Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kami berhasil berkumpul tepat waktu, di sebuah ruangan yang letaknya berkesinambungan dengan belakang panggung. Tak hanya kami, semua anggota Flow berkumpul di tempat ini tanpa terkecuali.
Staf memandu kami semua untuk mengenakan outfit stage yang sudah disediakan.
Outfit-nya cukup unik. Bentuknya seperti seragam sekolah khas Korea berwarna putih dan blazer berwarna senada dengan rok setengah paha berwarna biru langit.
Jujur, aku kurang terbiasa memakai rok. Rasanya risih. Bergerak dengan was-was yang membayangi.
Bagaimana aku tak was-was, kalau roknya saja berakhir di atas paha? Meski aku pakai short pants, tetap saja aku kurang nyaman berpenampilan begini.
Teman-temanku pun telah selesai berganti. Tapi entah mengapa, hanya Anna yang berbeda. Seragamnya berwarna terbalik. Rok dan blazernya berwarna putih, sementara seragamnya berwarna biru langit.
Aku menatapnya heran. Apa mungkin itu konsepnya?
Bu Desy menyeru kami untuk berdandan dengan suara sengaunya. Melihat sosokku, ia sontak menarik lenganku. Mendudukkanku di sebuah kursi. Mengambil peralatan make up dari tas yang selalu mendampinginya kemanapun ia pergi.
Tanpa permisi, ia langsung membubuhkan foundation ke wajahku. Aku pun hanya diam menutup mata. Menikmati sensasi menggelitik yang khas.
Kali ini cukup lama. Aku pernah didandani olehnya sekali, namun yang lalu tak selama ini. Aku merasa sudah lima belas menit tak bergerak sama sekali. Membuat pinggulku mulai kesemutan.
"Udah," Suara sengau itu terdengar kembali, "sana kumpul sama teman-temanmu."
Aku mengangguk cepat. Karena kaca di ruang ini terbatas dan aku tak membawa kaca, aku langsung berkumpul. Ternyata teman-temanku telah berada di sana. Bahkan aku yang dibantu oleh seorang profesional pun masih ketinggalan.
Kami asal berbaris. Seorang staf yang familier berdiri di depan kami. Memberikan wejangan dengan tampang serius.
"Kalian akan jadi penampil pertama. Lagunya seperti yang sudah kalian pelajari. Setelah lagu selesai, kalian bergerak berputar dari kanan ke kiri sambil melambai tapi jangan terlalu lama, paham?"
"Baik, Bu," sahut kami hampir serempak.
"Karena ini penampilan perdana kalian, aku harap kalian manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Semoga berhasil!"
Wanita itu langsung beralih. Keringat dingin mulai mengucur perlahan. Pundakku terasa seperti dirangkul hebat. Tubuhku yang terkejut ikut terdorong. Barisan kami berubah bentuk menjadi lingkaran.
"Guys, sebentar lagi kita akan tampil. Feel free aja, nikmati aja pertunjukkan kita nanti." Ucap Amel. Seorang gadis yang bersuara keras namun cempreng.
"Iya, bener, guys. Apapun yang sedang menunggu kita, ayo kita berikan yang terbaik." Sambung Erlina. Gadis yang terkenal periang di antara kami.
Tangannya menjulur. Raut wajahnya seakan mengisyaratkan kepada kami agar mengikutinya.
Kami menaruh tangan di atas tangannya bergiliran. Termasuk di antaranya tanganku.
"GEN TIGAAA ..."
Pekikan Erlina menggema. Menggetarkan seisi ruangan. Dadaku yang terasa berdebar, sirna bersamaan dengan pekikan, "MANTAP!" dariku.
Suara kamu bertabrakan. Ada yang menjerit "luar biasa." Ada pula, "keren". Benar-benar tidak kompak. Sejurus setelah itu, kami saling pandang, lalu tertawa bersama.
Kacau sih. Tapi, tawa kami barusan, berhasil mengusir rasa grogi yang menggelayuti.
Kami melangkah menuju panggung. Sebuah tangga kecil—mungkin hanya bisa dilewati satu orang— terhampar. Kami bergantian naik. Perlahan selangkah demi selangkah. Selang beberapa saat, tiba juga giliranku.
Dadaku seperti sedang dipemainkan oleh jantung. Detakkannya hilang timbul seenaknya. Mendadak ia kembali berdebar kencang lagi.
Tangga yang sedang kunaiki ini bukanlah tangga biasa. Tangga ini sudah seperti jembatan pemisah antara dunia ini dengan dimensi lain. Dimensi dimana idol berada.
Yap, di atas panggung adalah dimensi dimana idol hidup.
Dan aku sebentar lagi akan memasuki dimensi itu.
Tapi, ...
Meski jantungku semakin berdegup kencang, keringat dingin mulai mengucur, kaki terasa memberat.
Aku tak merasa gentar secuil pun. Malah aku merasa bersemangat.
Kunaiki anak tangga dengan pandangan ke bawah. Mataku berhenti ketika sampai pada anak tangga paling bungsu. Dadaku makin tak karuan.
