hmm, sekarang aku lagi di mall."
"Kamu harus tetap waspada sayang, kamu satu kota sama mantan suamimu,"
"Hm, tadi aja aku ketemu sama pacarnya. Kayaknya ada Revan juga tapi aku nggak lihat dia,"
"Kamu... nggak apa-apa kan?"
"Fine aja sih Ma,"
"Jaga diri baik-baik ya, sayang."
"Iya, Mama juga."
Alina menghela napas. Mendengar nama Revan saja sudah cukup membuat hatinya kembali bergejolak.
"Mama..." Aeris berlari menghampirinya, memeluk kakinya erat.
"Udah mainnya?" tanya Alina sambil mengelus kepala putranya.
"Capek, mau beli minum,"
"Kalian tunggu sini, biar Om yang beliin," kata Leon cepat lalu beranjak.
Alina dan Aeris duduk di bangku panjang dekat arena bermain.
"Mama tahu nggak, pas di toilet resto tadi Aeris lihat Om itu belum pergi...."
"Om?"
"Iya, Om yang ngintip tadi. Ternyata dia sembunyi. Yang aneh, wajah Om itu mirip sama foto... yang dulu Mama simpan di laci sebelum dibuang."
Alina langsung mengernyit. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Jadi, Aeris mengetahui foto itu?
"Dengar, sayang... di dunia ini banyak banget orang yang wajahnya mirip. Mungkin itu cuma kebetulan."
"Emangnya siapa sih, Om di foto laci itu?"
"Bukan siapa-siapa, cuma teman Mama aja."
"Masa foto temen dibuang?"
Alina bingung mau jawab apa. Untung saja Leon keburu datang.
"Nih, minum, Boy," katanya sambil menyerahkan botol minum.
"Thank you, Om"
"Makasih," kata Alina pelan, lalu menyeruput es jeruk itu. Tenggorokannya sedikit terasa segar.
"Habis ini mau ke mana lagi?" tanya Leon.
"Beliin Mommy lipstik!" celetuk Aeris.
"Oke!"
"Nggak usah, Le," potong Alina cepat.
"Nggak apa-apa. Hari ini kamu mau belanja apa aja boleh, nanti biar aku yang bayarin."
"Nggak usah, aku bawa uang kok," jawab Alina lagi, menolak halus.
"Aku pacar kamu, bukan orang lain," kata Leon serius.
Alina menghela napas. Kini merekapun sudah berada di sebuah toko sweater.
"Bagusan yang mana ya?" tanyanya sambil memegang dua pilihan warna.
"Yang warna ungu bagus!" seru Aeris.
"Tapi kayaknya ungunya redup gini, ya."
"Nanti tinggal warna-in,"
Alina tergelak.
Memang bocah satu itu hobi banget mewarnai dan menggambar.
"Sweater mahal loh ini," kata Alina melihat label harga.
"Biar aja, ambil dua. Biar couple-an sama aku," sahut Leon sambil tersenyum.
"Emang nggak apa-apa? Satu harganya aja udah kayak beli emas dua gram."
"Uang aku nggak bakal habis cuma buat beli sweater ini, sayang."
"Iya deh... CEO Pratama Group,"
Sementara pasangan itu memilih-milih ternyata tak jauh dari sana ada pasangan lain yang juga berdebat kecil.
"Nanti uang kamu habis."
"Nggak bakalan sayang, nggak usah takut bahkan kalau aku mau borong sama tokoh-tokohnya juga aku nggak bakalan bangkrut."
"Tapi sayang nggak sih uangnya dipakai cuman buat beli sweater seharga emas?"
"Nggak apa-apa, ayo ah udah angkut aja malu diliatin orang dikira aku yang nggak mau bayarin,"
"Tapi.."
"Mau aku cium tuh bibir kamu di sini?"
Devi memukul bahu pria itu pelan.
Setelahnya mereka menuju ke arah kasir.
Tapi tiba-tiba...
Brug!
"Aduh..."
Seorang bocah kecil meringis saat dirinya terduduk di lantai.
"Maaf nak... om nggak liat," kata Revan sembari membangunkan bocah itu yang tadi ditabraknya.
