Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Api masih berkobar saat seorang wanita dengan gaun menyapu tanah warna merah darah, rambut terurai panjang, dan matanya yang ditutup kain warna merah darah itu berjalan menyusuri lorong istana. Setiap ia melangkah, api semakin berkobar seolah itu dari dirinya.
Dia berhenti di depan seorang bangsawan tua yang terbakar. Sisi bibir kanannya terangkat, tak lama kemudian dia tertawa puas—semakin mengobarkan api di sekitarnya.
"Inilah yang tidak aku sukai dari kalian, manusia berhati tamak yang menginginkan keabadian."
Wanita itu mengangkat tangannya, lalu batu api keluar dari sana. "Apa kau pikir batu api ini bisa menjadi milikmu? Lihat dengan mata kepalamu, apa batu ini bisa menjadi milikmu atau tidak?"
Wanita itu memasukkan batu api ke tubuh pria tua tersebut. Tak lama kemudian pria tersebut berteriak kesakitan saat tubuhnya terbakar oleh batu api yang ada di dalam tubuhnya.
"Rasakan sendiri akibat dari ketamakanmu! Batu api yang kalian inginkan selama ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!"
"Seraphyne!" teriak seorang pria yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Wanita yang dipanggil Seraphyne itu membalikkan badan. Di hadapannya berdiri pria dengan jubah hitam pekat, sorot matanya tajam tapi di sekeliling pria tersebut terdapat air.
"Ah, pemilik batu air?"
"Hentikan semua ini, Seraphyne!"
Seraphyne terkekeh kecil. "Berhenti? Apa kau pikir aku yang memulai semua ini?!"
Pria itu mendekat, dia mengeluarkan batu bercahaya biru yang merupakan batu air. Dalam sekejap api padam oleh batu air tersebut.
"Manusia memang selalu seperti ini, Seraphyne. Mereka menginginkan kekuasaan dan keabadian, sampai mati pun mereka akan selalu seperti itu. Bukankah kau juga seperti itu dulu?"
"Veyron!" kedua tangan Seraphyne terkepal, raut wajahnya berubah penuh amarah.
"Kau tahu apa tentang aku? Aku tidak seperti mereka yang menginginkan kekuasaan dan keabadian!"
Veyron tersenyum sinis. "Memohon untuk memiliki batu api demi menghidupkan kembali orang yang mati itu sudah termasuk keserakahan, Seraphyne!" ucapnya yang membuat Seraphyne terdiam. "Kau awalnya juga manusia biasa sama seperti mereka yang habis kau bakar. Tapi lihatlah sekarang, kau menjadi abadi sebagai pemilik batu api!"
Kepala Seraphyne tertunduk. "Seandainya kau tahu, aku tidak pernah meminta keabadian. Dia juga tidak memberikan apa yang aku mau, lalu dunia menjadikanku iblis karena dia!"
"Ada yang dinamakan penerimaan takdir. Saat itu kau seharusnya menerima kekasihmu mati dan menunggu sampai reinkarnasi selanjutnya. Bukankah kau juga egois?"
Seraphyne tersenyum sinis sambil terkekeh kecil. "Kau tidak akan pernah mengerti rasanya mati dalam keadaan tidak adil, Veyron. Kau juga tidak akan mengerti bagaimana hidup tanpa keadilan, selalu dijadikan sasaran, dijadikan tumbal kekuasaan, hidup seperti itu sama seperti menyelam tanpa menemukan permukaan. Aku hanya ingin memberikan sedikit keadilan untuknya, ingin menyuarakan penderitaannya selama ini. Lalu, dimana letak keegoisanku?"
Veyron menghembuskan napas kasar, tidak lagi beradu argumen dengan wanita di hadapannya. Karena dia sendiri tahu apa yang diterima Seraphyne setelah keinginannya tidak terwujud. Luka yang tak akan pernah sembuh dan dendam yang tidak tahu dia tujukan untuk siapa. Dia menyaksikan satu persatu orang yang dicintainya mati, menyaksikan bagaimana orang yang menghancurkannya hidup bergelimang harta, itu saja sudah sangat membuatnya menderita.
"Suatu hari nanti kau pasti akan bertemu dia kembali. Saat itu tiba, dia tidak akan mengenalmu sebagai orang yang bersimpuh di hadapan batu api purba demi menghidupkannya kembali dengan menukar nyawamu. Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Veyron yang membuat Seraphyne tersenyum penuh kepiluan.
"Veyron, saat aku bersimpuh di hadapan batu api purba, apa kau tahu isi pikiranku?" Seraphyne menatap Veyron. "Aku tidak berharap dia mengingatku sebagai orang yang dia cintai, tapi aku hanya ingin melihat dia hidup dengan menerima keadilan, penuh kehangatan, dan penuh cinta dari orang-orang di sekitarnya. Jika aku harus membayar itu dengan nyawa, aku selalu bersedia."
"Sungguh cinta yang bodoh!" sarkas Veyron. "Perbaiki saja sikapmu, Seraphyne. Jangan sampai kisah lama terulang kembali."
Setelah mengatakan itu Veyron menghilang dari sana, meninggalkan Seraphyne sendirian yang masih bergelut dengan pikirannya.
...****************...
Angin malam menari di antara reruntuhan istana yang terbakar. Api tak lagi menjilat langit, tapi hangatnya masih tersisa, mengendap di dinding-dinding retak seperti rahasia yang enggan mati.
Di tengah halaman istana yang sunyi, ia berdiri—Seraphyne.
Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, berkilau merah saat terkena pantulan cahaya dari batu kecil menyala di telapak tangannya. Batu itu tak pernah dingin, tak pernah padam. Dan ia, perempuan yang telah hidup dua ratus tahun lamanya, tak pernah benar-benar tidur.
Suara langkah menghentak tanah kering. Seorang pria muda berlutut di hadapannya, lututnya gemetar, napasnya memburu.
"Aku... mohon... tolong selamatkan putriku."
Seraphyne menunduk perlahan. Matanya tertutup kain merah, bukan karena ia buta, tapi karena ia memilih untuk tidak melihat wajah-wajah yang akan mati.
"Apa keinginanmu?" suaranya tenang, nyaris seperti bisikan api di bara yang sekarat.
"Kesembuhan. Dia hanya anak-anak. Tak ada yang pantas mati di usia tujuh tahun." suara pria itu pecah. Air mata jatuh, mencium tanah yang terlalu dingin untuk belas kasihan.
Seraphyne mengulurkan tangannya. Batu Api bersinar terang, menyala merah darah. "Kau tahu harganya?"
Pria itu mengangguk, tanpa ragu. "Ambillah nyawaku. Selama dia hidup."
Seraphyne tidak berkata apa-apa. Batu itu menyala semakin terang, lalu meredup. Saat itu juga, tubuh pria itu terhempas ke tanah—tak bernyawa.
Jauh di kejauhan, seorang gadis kecil yang sebelumnya sekarat... membuka matanya.
Dan Seraphyne kembali sendiri. Angin membawa bau kematian, tapi ia sudah terbiasa. Setiap permohonan adalah sisa luka baru yang tak pernah sembuh. Ia adalah penjaga keajaiban yang tak diminta.