Teriakan mulai membanjiri telinga. Seisi aula menggelap. Meskipun begitu, kami membentuk formasi seperti yang sudah dipraktikkan selama latihan. Bermodalkan cahaya remang yang tersisa.
Aku menatap ke depan. Lautan manusia bagai ombak yang konstan. Warna warni light stick menyinari. Sorotan mata siap merekam kami dalam memori.
Jadi seperti ini pemandangan dari dimensi lain itu?
Dadaku berguncang hebat. Seluruh tubuhku mendadak memberat bagai ditarik oleh gravitasi.
Tiba-tiba aku tertusuk pandangan penonton.
Lagu yang akan kami bawakan adalah lagu yang pernah dibawakan oleh pendahulu kami.
Tentu saja, kalau sesuatu hal sudah pernah ada, lalu ada sesuatu yang sama datang untuk kedua kalinya, maka ia akan dibandingkan dengan yang pertama. Hal itu sudah menjadi hal yang lumrah di dunia ini.
Benar. Penampilan kami akan dipatok dengan ekspektasi yang tinggi, alias mereka akan membandingkannya dengan penampilan pendahulu kami sebelumnya.
Kalau sebagus yang dulu, mereka akan menganggap biasa saja. Kalau jelek, sumpah serapah akan kami terima sebagai konsekuensinya.
Mungkin saja tak secara langsung. Setelah acara berakhir, habislah kami di media sosial. Layaknya daging segar yang dilemparkan dalam segerombolan singa yang lapar.
Karena itu, kami tidak bisa tampil biasa saja. Untuk mengambil hati penonton, kami harus tampil lebih baik ketimbang penampilan pendahulu kami. Tidak ada pilihan lain.
Formasi telah sempurna. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan yang lain. Tapi, semakin kukosongkan pikiran, justru kepala semakin berat.
Cahaya dari atas mulai mengguyur kami. Karena lampu panggung saja yang menyala, membuat kami semua terlihat dari sudut manapun.
Ah ... sudah tak ada waktu lagi. Sebentar lagi semuanya akan dimulai. Rasanya jantungku mau meledak.
Ya sudahlah! Bodo amat sama mereka! Bodo amat sama penampilanku! Aku hanya ingin menikmatinya!
Musik telah terdengar. Sebuah melodi yang akan mengubah hidupku telah dimulai.
Tangan kananku terangkat. Kugerakkan menurun. Bergantian dengan tangan kiri. Pada saat yang bersamaan, kaki kumaju-mundurkan. Intro berlalu, ini saatnya kami bernyanyi. Suaraku mulai terlantun sesekali.
Kami bergantian menyanyi. Yang satu kalimatnya dinyanyikan oleh dua orang, hingga reff tiba. Saat Reff, kami semua bernyanyi bersama.
Jujur aku tak yakin dengan nyanyianku. Aku khawatir kalau suaraku mengacaukan lagunya. Untungnya teriakan penonton menyamarkan suara kami.
Jujur aku juga minder. Melihat orang-orang di sekelilingku. Yang cantik-cantik dan imut-imut. Aku yang tak feminim sama sekali, yang tak imut sama sekali, mana mungkin bisa terkenal. Mana mungkin bisa menjadi center seperti Kak Olivia.
Bahkan, ....
... mustahil ada orang yang peduli dengan kehadiranku.
Tubuhku terguyur keringat. Harusnya tampil satu-dua lagu tak akan membuatnya sebanyak ini. Tapi, entah kenapa, berada di dimensi ini cepat membuat staminaku terkuras habis. Bahkan hanya berdiri di sini saja sudah melelahkan.
Untung saja, lagu sudah akan berakhir.
Di penghujung lagu, kami berpose khas layaknya seorang idol. Pose unyu yang bagus untuk diabadikan.
Lagu berakhir. Tanganku menjulur ke depan. Kugerak-gerakkan telapak tanganku ke kanan dan ke kiri. Seperti orang yang sedang melambai. Dibubuhi dengan senyum yang tertambat di bibirku.
Teriakan demi teriakan terdengar, menyebut nama teman-temanku, namun tak terdengar satupun suara yang menyebut namaku.
Yah, aku sudah menduganya. Lagipula, dari awal, aku sudah tidak layak menjadi idol, tapi demi balas dendam, aku berada di sini. Asal dendamku bisa terpenuhi, aku tak peduli, punya fans atau tidak.
Itu bukanlah hal penting buatku.
Setelah melambai ke seluruh penjuru, kami membubarkan formasi. Turun bergantian. Aku mulai melangkah turun. Baru dua langkah, telingaku menangkap suara,
"KIRANAAA!!!"
Suara berat itu menggelegar menerobos suara lainnya. Aku reflek menoleh. Terkejut juga sekaligus penasaran. Belum sempat mencari, punggungku serasa tertabrak lembut.
Meski aku ingin membalas panggilan itu dengan sebongkah senyum sebagai tanda terima kasih, tapi aku tak bisa lagi menunda langkahku.
Kususuri langkah dengan senyum mengembang.
Terima kasih.
Aku hanya bisa menggumamkannya. Entah pada siapa.