Mata Revan membola melihat bocah yang tadi dilihatnya di toilet.
"Om toilet!?"
"Kamu kenal?" kata Devi yang ada di sampingnya.
"Nggak tahu, tapi tadi aku lihat dia di toilet resto," kata Revan.
"Kamu sama siapa ke sini?" kata Revan lagi.
"Aku sama Mama dan pacarnya," katanya.
"Eh.. om ini mirip sama orang yang ada di foto laci mama," katanya lagi.
Revan mengernyit.
"Tapi fotonya udah Mama buang," katanya lagi.
"Siapa nama Om? Om ganteng loh, lebih ganteng dari pacar Mama," katanya lagi.
Revan saling pandang dengan Devi, mereka cukup bingung dengan anak ini yang tiba-tiba saja banyak bicara dengan orang yang tidak dikenalnya.
Revan kemudian tersenyum lalu mengusap rambut lebat bocah itu, "Di mana Mama kamu? Biar Om antar," katanya lembut.
"Jawab dulu Om, nama Om siapa?"
"Aeris!"
Baru hendak membuka mulutnya lagi, suara di belakangnya menghentikannya.
Saat pria itu bangkit dan menoleh ke belakang, dia terkejut melihat keberadaan Leon.
Dia tidak salah mengenali pria yang kini berjalan ke arahnya itu adalah teman satu sekolahnya dulu.
Devi yang ada di sampingnya juga terkejut.
Wajah Leon tidak banyak berekspresi. Meskipun di balik itu dia juga terkejut melihat Revan.
"Boy... kamu kenapa ke sini? Mama panik nyari kamu," kata Leon pelan, sembari menarik pelan tangan bocah itu.
"Aku bosen ngikutin Mama yang banyak mau,"
"Ayo kita ke Mama" kata Leon
"Tapi Aeris mau kenalan dulu sama Om ini," katanya menunjuk Revan.
"Kasian Mama, kamu mau Mama nangis karena kamu ilang?" kata Leon, tidak menghiraukan permintaan Aeris.
Aeris mengangguk pelan. Ia kemudian menurut saat tangannya ditarik untuk berjalan.
"Tunggu," suara Revan menghentikan langkah mereka berdua.
Revan maju selangkah, lalu berdiri di hadapan Leon, menghalangi jalannya. Tatapannya tajam menembus wajah pria itu.
"Dia anak lo?" tanya Revan, suaranya dingin dan penuh curiga.
"Bu—"
"Ya," potong Leon cepat, tak memberi kesempatan pada Aeris untuk bicara.
"Sama siapa?"
"Bukan urusan lo," jawab Leon datar.
Revan tertawa kecil, terdengar sinis. "Nggak mau ngaku, lo?"
Tangan Leon mengepal. Ingin sekali rasanya meninju pria di depannya itu, melampiaskan semua kekesalan yang selama ini ia tahan. Tapi dia masih waras, masih sadar kalau Aeris ada di antara mereka.
Devi yang melihat percikan emosi itu buru-buru menyentuh lengan Revan, mencoba meredakan suasana.
"Udah yuk... kita ke sana aja," ucapnya lembut.
Revan menunduk, menatap wajah polos Aeris yang tampak bingung dan sedang mencoba memahami situasi.
"Siapa nama Mama kamu?" tanya Revan, nadanya jauh lebih lembut dari sebelumnya.
"Ayo, Boy. Kita pergi. Buang-buang waktu aja ngobrol sama orang kayak dia," sela Leon cepat, berusaha menghentikan Aeris agar tak menyebut nama ‘Alina’ di depan Revan.
Aeris mengangguk pelan. Kali ini, Leon mengangkatnya ke gendongan dan segera menjauh.
Sementara itu, Revan masih memandangi punggung pria itu dengan tatapan curiga. Ada sesuatu yang terasa janggal. Nafasnya terhembus kasar, lalu dia menggelengkan kepala pelan.
"Ayo, kita beli perhiasan," kata Revan akhirnya, lalu menggenggam tangan Devi yang sejak tadi masih bertengger di lengannya.